Share

Kurang Piknik

“Kamu kenapa, sih? Dari tadi banyak diamnya?” tanya Christ sebelum mobil yang dikemudikannya berbelok di halaman gedung Swara Media. 

“Mau dapet kayaknya, moodku nggak enak banget,” ujar Bening beralasan. 

Pagi tadi, sebelum Christ datang untuk sarapan sekaligus mengantarkan Bening ke kantor, Sinta kembali mengingatkan Bening tentang hubungannya dengan pria itu. 

Bening pun meminta waktu kepada Sinta untuk membicarakannya semuanya dengan Chris sekali lagi. Jika kali ini, mereka tidak mendapatkan titik temu, maka Bening berjanji akan mengakhiri semuanya  dengan pria itu.

Untuk itu, Sinta pagi tadi tetap bersikap ramah seperti biasanya. Wanita tua itu mengurungkan niatnya untuk membicarakan hubungan yang ada di antara cucunya dan pria itu.

Sungguh disayangkan sebenarnya. Christ dan seluruh keluarganya adalah hal yang sempurna untuk Bening. Akan tetapi, ada satu hal dasar, yang tidak bisa menyatukan doa mereka.

“Tamumu itu, baru datang seminggu yang lalu,” ungkap Christ lalu menyalakan lampu seinnya. Berbelok ke dalam parkiran gedung dan memarkirkan mobilnya tidak terlalu jauh dari pelataran kantor.

Bening menoleh pada Chris dengan tawa lemah. Pria satu itu, memang berbeda. Selalu sempurna tanpa cela di mata Bening. Christ bahkan lebih tahu mengenai jadwal tamu bulanan Bening daripada dirinya sendiri.

“Puyeng, kantor mau ada acara, kan? Mana pemred baru itu resek banget.” Bening kembali beralasan karena pagi ini bukan waktu yang tepat untuk menyelesaikan semuanya.

“Sabar, kalian kan belum saling kenal,” ucap Christ setelah mematikan mesin roda empatnya. “Baru seminggu, kan? Nanti lama-lama juga pasti tahu ritme kerja dan wataknya dia bagaimana.”

“Iya, kali.” Bening melepaskan sabuk pengamannya dan seperti biasa, akan selalu ada pagutan panas sebelum Christ melepas Bening untuk keluar dari mobilnya. 

“I love you.”

“Love you more,” balas Bening lalu menghapus sedikit lipstik yang menempel di bibir Christ. “Jemput jam enam, ya!”

“Oke!”

Tanpa menunggu mobil Christ beranjak dari parkiran, Bening segera berjalan menuju gedung kantor. Begitu kaki Bening melangkah memasuki lift, ada Aga yang ternyata menyusul masuk bersamanya.

“Pagi, Pak Aga,” sapa Bening dengan tidak ikhlas. Hatinya masih saja terlampau kesal karena peraturan mendadak yang diciptakan Aga untuk dirinya. 

Pria yang selalu berpenampilan santai itu, lantas menatap Bening lekat-lekat. Tidak membalas sapaan yang dilontarkan oleh sang sekred. Sejurus kemudian, Aga pun berdecak setelah menekan tombol lantai, tempat mereka berkerja. 

“Jangan berbuat asusila di kantor.”

Manik Bening menatap sudut lift sekilas sembari berpikir. “Saya?”

“Siapa lagi yang pagi-pagi sudah berbuat mesum di parkiran kantor.”

Bibir sensual Bening itu mencebik dan Aga dapat menatapnya dari pantulan pintu lift. “Bapak itu, kayak nggak pernah muda aja.”

Aga langsung melirik ke arah Bening dengan tajam. “Saya pernah muda, tapi saya nggak melakukan—“

“Anggaplah saya percaya,” putus Bening menirukan ucapan Aga padanya kala itu. 

Aga langsung menarik napasnya dalam-dalam. Seumur-umur Aga bekerja di beberapa tempat, ia tidak pernah sekali pun berani untuk memutus ucapan atasannya, seperti yang sudah dilakukan oleh Bening barusan.

“Saya heran, kenapa kamu bisa jadi sekred di sini. Attitude kamu itu buruk sekali.”

Bening memutar tubuhnya untuk menatap Aga. Ia mengetuk pelipisnya dua kali dengan pongah. “Otak saya encer, Pak,” jawabnya dengan semua rasa percaya diri yang luar biasa. “And my attitude is, based on how you treat me. If you treat me right, I’ll treat you better.”

“Kamu sadar dengan posisimu saat ini, Ning?” tanya Aga dengan nada mengancam.

“Saya dua tahun loh, Pak, jadi sekred di sini.” Bening memulai argumennya dengan tegas. “Silakan Bapak tanya sendiri, dari OB sampai jajaran petinggi di atas sana, bagaimana kinerja dan sikap saya dengan mereka.”

Denting pintu lift yang menandakan mereka sudah sampai di lantai redaksi, akhirnya berbunyi nyaring. Hal itu membuat Bening ingin segera mengakhiri perdebatannya dengan Aga secepat mungkin.

“Permisi, Pak,” pamit Bening dengan cepat, lalu keluar lebih dulu untuk meninggalkan Aga. Bagi Bening, atasan barunya itu mungkin saja kurang piknik atau tidak diberi jatah oleh istrinya di rumah. Jadi, Aga selalu melampiaskan semua hal itu kepada Bening di kantor. 

“Hubungi lagi semua kepala daerah dan kepala dinas yang ada di daftar kemarin,” titah Aga berhenti sebentar di samping meja Bening. Perasaan kesal itu masih ada sebenarnya, tapi, Aga harus bersikap profesional dan menyingkirkan semua egonya.

“Pastikan, siapa-siapa saja yang bisa datang dalam malam penghargaan nanti. Jika berhalangan, langsung tanya, siapa yang mewakilkan dan catat namanya.”

“Oke, Pak.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
nanti lama² juga jatuh cinta nih Aga
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status