Penginapan Erissan.
"Eh... Hanya tersisa satu kamar lagi?" Scarra menoleh ke arah Yuki yang saat itu sedang menunggunya di sofa, dan ia terlihat cukup kelelahan.Scarra melirik ke arah Yuki, ia memandangi tubuhnya yang saat itu sedang membelakanginya.
Pikiran-pikiran mesum pun mulai bermunculan dari benaknya.
"Gawat, lebih baik aku tidur saja."
Scarra memejamkan matanya dan mencoba untuk tertidur. Namun rasa gairah itu telah mempersulitnya.
"Belum... Ke-Kenapa?"
"Jujur saja, hari ini aku sangat senang. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini." Ujar Yuki seraya masih membelakangi Scara.
"Tuan, Te-Terimakasih...." Sambung Yuki.
"Ah itu... Tidak perlu dipikir...." Belum selesai Scarra berbicara, Yuki langsung menciumnya dan melumut bibirnya.
"Eh! Yu-Yu... Em...?!" Ciuman itu berlangsung hingga beberapa saat. Sampai akhirnya, Scarra melepaskannya.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Tu-Tu-Tuan... Ma-Maaf, aku tidak bermaksud!" Yuki terkejut dan ia terlihat sangat ketakutan.
"Jelaskan padaku?!"
"A-Aku hanya ingin membuat Anda senang. Bu-Bukankah, aku ini budakmu?" Jelas Yuki terbata-bata.
Saat itu Scarra telah lupa, bahwa seorang tuan dapat melakukan apa saja terhadap budaknya. Dan tugas seorang budak tidak lain hanyalah untuk membuat senang tuannya.
Seketika Scarra langsung memeluk Yuki. Ia memeluknya cukup erat.
"Kamu bukan lagi seorang budak. Jadi, berhentilah berfikir seperti itu. Mulai sekarang, kamu adalah adikku. Jika kamu melakukannya, maka aku akan senang." bisik Scarra.
Yuki terkejut, matanya berlinang dan ia terharu bahagia.
"Kakak!" Yuki membalas pelukan Scarra.
Dalam pelukan itu, tubuh Yuki tercium sangat harum. Meski terasa kasar di bagian bekas lukanya, namun di bagian yang lain, kulitnya terasa begitu lembut.
"Wanita indah sepertimu... Tak seharusnya menjadi seorang budak." Bisik Scarra seraya mencium lembut lehernya.
Mendengar bisikan itu, Yuki pun tak tertahankan lagi. Ia tenggelam dalam kebahagiaan.
Yuki memeluk Scarra semakin erat, membaringkannya dan kemudian meluapkan seluruh kebahagiaanya.
Hingga akhirnya mereka pun terlelap tidur bersama, menghabiskan malam yang panjang dalam pelukan yang hangat.
***
Matahari mulai terbit, burung-burung silih berkicau ria, suara para penduduk kini mulai terdengar semakin ramai, dan karenanya Scarra pun mulai terbangun dari tidurnya.
Saat itu tepat di hadapannya, Yuki masih tertidur lelap di atas tubuhnya, namun dengan tali bra yang sudah terlepas.
Melihat hal itu Scarra tertegun. Ia menunduk seraya memegang keningnya. "Bodoh, apa yang sudah ku lakukan...?" Scarra menyesal dan sekaligus kesal, malam itu ia tidak mampu menghentikan Yuki.
"Yuki, bangunlah! Sudah pagi!" menggoyangkan bahu Yuki.
"Emm... Iya, kak. Sudah pagi yah... Apa semalam kaka tidur nyenyak?" Tanya Yuki dengan mata yang masih setengah tertutup, seraya memasang kembali tali bra miliknya yang telah terlepas.
"Ah... Iya. Nyenyak kok." Jawab Scarra seraya beranjak dari tempat tidurnya.Melihat hal itu Yuki langsung cemas. "Kakak mau kemana? Aku mohon jangan tinggalkan aku!"
"Oh iya, aku belum bilang ya? Hari ini aku ada ujian hunter. Jadi, aku harus pergi." Jelas Scarra seraya bersiap-siap.
"Tapi...."
"Jangan khawatir, Aku pasti akan kembali."
"Benarkah...?! Janji?!"
"Iya, Janji!" Scarra menghampiri Yuki dan kemudian memberinya beberapa koin emas.
"Mengerti!" Teriak Yuki seraya tersenyum bahagia. "Aku akan menyiapkan makan malam yang lezat untuk kakak. Jadi, jangan telat, yah!" Ujar Yuki dengan senyuman termanisnya.
"Hahaha... Mendengarnya, membuatku jadi tak sabar. Baiklah, Aku berangkat!"
BRUKK
Suara pintu ditutup.
***[Aliansi Gagak Hitam]
Pagi itu sebelum ujian hunter dimulai, para anggota terkuat Guild Gagak Hitam dikumpulkan. Mereka mengadakan rapat tertutup.
Ke 10 besar Hunter Rank S Gagak Hitam telah hadir, dan mereka telah duduk di tempatnya masing-masing.
Namun Kousei (Rimaster Guild Gagak Hitam) masih belum juga muncul, Dan hal itu sedikit menimbulkan kegaduhan.
Di sisi lain, Kousei sedang termenung. Ia sedang memandangi hamparan Kota Acela dari ruangannya.
"Hmm...." Kousei menarik nafasnya dalam-dalam.
Saat itu, Kousei teringat akan panutannya. Ia adalah Master Guild Gagak Hitam yang sesungguhnya.
Sang master sebenarnya telah lama pergi, dan tidak ada sedikit pun kabar tentang keberadaanya.
Namun tidak dengan Kousei, ia sangat yakin bahwa panutannya itu masih hidup hingga saat ini.
Selama ia tidak mendengar kabar tentang kematiannya, maka ia akan terus meyakininnya tetap hidup.
Tak berselang lama, seorang hunter penjaga pun datang.
"Master, mereka sudah menunggu Anda di aula. Keadaan sudah mulai tidak kondusif." Jelas hunter itu dari luar ruangan.
"Baiklah, Aku datang!"
Kousei pun keluar dari ruangannya. Ia pergi menuju Aula Pertemuan dengan rasa hampa di hatinya.
Bersambung.
Sebelumnya saya mau minta maaf untuk para readers sekalian yang sudah mendukung saya selama ini dalam menulis novel ini. Dalam kesempatan ini saya mau menyampaikan beberapa poin : Poin 1 Saya mau informasikan bahwa novel ini sedang hiatus panjang. Saya tidak tahu apakah saya akan menulis novel ini lagi atau tidak. Poin 2. Saya sedang menulis novel baru. yang kemungkinan akan dipublish di Karyakarsa. Namun, tidak menutup kemungkinan akan dipublish di Goodnovel juga-masih dalam rundingan. Karena novel ini ditulis bukan oleh penulis tunggal, melainkan kerjasama antara dua penulis. Poin 3. Kami meminta saran dan tanggapan bagi para reader yang masih setia terhadap karya dari Author Bigman. Tolong beri komentar dan tanggapannya. #PostKaryakarsa/#PostGoodnovel Poin 4. Poster dari Sang Raja Pulau Mahkota telah kami ganti menjadi Poster dark novel baru kami yang sedang kami tulis-Bukan untuk merubah permanen, melainkan hanya untuk sementara, sebatas promosi. Novel baru
Di sisi lain, dengan meningkatkan kempuan instingnya, Scarra dapat mendeteksi sebuah aktifitas energi yang tidak biasa. Sekumpulan energi yang meluap-luap, bertubrukkan dan meledak-ledak. Energi tidak konsisten yang hanya akan muncul pada sebuah pertarungan.Maggie berserta kelompoknya mungkin ada di sana, setidaknya itulah asumsi kuat yang terlintas di pikiran Scarra saat ini. Tanpa banyak bicara dan pertanyaan, Yuki, Mumu dan Gion berlari secepat mungkin mengikuti Scarra. Mereka pergi ke tempat yang diasumsikan itu. Tidak bisa dikatakan bahwa mereka berlari seperti orang pada umumnya, ini terasa seperti berlari maraton di kejuaraan olimpiade. Dengan raut wajah yang dipenuhi keringat dan sedikit pucat, Gion mencoba mengimbangi kecepatan lari dari yang lainnya. Ia membuat sendi-sendi kakinya bekerja lebih keras dengan adanya perbekalan yang menumpuk di pundaknya. "Aiissh... tidakkah mereka memikirkanku, setidaknya semua perbekalan ini?" Kesal Gion. 15 menit berlalu. Selama it
Dalam pertarungan ini, Charles harus mengakui bahwa Maggie memiliki beberapa insting bertarung yang baik, pola serangan yang dibangunnya telah membuat jarak di antara mereka tetap terjaga. Dengan kata lain, cukup sulit untuk bisa menyerang dan mendekatinya. Tapi, Charles adalah orang yang lebih baik dalam hal teknik dan juga insting. Tidak melakukan apa-apa selain bertahan dan menghindar telah memberinya sedikit ruang untuk berfikir, dia merasakan ada sesuatu yang salah. Dalam beberapa kesempatan, Charles mencoba membiarkan beberapa bagian tubuhnya terkena serangan. Dia mencoba merasakan kekuatan dari serangan itu dan menganalisanya lebih dalam untuk sementara waktu. Hasilnya, Charles menyadari bahwa meskipun kemampuan Maggie dalam menyerang cukup tinggi, dia seperti tidak menggunakan kemampuannya secara maksimal. Itu mungkin dia masih menyimpan kekuatannya untuk moment tertentu atau mungkin dia memang selemah itu. "Lebih baik aku mengujinya." Charles menyerang balik dengan kapak
Zissa mengambil posisi, dia menghunuskan senjatanya dan mengayunkannya ke atas secara perlahan. Posisinya sudah siap untuk melakukan tebasan terakhir. Di tempat lain, Aldea telah sepenuhnya dikuasai oleh rasa takutnya. Tubuhnya gemetar, giginya berderit dan matanya begitu rapat tertutup. Dia ingin lari. Dia benar-benar ingin meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, rasa ketakutan yang amat tinggi telah menghalangi aliran gelombang saraf dari otaknya, sehingga membuat kedua kakinya terasa berat untuk digerakan. Seperti kaku, sepenuhnya kaku. Di tengah rasa ketakutan yang amat itu, sebuah suara muncul. Itu sangat dekat. Suara itu benar-benar dekat. Itu tepat di hadapannya. Mendengarnya membuat sekujur tubuhnya seketika merinding. "Jangan khawatir... Aku tidak akan membunuhmu. Setidaknya, tidak untuk sekarang." Charles mengepalkan tangannya, mengayunkannya dengan pasti untuk menghilangkan kesadaran Aldea. Namun sebelum itu terjadi... "Sekarang!!!" Slebb... Slebb... Slebb... T
Kulit kepalanya mungkin terbelah dari pukulan kuat saat darah mulai menetes ke wajahnya. Meskipun Splash telah menahan rasa sakit dengan salah satu kemampuannya, hanya dengan menggerakan wajahnya saja sudah cukup untuk membuat rasa sakit mengalir deras ke seluruh tubuhnya, membuatnya pusing. Sambil mempertahankan posisinya, seperti siap untuk menangkis serangan yang datang dengan senjata yang dihunuskan sebagai perisainya, Splash mencoba untuk bangkit. Splash mengenakan armor yang dikenal orang dengan nama Silver Tail Wind -Rare Grade Item. Meskipun begitu, dia masih menerima cukup banyak damage dan membuat kakinya kesulitan untuk berdiri. Sudah lama sejak dia terluka sedemikian rupa. Sementara dia bangkit, salah satu tangannya yang gemetar -bukan karena rasa takut melainkan rasa sakit yang luar biasa- mencoba meraba kantong di pinggangnya, dia menggambil satu botol potion penyembuh dan lalu meminumnya. Meski masih jauh dari kata menyembuhkan sepenuhnya, tapi itu cukup baik sebaga
"Tidak ada pilihan lain." Lorion menurunkan Aldea dan kemudian menghunuskan dua kapaknya seraya berkata, "Putri, kami akan menahannya. Larilah jika ada kesempatan!" "Tentu kau mengenalku, Lorion... Aku tidak akan pernah meninggalkan teman-temanku... Jika itu harus mati, kita akan mati bersama!" Balas Aldea seraya bersiap. Meski sedikit kecewa dengan tingkah Aldea yang keras kepala, tapi setidaknya jawaban dari Aldea telah membangkitkan semangat dan juga harapan mereka. Dengan hadirnya Aldea, keselamatan dan harapan hidup mungkin akan sedikit lebih meningkat. Tetapi semua itu terasa sia-sia jika mengetahui kesenjangan yang luar biasa dalam tingkat kekuatan mereka. Meski mereka tahu bahwa kematian adalah akhir dari takdir mereka, tapi itu tidak lantas membuat mereka menyerah. Setidaknya mereka telah berjuang bersama-sama dengan harapan yang tumbuh di hati mereka. Senyuman mulai terekspresikan di wajah mereka, seperti hendak melakukan sesuatu yang tidak akan pernah mereka sesali. "