Aga berdecak kesal mendengar isakan Bening yang tidak berhenti sedari tadi. Hingga pada akhirnya, ia menepikan mobil di bahu jalan untuk berbicara sejenak dengan gadis itu.
Harusnya, Aga tidak perlu ikut campur dengan masalah pribadi sekretaris yang selalu berani membantahnya itu. Namun, Aga tidak suka melihat perlakuan yang ditunjukkan Christ, pada Bening ketika berada di parkiran hotel. Oleh sebab itulah, Aga akhirnya ikut berceletuk dan melibatkan diri dalam perdebatan keduanya.
Lantas, sikap ikut campurnya beberapa saat yang lalu ternyata membuahkah hal yang sangat mengejutkan. Aga sampai tidak habis pikir, kalau Bening akan berani menyatukan bibir mereka berdua di depan umum seperti tadi. Beruntung, parkiran hotel kala itu tidak terlalu ramai, meskipun ada beberapa orang lewat yang akhirnya melihat aksi mereka berdua.
Aga merutuk sejadi-jadinya setelah itu, karena tidak sanggup mengelak ciuman yang begitu terasa manis dan memabukkan itu.
“Bisa
Malam ini, Aga benar-benar merasa menjadi manusia bodoh. Melibatkan diri dengan urusan pribadi sang sekretaris, sama sekali tidak masuk ke dalam nalar pikiran Aga. Namun, tidak ada lagi yang bisa Aga perbuat karena semua sudah terlanjur terjadi. Aga sudah berciuman dengan Bening, dan kali ini, sekali lagi ia kembali berhadapan dengan Christ. Harusnya, Aga menuruti permintaan Bening untuk menurunkannya di pinggir jalan dan setelah itu biarlah gadis itu pergi ke rumah, atau ke hotel terlebih dahulu dengan memakai ojek. Namun pada kenyataannya, Aga terus saja menginjak pedal gas untuk melajukan mobilnya, sesuai alamat yang telah disebutkan oleh Bening. Sampai akhirnya, ketiganya kembali bertemu di depan rumah Bening. Aga, gadis itu, dan Christ. Aga menoleh sekilas pada rumah yang ditempati oleh sekretarisnya tersebut. Dari pagar yang menjulang tinggi dan terlihat tertutup itu, Aga dapat memastikan kalau kediaman Bening pastinya cukup besar di dalam sana.
Aga memasuki rumah dengan langkah lelah. Baik tubuh, maupun pikiran yang tidak lepas memikirkan kejadian bodoh antara dirinya dan sang sekretaris. Sesekali tangannya terangkat untuk menyentuh bibir yang telah merasakan manisnya ciuman Bening. Aga menggeleng secepat mungkin, untuk menyingkirkan perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup di dalam hati. Hal salah seperti ini, seharusnya tidak pernah terjadi. Menaiki lantai dua dalam kegelapan, Aga masih melihat cahaya lampu kamarnya yang masih berpendar dari celah di bawah pintu. Hal tersebut menandakan bahwa sang istri masih belum terlelap. Meskipun jarum jam, yang ada di pergelangan Aga sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Membuka pintu kamar, Aga melihat punggung sang istri tengah bersandar pada kursi kerjanya. Tangan kirinya memegang berkas. Sementara tangan kanannya tengah memegang mouse yang berada di samping laptop. “Belum tidur?” tanya Aga seraya menundukkan wajah untuk mengecup pipi sang istri. Mem
“Tercecer di mana otakmu yang katanya encer itu, Ning?” Aga menutup pintu mobilnya dengan kasar, setelah menyeret Bening yang hanya duduk tertunduk di lobi. Di antara rasa kantuk, penat, emosi, dan sakit kepala, Aga melajukan roda empatnya dari rumah dengan kecepatan tinggi. Ia hanya ingin melepas sebuah rasa kesal yang tidak dapat sama sekali ia jelaskan dengan kata-kata. Andai sang istri mau memberikan haknya beberapa saat yang lalu, Aga tidak akan mungkin berada bersama Bening saat ini. “Lagi nggak punya otak, Pak.” Jawaban lirih dari Bening itu justru menambah kekesalan Aga saat ini. “Kamu, itu! CK, Kenapa harus nelpon saya? Kenapa nggak nelpon—” “Kalau Bapak nggak mau ke sini, ya, nggak usah dateng! Gitu aja repot!” putus Bening dengan berani membentak Aga. Kemudian, Bening membuka pintu mobil dengan cepat dan keluar dari sana tanpa menutup kembali pintunya. Aga langsung menggeram dengan lepas, seraya mengacak surai hitamnya dengan frustr
Bening keluar kamar dengan wajah sembab dan mata panda yang terlihat bengkak. Melangkah gontai menuju dapur, untuk membuat secangkir kopi pahit guna menghilangkan sakit kepalanya. Duduk di kursi dengan kedua kaki menekuk ke atas, Bening lalu meletakkan dagunya di atas lutut kanannya.Mengingat tentang kebersamaannya bersama Christ selama ini, serta membayangan, apa saja yang dilakukan pria itu di dalam kamar hotel bersama Chika.“Mbak Ning,” sapa Mala, asisten rumah tangga paruh baya yang tugas utamanya mengurus semua keperluan Sinta. Wanita itu sedikit terkejut ketika melihat wajah Bening yang terlihat sangat kusut dan sembab. Karena selama bekerja di sana, Mala tidak pernah melihat Bening sekacau seperti saat ini. “Ada mas Christ di depan.”“Suruh pulang aja, Bu.”“Kenapa harus disuruh pulang?” Sinta tahu-tahu sudah berada di belakang Bening dan mengusap kepala cucunya itu dengan perlahan. Wanita tua itu m
Hari itu, Bening benar-benar tidak datang ke hotel untuk menghadiri perhelatan besar yang telah digelar oleh kantornya. Namun, ia masih tetap menerima telepon dari para rekannya untuk mengalihfungsikan tugas yang diemban oleh Bening. Meskipun tidak datang, tapi Bening tetap bertanggung jawab dengan semua hal sampai sekecil apapun dari jauh.Bening tidak bisa memaksakan tubuh yang sedang tidak sehat itu, untuk datang ke hotel dan ikut serta dalam acara tersebut. Yang ada, nanti justru Bening akan merepotkan para rekannya karena kondisinya yang benar-benar lemas.Ternyata, putus cinta dan patah hati bisa menyakitkan seperti ini. Christ benar-benar telah melambungkannya ke bulan, lalu dengan cepat menghempasnya ke daratan bumi hingga membuat Bening hancur sampai berkeping-keping.“Masuk!” titah Bening setelah mendengar suara ketukan pintu sebanyak dua kali. Ia masih terbaring lemah dengan hanya memakai daster dan menggunakan selimut yang tipis.&
Dengan sweater crop top yang memperlihatkan sebagian perut ratanya, Bening memasuki restoran dengan menahan pusing di kepala. Celana jeans kulot ditambah sneaker berwarna merah yang senada dengan sweaternya, membuat penampilan Bening yang sporty, sekaligus seksi itu, menjadi perhatian beberapa pengunjung restoran yang ada di sana. Terutama, para pria yang benar-benar mengagumi juga menatap liar pada lekukan tubuh yang terlihat sempurna itu.Kalau bukan untuk mengurus masalah rumah warisan, Bening tidak akan mau repot-repot datang ke restoran untuk menemui Rohit dengan tergesa seperti sekarang. Lebih baik ia tidur dan beristirahat di rumah, karena suhu tubuhnya yang masih saja naik turun, meskipun sudah memeriksakan diri ke dokter malam tadi.Sejak kemarin, Bening juga tidak mengangkat telepon dari Christ sama sekali. Bening juga enggan membuka dan membaca chat dari pria itu. Untuk saat ini, Bening hanya ingin menenangkan diri, dari semua masalah yang menimpa hati dan p
Rencana cuti yang akan digunakan Bening untuk melakukan solo traveling, ternyata tinggallah rencana. Selain demam, patah hatinya tersebut akhirnya menyebabkan gadis itu terkena penyakit maag. Banyak pikiran dan stress, ditambah tidak teraturnya asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh Bening, membuat asam lambung gadis itu naik.Alhasil, jatah cuti yang ada, benar-benar dipakai untuk beristirahat di rumah.Sementara itu, setiap pagi dan sore hari, Ruri melaporkan kalau mobil Christ selalu terparkir tidak jauh dari rumah. Ketika Ruri sempat bertemu dan berbicara dengan pria itu, ia menyampaikan kalau Bening tengah mengambil cuti dan pergi Bali. Sesuai dengan yang telah diperintahkan sang majikan kepadanya. Walaupun Ruri yakin, kalau Christ sama sekali tidak percaya dengan ucapannya. Hal itu terbukti, dengan adanya mobil Christ yang setiap hari selalu menyempatkan datang untuk mengamati.Sampai akhirnya seminggu berlalu, dan kesehatan Bening pun juga mulai berangs
Keduanya hanya saling berdiam diri ketika sudah berada di dalam lift. Tidak saling bertegur sapa, maupun melempar perdebatan seperti biasanya. Pun sampai lift berdenting dan pintu bergeser dengan sempurna, baik Bening juga Aga, masih bungkam dengan pikiran masing-masing. Mereka pun masih berjalan dalam diam, meskipun berdampingan. Sampai akhirnya Bening sampai di meja kerjanya dan duduk di sana. Serta Aga yang terus saja masuk menuju ruang kerjanya dalam kesunyian yang ada. Sekitar setengah jam sebelum rapat redaksi pagi di mulai, Bening mengetuk pintu ruangan Aga yang terbuka. Kemudian, Bening melangkah masuk, ketika pria itu sudah mempersilakannya. “Ada apa?” tanya Aga mengalihkan wajah pada Bening dan baru memperhatikan dengan seksama, kalau wajah gadis itu masih terlihat sedikit pucat dan pipi yang tampak tirus. Tidak ada lagi senyum datar, yang memperlihatkan lesung pipi gadis itu, ketika Bening menghadap Aga seperti sekarang. Jika dilihat dari s