Share

Bab 2

Hari-hari kian berlalu,  tapi Intan masih belum bisa melupakan kejadian di kafe itu.  Setiap mengingatnya entah mengapa  air mata tak dapat ia cegah meluncur dengan derasnya. Dirinya  sudah terlalu berharap selama ini, tapi sekarang kenyataan malah menghempaskan hatinya berkeping-keping, membuat ia tak bisa menerima begitu mudah.

 

Sudah hampir seminggu  semenjak pengakuan Ferdi, dan itu  berarti  dua hari lagi pesta pernikahan sang mantan. Membayangkan itu membuat hati gadis itu kembali perih, ada rasa tak terima dirinya diperlakukan seperti ini.

 

Bukankah seharusnya pria itu meminta maaf dulu padanya dengan baik, tapi sepertinya Ferdi tak ada niat sedikit pun. Setelah hari itu dan pria pengecut itu tak pernah lagi menemuinya, bahkan undangan pernikahan mereka saja diantarkan oleh orang suruhan Bu Farah.

 

Sekarang ia benar-benar melihat tak ada  keseriusan Ferdi dalam hubungan mereka ini, pria itu hanya ingin mempermainkannya saja.

 

.....

 

Bima masuk ke dalam kamar sang adik,  dari tadi ia sudah berusaha memanggilnya tapi tak kunjungi ada jawaban makanya ia langsung masuk.

 

Saat menemukan Intan,  lagi-lagi wajah sedih ini yang ia lihat. Hampir satu minggu ia melihat Intan yang bagaikan mayat hidup,  membuat rasa penasaran Bima semakin menjadi. Karena selama seminggu ini setiap ditanya kenapa, adiknya ini selalu menjawab tidak apa-apa.

 

“Dek,  kok kamu beberapa hari ini jadi pendiam sih?  Kamu baik-baik saja kan?” tanya Bima khawatir.

 

Memang intan tak bercerita pada keluarganya tentang ia yang sudah putus dengan Ferdi. Ia memilih memendam sendirian,  menangis dikamar sendirian,  apalagi seorang gadis patah hati lakukan jika bukan itu semua?,

 

“Gak apa-apa kok,  bang.  Adek Cuma capek aja,” ucap Intan berkilah. “Abang sejak kapan ada dikamar Intan?”

 

“Dari tadi ... Kamu pasti lagi bohong kan, kamu Gak lagi baik-baik aja kan?” Bima mendesak adik nya untuk bercerita, “apa kamu punya masalah dengan pacarmu, dek?”

 

Intan terenyak mendengar pertanyaan kakaknya,  apa semudah itu raut wajahnya dapat dibaca?  Tapi memang benar sih,  karena selama ini Bima selalu mampu membaca raut wajahnya.

 

Intan tertawa hambar, “bagaimana bisa kamu menebaknya begitu cepat, bang.” ucap Intan disela tawanya. “Aku dan dia sudah tak punya hubungan lagi  ... Minggu ini dia akan menikah.”

 

“Astaga!! Kenapa?”

 

“Karena dia sudah menyerah,” jawab intan acuh tak acuh.

 

Bima sungguh terkejut mendengarnya,  padahal selama ini ia pikir hubungan mereka berdua baik-baik saja.  Apalagi Bima sangat percaya jika Ferdi pria yang baik,  terlihat dari penampilannya dan bagaimana ia menjaga adiknya selama ini, cukup untuk membuat dirinya mempercayai Ferdi tak akan mungkin menyakiti adiknya. Tapi sekarang,  bagaimana bisa pria itu berkhianat?

 

Bima mengeram kesal, berani sekali pria itu mempermainkan adiknya! Ia berjanji suatu hari nanti dirinya pasti akan menghajar pria yang telah Merani melukai adiknya.

 

Bima menarik nafas kepala, "bagaimana bisa begitu?” tanya Bima, lagi.  Seolah belum juga percaya apa yang baru saja ia dengar.

 

“Ya begitulah kak ... Dia bilang,  dia dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan wanita pilihan mereka .”

 

“Tapi kenapa dia tidak berusaha memperjuangkan hubungan kalian?”

 

“Tidak tahu,  mungkin cintanya tak begitu dalam padaku ... Lagi pula tak ada gunanya berhubungan dengan orang yang tidak bisa menerima diriku.”

 

Bima terdiam Mendengarnya.  Pria itu pernah mendengar bahwa keluarga Ferdi tak menerima adiknya menjadi menantu di keluarga itu. Tapi Bima sempat berpikir jika Ferdi mencintai intan pasti pria itu berusaha meyakinkan orang tuanya.

 

“Hanya karena keluarga mereka kaya,  mereka  bisa mempermainkan kehidupan PT sederhana seperti kita.” Bima tersenyum kecut.  “Gak apa-apa dek,  abang yakin kamu bisa menemukan pria yang lebih baik dari Ferdi! Buat mereka menyesal karena telah meremehkan kita!”

 

Intan tersenyum bahagia, dalam hati ia mengamini ucapan kakaknya. Tentu saja dirinya akan mencari yang terbaik,  meskipun bukan yang kaya seperti  Ferdi tapi ia akan mendapatkan pria yang bisa menerima dirinya apa adanya, yang mau berjuang bersamanya dan berharap  juga bisa mendapatkan mertua yang baik pada dirinya, nanti.

 

“Terima kasih sudah mau mendengar cerita ku, abang kakak terbaik yang aku miliki.”

 

Bima mengusap lembut  kepala adiknya yang terbungkus hijab, “sudah jangan sedih lagi, nanti bunda lihat, ikutan sedih dia nanti.” Intan langsung menghapus air matanya,  ia tak ingin jika ibunya bersedih dengan masalah sepele seperti ini.

 

“Kamu datang atau tidak ke pernikahan mereka?” tanya Bima lagi.

 

“Entah lah ... Aku tak yakin siap melihat mereka bersanding bang.  Membayangkan nya saja rasanya aku sudah mau nangis,  apalagi kalau lihat langsung.”

 

Bima menggeleng tak setuju,  “kamu salah dek,  bagi kakak kamu harus datang.  Meskipun pada akhirnya kamu menangis,  tapi dari itu semua akan membuat kamu sadar dan lekas melupakan nya,  karena kamu sudah melihat sendiri  dia sudah menjadi milik orang lain”

 

5Intan merasa tak setuju, bagaimana pun ia masih belum siap, apalagi  dirinya masih sangat mencintai Ferdi.

 

“Bagaimana kalau aku membuat kekacauan disana?  Itu akan sangat memalukan, bang.”

 

“Abang gak maksa kamu kok, dek. Tapi coba kamu pikirkan saja dulu,  kamu sendiri tahu mana yang terbaik.”  Bima kembali  mengusap lembut kepala adiknya dengan sayang.

 

“Iya,  bang.  Intan mengerti kok,  akan aku coba nanti!”

 

Bima tersenyum lega,  melihat adiknya baik-baik saja ia sudah sangat bersyukur,  ia tak akan pernah rela jika adiknya terluka.

 

*****

 

Setiap luka memang membutuhkan waktu, bukan untuk mengobatinya tapi untuk melupakan kejadian itu sendiri.

 

Intan tak yakin jika dirinya bisa melupakan Ferdi, tapi ia yakin suatu hari nanti ia tidak akan berbuat apa-apa lagi karena pria itu. Jika tak bisa melupakan setidaknya ia bisa memaafkan, menyimpan dendam itu dosa? Dari pada menambah beban hidupnya, lebih baik ia menemukan kebahagiaan dirinya sendiri.

 

Intan membocorkan nanar sebuah benda di atas tempat tidurnya. Sebuah gaun cang yang diberikan bang Bima membuat ia terkagum-kagum.

 

“bang, dapat baju ini dari mana?” tanya gadis itu lagi.

 

“kamu gak usah tahu, yang penting adik abang ini tampak cantik pernikahan pria itu nanti.”

 

Intan kembali cengo mendengar ucapan sang kakak, kok kakaknya jadi sewot pada Ferdi ya?

 

“Terima kasih, bang. Besok Intan apa yang akan datang, setelah aku pikir abang benar juga, aku harus membuktikan dirimu dan keluarga bangga nya, bahwa aku baik-baik saja tanpa pria pengecut itu!”

 

“bagus, itu adik abang, kuat dan pemberani.” Bima memeluk adiknya lagi, ia tersenyum melihat adiknya lebih baik dari kemarin-kemarin.

 

Intan membalas tak kalah erat memeluk Bima, dengan begini ia seolah mendapatkan energi positif.

 

"Kakak benar, aku tidak boleh terlihat lemah dihadapan mereka. Hidupku masih panjang, aku tak boleh menyerah seperti ini. hanya untuk seorang pria pengecut seperti dia, aku tak boleh menangisi nya lagi!" gumam Intan mencoba untuk lebih kuat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status