Bening menggeleng pelan pada Christ, ketika ia berjalan di samping Aga menuju mobil pria itu. Mengisyaratkan, kalau Bening sudah tidak ingin lagi berbicara pada Christ.
Aga pun hanya menatap Christ sekilas. Menampilkan wajah datar tanpa keramahan sama sekali. Aga terus berjalan menuju roda empatnya dan membukakan pintu mobil untuk Bening terlebih dahulu, sebelum akhirnya ia juga memasukinya.
“Sudah selesai?” tanya Aga sudah melajukan mobilnya melewati Christ.
“Ah?” Bening yang sempat melamun itu mendadak tersadar. Menoleh pada Aga dan bertanya, “Apanya yang sudah selesai, Pak?”
“Kamu dengan dia,” ujar Aga memperjelas pertanyaannya.
Bening tersenyum kecut. Mengalihkan tatapannya keluar jendela dan tidak menjawab Aga. Perasaannya benar-benar rumit. Berada di antara dua pilihan yang terlalu berat, hingga Bening lebih memilih untuk diam.
“Kita ke rumah sakit?” Dengan melihat sikap Bening, sepertinya Aga bisa sedikit memahami, mengapa gadis
Vira menatap sang suami yang sudah terlihat rapi di pagi hari ini. Rapi dalam style Aga tentunya. Kemeja yang selalu tidak lepas dengan jaket apapun yang tersedia di lemari, celana jeans, dan sneaker yang selalu digunakannya untuk bekerja. Dahulu kala, Vira sangat menyukai penampilan Aga yang selalu kasual, energik, dan selalu terlihat lebih muda dari usianya. Namun, semakin ke sini, Vira menginginkan sosok yang selalu terlihat formal dan wibawa bersama jas dan dasi yang melingkar di pangkal leher. Sampai-sampai, Vira kerap membayangkan melilitkan dasi pada kemeja putih yang setiap pagi akan dipakai oleh sang suami. Hanya saja, Aga bukanlah pria seperti itu. Ditambah, profesinya yang tidak mewajibkan untuk berpakaian formal, membuat pria itu semakin betah dengan penampilannya saat ini. “Berangkat pagi?” tanya Vira yang baru saja menyuapkan serealnya sembari duduk santai di sebelah kitchen island. “Bukannya semalam juga pulang hampir pagi?” Semalam, se
Bening merasa bersalah dan tidak enak hati. Ia tidak tega menolak Aga karena pria itu sudah menemaninya hingga larut kemarin malam. Namun, apa yang telah terjadi di antara mereka saat ini, sungguh tidak bisa diteruskan. Aga sudah memiliki istri dan juga seorang anak, jika mereka larut seperti sekarang, tidak menutup kemungkinan kalau ketertarikan itu akan muncul nantinya. “Kenapa Bapak, nggak sarapan di rumah?” tanya Bening setelah menelan nasi kuning yang telah dibuat oleh Ruri di rumah. Sementara Aga, pria itu memesan soto ayam di kantin rumah sakit. Jika saja yang di depan Bening saat ini adalah Christ, maka ia tidak akan segan untuk makan sepiring berdua dan saling suap. “Tadinya mau sarapan di luar,” jawab Aga sesuai dengan kenyataan yang ada. “Tapi karena kamu nggak angkat telepon saya, jadi ya, saya langsung ke sini.” “Nggak sarapan di rumah?” pancing Bening merasa ada sesuatu yang aneh. Jika dirunut ke belakang, entah mengapa Bening memiliki firasat y
Air mata itu, seolah tidak pernah surut membasahi wajah pucat Bening sepanjang prosesi pemakaman berlangsung. Kendati sempat pingsan, tapi Bening tetap menguatkan diri untuk mengantar wanita yang sudah menjaganya selama ini, ke tempat peristirahatan terakhirnya.“Kamu, harus kuat, ya, Ning.”Ucapan itu, berasal dari seorang wanita paruh baya yang sudah menganggap Bening seperti anaknya sendiri selama ini. Louisa, ibu dari Christ itu segera pergi ke rumah Bening begitu mendengar Sinta telah tiada. Selama tujuh tahun putranya menjalin kasih dengan Bening, hubungan Louisa dengan Sinta bisa terbilang sangat baik. Keduanya juga pernah saling bertandang ke rumah masing-masing, ketika salah satu keluarga mengadakan sebuah perayaan besar.Toleransi diantara mereka berdua, sungguh luar biasa. Kendati, pada akhirnya mereka harus mengambil tindakan atas hubungan Christ dan Bening yang tidak akan mungkin bersatu. Jika, salah satu diantara keduanya tidak ada yang
Bening membuka mata dengan rasa sesak sekaligus malas yang menggelayut di dalam dada. Sudah tiga hari ia mengurung diri di kamar, dan hari ini, masa cuti berkabungnya pun telah usai. Sudah waktunya kembali menata hidup, untuk menghadapi ujian dunia di luar sana. Wajah manis itu masih saja terlihat sembab dengan mata yang membengkak. Menangisi kepergian Sinta yang tidak pernah pernah ia duga sebelumnya. Bening bergegas mandi dan menyelesaikan semua aktivitas paginya seperti biasa di dalam kamar. Selama tiga hari, Bening tahu kalau Christ selalu menyempatkan diri untuk datang ke rumah. Namun, Bening tidak tidak pernah mau menemuinya sama sekali. Bukan hanya Christ sebenarnya, tapi, Bening juga tidak ingin menjumpai siapa pun. Seperti biasa, setelah semua urusan di kamar selesai, Bening akan turun ke bawah untuk sar
Bening menjulurkan tangan pada wanita cantik dengan pakaian formal yang berdiri di depannya terlebih dahulu. Penampilannya sangat rapi, dan tidak bisa dicela sama sekali. Juntaian surai lurus nan indah yang jatuh tepat di atas bahu itu, sungguh membuat Bening iri akan kesempurnaan tersebut. Tidak seperti surai ikal miliknya, yang kerap terlihat mengembang dan tidak beraturan jika Bening tidak merawatnya dengan benar. Satu yang pasti, kalau Bening ternyata pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya. Ya, Bening ingat benar, kalau wanita itulah yang ia tabrak setelah keluar dari ruangan Rohit kala itu. “Vira, Elvira Danuarja Malik,” ucapnya mengenalkan diri dengan sangat tegas. “Saya kuasa hukum yang akan menangani semua hal terkait wasiat ataupun warisan dari almarhumah bu Sinta. “Bening.” Tatapannya beralih sejenak pada Rohit, yang sudah berada di tengah-tengah mereka saat ini. Duduk melingkari sebuah meja persegi, yang ada di ruang kerja pria itu. Ternyata, tidak perlu sampai menun
Dagu Vira mengetat heran ketika melihat sang suami sudah berada di rumah di sore hari seperti ini. Biasanya, Aga akan sibuk berada di kantor, dan baru datang ke rumah di malam harinya. Saat libur pun, Aga juga kerap berada di luar rumah, karena sang suami mendapatkan jatah liburnya di hari kerja.“Tumben sudah di rumah?” tanya Vira langsung duduk di depan meja rias untuk membersihkan make upnya terlebih dahulu.Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi, dan hanya menutupi tubuhnya dengan selembar handuk, langsung menghampiri Vira. Ia berdiri di belakang sang istri lalu menyentuh kedua bahu Vira dan memberi pijatan lembut di sana.“Aku baru pulang dari Banjarmasin, Vir,” jawab Aga. “Apa kamu lupa?”“Nggak lupa,” bantah Vira
“Mau pulang?” sapa Aga ketika mendapati Bening di dalam lift di lantai lobi. Terlihat jelas kalau wajah itu masih saja sembab setelah pemakaman Sinta tiga hari yang lalu. Bening mengangkat wajah dan tersenyum tipis melihat Aga. Setelah menemani Bening di rumah sakit kala itu, Aga memang tidak bisa berlama-lama menemani dirinya. Ada sebuah tugas yang mengharuskan Aga pergi keluar kota sore harinya. “Bapak sudah pulang?” Bening melangkah keluar lift dan berhenti tepat di depan sang atasan yang terlihat sangat segar. Bening menebak, pria itu baru saja mandi dan langsung pergi ke kantor setelahnya. Aga mengangguk dan kembali mengulang pertanyaannya. “Mau pulang?” “Iya, Christ sudah jemput—” “Kembali ke atas,” titah Aga melew
Setelah menolak permintaan Aga, yang memintanya untuk bertanggung jawab atas perasaan pria itu saat ini, sebenarnya Bening ingin sekali keluar dari mobil. Ia lebih memilih untuk melanjutkan perjalanannya memakai transportasi on-line, tapi pria itu tidak mengizinkannya. Aga tetap bersikeras untuk mengantar Bening hingga sampai ke rumah gadis itu.Tidak ada obrolan lagi setelahnya, karena mereka sibuk mencerna semua hal yang terjadi di antara keduanya. Sampai roda empat itu berhenti di depan pagar rumah Bening yang kini terbuka lebar.“Ada tamu sepertinya,” celetuk Aga sambil menarik handremnya. Melihat ke arah mobil yang sebagian body belakangnya menjorok ke luar pagar.“Mobil yang punya rumah,” ucap Bening seraya melepas sabuk pengamannya.“