Share

Permintaan Terakhir

“Hati-hati pulangnya,” kata Bening setelah melepas sabuk pengaman. “Jangan lupa kabari kalau sudah sampai apartemen.”

“Siap, Nya!” jawab Christ lalu dengan cepat meraih tengkuk Bening dan memagut bibir manis itu tanpa rasa puas. “Aku jemput besok pagi dan salam buat uti.”

“Hmm.” Bening mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya yang terasa kebas, setelah Christ melepaskan pagutan mereka. “Jemput pake motor apa mobil?”

“Pake rok!” Kedua alis tebal Christ itu naik turun dengan tatapan jahil. "Biar cepat bukanya."

Keduanya lantas tergelak bersamaan, sudah saling mengerti akan semua hal.

Itu berarti, Christ akan menjemput Bening dengan memakai mobil besok pagi. “Oke, agak pagi ya, sarapan di rumah."

“Siap, Nya!” Sekali lagi, Christ meraih tengkuk Bening untuk menjatuhkan satu kecupan singkat di tempat favoritnya. “Luv you, Beb.”

“Luv you, too.”

Bening bergegas keluar dari mobil lalu masuk ke dalam rumah dengan bersenandung riang. Seperti suasana hatinya, yang seolah dipenuhi letupan kembang api di tahun baru. Begitu bahagia.

“Christ nggak mampir, Ning?” 

Nyanyian itu terhenti, ketika Sinta yang tengah duduk pada sofa di ruang tengah. Sedari pagi, Bening sudah mengatakan kalau akan pulang telat. Christ yang baru pulang dari luar negeri, akan menjemputnya dan mereka akan makan malam di luar.

“Besok pagi, nggak enak mau mampir, udah malem.” Bening menghampiri Sinta, lalu mencium punggung tangan wanita tua itu dengan takzim. “Besok, biar sekalian sarapan di sini.”

Bening duduk di samping Sinta dan menyerahkan satu paper bag titipan Christ kepada sang uti. “Dari Christ.”

Sinta tersenyum kecil. Meletakkan paper bag tersebut di atas meja tanpa membukanya. Wajah tua itu terlihat serius dan tegas. “Selesaikan hubunganmu dengan Christ.”

Senyum yang ada di wajah Bening langsung surut seketika. “Uti, kena—“

“Sampai kapan?” tanya Sinta memutus ucapan sang cucu. “Sampai kapan kamu mau begini sama Christ? Atau, biar Uti sendiri yang tanya sama dia besok? Kapan dia mau pindah keyakinan dan lamar kamu?”

“Uti—“

“Tujuh tahun, Ning.” Sinta kembali memutus ucapan Bening. “Apa selama itu nggak ada pembicaraan apapun? Mau dibawa ke mana hubungan kalian? Mau begini terus-terusan? Sampai kapan?”

Bibir Bening tertutup rapat. Tidak bisa menjawab satu pun pertanyaan Sinta. Pembicaraan itu bukannya tidak ada, hanya saja, tidak pernah ada titik temu yang mampu menyatukan mereka. 

“Uti ini, sudah tua, Ning. Cuma tinggal dijemput sama Tuhan,” lanjut Sinta meraih kedua tangan Bening dan menangkupnya jadi satu di atas paha. “Uti, cuma mau lihat kamu bahagia.”

“Tapi, aku bahagia sama Christ, Uti,” aku Bening dengan sungguh-sungguh. "Keluarganya, juga welcome dan baik banget sama aku."

Sinta memang tidak mengelak apa yang disampaikan oleh cucunya. Christ dan keluarga besarnya, memang sudah menganggap Bening layaknya putri mereka sendiri. Hal itulah yang membuat Bening sangat berat untuk melepas Christ.

“Sekarang, Uti mau tanya dan jawab dengan jujur, ANDAI, Christ, ngajak kamu nikah di luar negeri, apa kamu mau? Kamu mau jalani rumah tangga dengan dua prinsip di dalamnya?”

Dengan cepat Bening menggelengkan kepala. Bening memang mencintai Christ dengan sepenuh raga, tapi, ia tidak sanggup jika harus hidup bersama dengan keyakinan yang berbeda.

“Kalau begitu, akhiri secepatnya.” Sinta melepaskan tangan Bening kemudian berdiri. “Semakin cepat diakhiri, semakin baik. Uti, cuma mau pergi dari dunia ini dalam keadaan tenang, Ning.”

Tanpa menoleh lagi, tubuh renta itu berjalan pelan menuju kamarnya. Menutup pintu rapat-rapat, dan membiarkan sang cucu memikirkan semua permintaan terakhirnya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
dindingnya terlalu tinggi untuk digapai Ning, saingannya adalah tuhan
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
cinta beda agama beratt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status