Aga yang baru datang ke kantor tepat ketika jam pulang kerja karyawan, berhenti sejenak di sisi meja sekred yang kosong. Perangkat komputer yang masih menyala dan ponsel yang tergeletak begitu saja di samping mouse, menandakan si empunya tidak berada jauh dari ruang redaksi. Bening, masih berada di kantor dan belum pulang ke rumah.
Benar saja, saat kaki Aga hendak melangkah masuk ke dalam ruangannya, gadis itu muncul dari koridor yang mengarah ke toilet.
“Sore Pak Aga,” sapa Bening dengan sopan. “Daftar kepala daerah dan kepala dinas yang Bapak minta tadi pagi, sudah saya emaìl.”
“Makasih,” ucap Aga kemudian melihat penampilan Bening dari ujung rambut hingga kaki, kemudian menghela. “Ini seragam yang kamu bilang kebesaran?” tunjuknya tanpa sungkan pada tubuh Bening yang baru saja duduk di kursi kerjanya.
Kedua tangan Bening terangkat untuk menyisipkan surai bergelombangnya ke belakang telinga. Mengangkat wajah dan mempertemukan maniknya dengan Aga. “Ukuran baju saya itu S, Pak. M masih gak papalah, tapi ini kebagian L,” adu Bening. “Masa’ tiga kali pembagian seragam, tiga kali juga saya dapat L.”
“Besok-besok, saya pesanin XL buat kamu.” Aga beringsut masuk ke dalam ruangannya dan meninggalkan Bening, yang kini kembali merutuk kesal karena sikap atasannya itu.
Setelahnya, Bening dengan cepat mematikan semua perangkat komputernya agar bisa segera pergi dari kantor. Namun, baru juga Bening berdiri hendak meninggalkan meja, terdengar suara Aga yang memanggilnya dari dalam ruangan.
Mau tidak mau, kaki Bening harus berbelok sejenak untuk masuk ke dalam bilik yang dindingnya dipenuhi dengan rak buku.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Bening hanya berdiri di ambang pintu. Tas kerjanya pun sudah ia sampirkan di bahu. Menunjukkan pada Aga, kalau dirinya ingin segera pergi dari sana.
“Ikut rapim* sama saya besok siang,” titah Aga. “Minta satu anak IT standby di ruang rapat. Dan pastikan lagi konsumsinya, jangan sampai telat datang.”
Bibir sensual Bening itu sedikit maju, untuk menunjukkan sikap protesnya. “Sudah ada sekdir* yang ikut, mubazir, Pak, kalau saya ikut juga. Kan, sudah ada yang buat notul—“
“Pulang sekarang, atau saya suruh kamu fotokopi daftar—“
“Selamat sore, Pak. Selamat bekerja, permisi.”
Daripada meneruskan perdebatan yang sepertinya akan merugikan dirinya, pada akhirnya Bening memutar tubuh. Beranjak dari ruang Aga dan segera pergi menuju lift.
Di luar gedung, sudah ada pria yang selama tujuh tahun ini, telah mengisi hari-harinya dengan tawa bahagia. Pria yang selalu ada dan selalu bersama Bening dalam suka maupun duka. Pria luar biasa yang membuat Bening akhirnya memiliki tujuan hidup.
“Aku kirain lembur, Beb,” ujar Chris, pria tampan yang selalu berpenampilan rapi dan wangi itu.
“Hampir! Tapi aku melarikan diri!” Bening terkikik geli dan membiarkan pria itu memasangkan helm di kepalanya.
Christ kemudian menaiki motor sportnya terlebih dahulu. Menoleh pada Bening sebentar seraya memegang helm full facenya. “Delivery, atau drive thru?”
“Delivery, aku lagi gak pengen makan fast food.” Bening meletakkan kedua tangannya pada pundak Christ, sembari menginjak footstep lalu menaiki motor bermesin 400cc tersebut. Setelah dirasa tubuhnya stabil, tangan Bening turun untuk memeluk tubuh Christ dengan erat. “Ayo!”
Setelah memakai helm, Chris segera menstarter roda duanya lalu pergi dengan kecepatan tinggi. Membelah sore dengan tergesa, karena ingin menuntaskan sebuah rasa, setelah tidak bertemu Bening selama satu pekan.
Setelah sampai di unit apartemen milik Christ, Bening langsung berlari ke kamar yang biasa Christ tempati. Seperti biasa, setelah Chris pulang dari luar negeri, pria itu pasti membawakan Bening sesuatu.
Tanpa segan, Bening melompat ke atas tempat tidur dan membuka tiga buah paper bag yang sudah tergeletak di atas tempat tidur satu per satu.
“Aku sudah bilang jangan bawain cokelat lagi,” rajuk Bening dengan sudut bibir yang menahan senyum. Mengeluarkan tiga buah kotak cokelat dari paper bag yang pertama. “Nanti aku tambah gemuk, tauuk!”
Christ mengabaikan ucapan Bening. Ia merampas kotak cokelat dari tangan Bening lalu meletakkannya di atas nakas. Chris lalu menghempas tubuh sintal itu ke tempat tidur. “Bukan tambah gemuk, tapi tambah seksi. Lagian, tumben pake seragam ke kantor?” tanya Christ sudah berada di atas tubuh Bening lalu melepas kaos dan membuangnya ke sembarang arah.
Mendengar pertanyaan Christ, Bening seketika teringat dengan Aga. Hal itu lantas membuatnya berdecak kesal. “Jadi, kema—“
“Ssshh …” Christ menunduk untuk meletakkan telunjuknya di atas bibir sensual itu. “Nanti aja bahasnya, aku sudah kangen.”
Selama seminggu tidak bertemu, Bening tentu saja sudah tahu arti kata kangen yang baru diucapkan oleh Christ. Namun, rasa itu tidaklah bertepuk sebelah tangan, karena Bening juga menginginkan, apa yang pria itu kehendaki.
Melebur menjadi satu, untuk melepas semua rindu.
~~
Note :
Rapim : Rapat pimpinan.
Sekdir : Sekretaris Direksi
“Hati-hati pulangnya,” kata Bening setelah melepas sabuk pengaman. “Jangan lupa kabari kalau sudah sampai apartemen.”“Siap, Nya!” jawab Christ lalu dengan cepat meraih tengkuk Bening dan memagut bibir manis itu tanpa rasa puas. “Aku jemput besok pagi dan salam buat uti.”“Hmm.” Bening mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya yang terasa kebas, setelah Christ melepaskan pagutan mereka. “Jemput pake motor apa mobil?”“Pake rok!” Kedua alis tebal Christ itu naik turun dengan tatapan jahil. "Biar cepat bukanya."Keduanya lantas tergelak bersamaan, sudah saling mengerti akan semua hal. Itu berarti, Christ akan menjemput Bening dengan mem
“Kamu kenapa, sih? Dari tadi banyak diamnya?” tanya Christ sebelum mobil yang dikemudikannya berbelok di halaman gedung Swara Media.“Mau dapet kayaknya, moodku nggak enak banget,” ujar Bening beralasan.Pagi tadi, sebelum Christ datang untuk sarapan sekaligus mengantarkan Bening ke kantor, Sinta kembali mengingatkan Bening tentang hubungannya dengan pria itu.Bening pun meminta waktu kepada Sinta untuk membicarakannya semuanya dengan Chris sekali lagi. Jika kali ini, mereka tidak mendapatkan titik temu, maka Bening berjanji akan mengakhiri semuanya dengan pria itu.Untuk itu, Sinta pagi tadi tetap bersikap ramah seperti biasanya. Wanita tua itu mengurungkan niatnya untuk membicarakan hubungan yang ada di antara cucunya dan
“Kamu, sudah dari tadi pagi, kayak gini, loh, Beb.”Akhirnya, setelah sepanjang jalan menuju apartemen keduanya terdiam, Christ membuka mulut. Menutup pintu unit, lalu menyusul Bening yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar. Gadis itu terlihat baru saja bertelungkup lelah di atas ranjang.“Ada masalah sama, Uti?” tanya Christ ikut merebahkan tubuhnya di samping Bening. Menyatukan kedua telapak tangannya di belakang kepala sebagai bantal. “Karena kemarin malam, kamu itu baik-baik aja.”“Uti …” Bening menolehkan kepala pada Christ, Mebiarkan surai ikal sebahu itu jatuh terhambur di sisi wajah. “Minta aku berhenti ketemu sama kamu.”“Kenap ….” Seketika, Christ membungkam mulutnya sendir
“Pak Agaa … pelan-pelan jalannya,” rengek Bening yang kewalahan untuk menyamakan langkahnya dengan pria itu.Andai saja, Bening tidak berlama-lama di ballroom hotel untuk menghibur diri karena masalahnya dengan Christ, saat ini ia pasti sudah ada di rumah. Sayangnya, Bening masih betah duduk untuk melihat persiapan malam penghargaan yang akan dihelat besok malam.Sampai, Aga datang dan meminta Bening untuk mengikutinya. Entah mengikuti ke mana. Yang jelas, mereka kini sudah menuju lobi dan langkah Aga berhenti di depan meja resepsionis.“Bapak, iih!” Bening menghentak high heelsnya satu kali untuk menumpahkan rasa kesal yang ada di hati. “Kalau kaki saya keseleo, bisa gak ikut nampang saya besok, Pak.”Aga membuang napas d
Dengan menahan semua sesak di dalam dada, Bening terus saja berjalan melewati Mike menuju lobi. Kali ini, Bening hanya ingin segera pulang dan tidak mau terlibat dalam hal apapun lagi. Semua drama yang ada malam ini, sudah cukup membuat hatinya teriris pilu.Christ, satu-satunya pria yang selama ini ada di dalam hidup Bening, ternyata sudah berkhianat di depan mata. Bening juga tidak bisa meraba, sejak kapan pria itu berhubungan dengan wanita yang bernama Chika tersebut. Karena selama ini, tidak ada sedikit pun sikap Christ yang menunjukkan bahwa pria itu telah memiliki wanita lain di luar sana.“Bening!” Christ yang akhirnya menyusul gadis itu langsung meraih tangan Bening. Mencekal dan menarik tangan dingin itu, ketika Bening sudah berjalan di area parkir di depan pintu utama hotel. Gadis itu terlihat berjalan tergesa ingin keluar dari area hotel.Bening yang seketika berbalik, langsung menghempas tangan Christ dengan kasar. “Ngapain nyusul?&
Aga berdecak kesal mendengar isakan Bening yang tidak berhenti sedari tadi. Hingga pada akhirnya, ia menepikan mobil di bahu jalan untuk berbicara sejenak dengan gadis itu.Harusnya, Aga tidak perlu ikut campur dengan masalah pribadi sekretaris yang selalu berani membantahnya itu. Namun, Aga tidak suka melihat perlakuan yang ditunjukkan Christ, pada Bening ketika berada di parkiran hotel. Oleh sebab itulah, Aga akhirnya ikut berceletuk dan melibatkan diri dalam perdebatan keduanya.Lantas, sikap ikut campurnya beberapa saat yang lalu ternyata membuahkah hal yang sangat mengejutkan. Aga sampai tidak habis pikir, kalau Bening akan berani menyatukan bibir mereka berdua di depan umum seperti tadi. Beruntung, parkiran hotel kala itu tidak terlalu ramai, meskipun ada beberapa orang lewat yang akhirnya melihat aksi mereka berdua.Aga merutuk sejadi-jadinya setelah itu, karena tidak sanggup mengelak ciuman yang begitu terasa manis dan memabukkan itu.“Bisa
Malam ini, Aga benar-benar merasa menjadi manusia bodoh. Melibatkan diri dengan urusan pribadi sang sekretaris, sama sekali tidak masuk ke dalam nalar pikiran Aga. Namun, tidak ada lagi yang bisa Aga perbuat karena semua sudah terlanjur terjadi. Aga sudah berciuman dengan Bening, dan kali ini, sekali lagi ia kembali berhadapan dengan Christ. Harusnya, Aga menuruti permintaan Bening untuk menurunkannya di pinggir jalan dan setelah itu biarlah gadis itu pergi ke rumah, atau ke hotel terlebih dahulu dengan memakai ojek. Namun pada kenyataannya, Aga terus saja menginjak pedal gas untuk melajukan mobilnya, sesuai alamat yang telah disebutkan oleh Bening. Sampai akhirnya, ketiganya kembali bertemu di depan rumah Bening. Aga, gadis itu, dan Christ. Aga menoleh sekilas pada rumah yang ditempati oleh sekretarisnya tersebut. Dari pagar yang menjulang tinggi dan terlihat tertutup itu, Aga dapat memastikan kalau kediaman Bening pastinya cukup besar di dalam sana.
Aga memasuki rumah dengan langkah lelah. Baik tubuh, maupun pikiran yang tidak lepas memikirkan kejadian bodoh antara dirinya dan sang sekretaris. Sesekali tangannya terangkat untuk menyentuh bibir yang telah merasakan manisnya ciuman Bening. Aga menggeleng secepat mungkin, untuk menyingkirkan perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup di dalam hati. Hal salah seperti ini, seharusnya tidak pernah terjadi. Menaiki lantai dua dalam kegelapan, Aga masih melihat cahaya lampu kamarnya yang masih berpendar dari celah di bawah pintu. Hal tersebut menandakan bahwa sang istri masih belum terlelap. Meskipun jarum jam, yang ada di pergelangan Aga sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Membuka pintu kamar, Aga melihat punggung sang istri tengah bersandar pada kursi kerjanya. Tangan kirinya memegang berkas. Sementara tangan kanannya tengah memegang mouse yang berada di samping laptop. “Belum tidur?” tanya Aga seraya menundukkan wajah untuk mengecup pipi sang istri. Mem