Share

Bab 3

Ferdi menatap nanar dirinya didepan cermin, tubuhnya sudah dibalut dengan Jas mahal khas seorang pengantin.  Terkesan mewah dan sangat cocok ditubuh tampannya, tapi sayang penampilan perfek itu tak didukung dengan senyuman menawan pria itu yang telah hilang entah sejak kapan.

 

Bagaimana mungkin ia tersenyum,  sedangkan hatinya hancur. Hancur karena kehendak orang tua yang  begitu egois,  karena harta dan tahta semua orang seakan lupa jika semua manusia itu dilahirkan sama.

 

Beberapa menit lagi ia akan mengucapkan ijab kabul untuk seorang wanita yang tidak dicintainya,  dan setelah  pernikahan ini sah, Ferdi yakin ia tak akan bahagia seperti dulu lagi.

 

“Aduh... Gantengnya anak tante.  Kamu benar-benar cocok dengan  bela. Yang satu cantik yang satu ganteng  ... Pasangan yang serasi.” Wanita paruh baya itu adik dari ibunya,  wanita itu terus saja memuji Ferdi meskipun  tak direspons sedikit pun.

 

“Ya jelas dong. Kan aku yang pilih calon mantu,  pasti lah cocok.”  Dengan bangga  Sarah memuji pilihannya.

 

Mila terdiam mendengar penuturan sang kakak,  ia mengernyit tak mengerti. Kenapa kakaknya malah bilang seperti itu,  terkesan ia yang merencanakan semua ini.

 

“Kok malah kakak yang cari sih,  bukannya Ferdi sendiri?” tanya Mila, ia menunggu jawaban dari kakaknya yang main asyik tertawa.

 

Farah terhenti tertawa, mendengar pertanyaan adiknya membuat wanita itu tersenyum licik. Teman-teman sosialita Farah ikut menyimak obrolan mereka,  tak ada yang menyela,  mereka malah menikmati saja, toh itu bukan urusan mereka.

 

“Kamu itu ya, Mila.  Calon mantu itu  ya kita yang cari,  kalau disuruh anak kita pasti mencari yang enggak benar.  Mereka itu hanya tahu tentang cinta, tapi kita yang lebih tua tentu tahu orang yang pantas menjadi bagian dalam keluarga kita.” Perkataan itu mungkin sederhana,  tapi mampu membuat ibu-ibu disana bungkam.

 

Mila yang merasa ada keanehan, melihat keponakannya dengan iba.  Sekarang ia tahu kenapa wajah Ferdi terlihat begitu murung, terlihat tak bersemangat sedikit pun,  padahal ini hari penting anaknya itu,  bukankah seharusnya ia penuh canda dan tawa?

 

“Aku rasa kakak salah. Menikah itu perkara bersama seumur hidup,  jika didasari dengan paksaan pasti tidak akan menjadi berkah.” Mila mencoba membantah.

 

Farah merasa tak senanang dengan Jawaban adiknya,  wanita paruh baya itu tersenyum sinis.  Farah itu tak suka perkataannya dibantah apalagi didepan teman-teman nya, ia akan merasa rendah diri jika ada yang berani  membantah ucapannya.

 

“Tahu apa kamu tentang cinta, dek? Kamu kan belum punya anak yang mau menikah,  besok-besok kamu juga pasti akan menyesal  berbicara seperti itu.”

 

Mila tahu sifat keras kepala kakaknya,  karena itu ia tak ingin melanjutkan  pertengkaran itu.  Banyak para tamu di luar, dan juga teman-teman kakaknya sini.  Ia tak ingin mengacaukan acara bahagia ponakannya, Jadi ia memilih untuk mengalah.

 

Mila mengusap lengan Ferdi, seolah memberi semangat pada anak muda itu.

 

“Tante gak tau apa yang terjadi,  tapi  tante hanya berdoa kamu selalu bahagia. Kamu harus semangat!”

 

Ferdi menoleh saat tantenya memberi semangat,  tapi baginya tak berguna lagi,  karena kehidupan ia selama ini sudah diatur sedemikian rupa oleh bunda dan ayahnya, lalu bagaimana cara dia bahagia?

 

Tapi tak masalah,  setelah ini ia kan berusaha mendapatkan gadisnya lagi!

 

Bukankah memiliki lebih dari satu istri diperbolehkan dalam Islam?

 

Mengingat itu  Ferdi mulai tersenyum licik.  Cukup ia menikah saja dengan bela,  setelah itu ia tak akan memedulikan wanita manja itu.

 

******

 

Intan melihat pantulan  dirinya didepancermin, ia tersenyum kecut melihat dirinya yang terlihat begitu cantik. Hanya untuk membuat mantan menyesal ia sampai berdandan begitu parah,  padahal selama ini  ia tipe gadis yang malas berdandan,  ia lebih suka terlihat apa adanya.

 

“Wah,  adik abang cantik banget hari ini,” goda Bima yang dibalas rona merah di pipi adik gadisnya itu.

 

“Abang apaan sih,” jawab Intan malu.

 

“Loh,  abang bicara jujur loh.  Kalau gak percaya tanya saja sama bunda.”

 

Intan tahu hari ini dirinya memang berdandan se maksimal mungkin,  tentu saja hasilnya tak mengecewakan. Hampir satu jam dirinya berias diri,  dan alhamdulillah tak mengecewakan hasilnya.

 

“Enggak mau ah,  nanti di ejek bunda.”

 

Mayang yang berada diambang pintu,  tersenyum bahagia melihat putrinya bisa tersenyum lagi.  Dia tahu tentang kandasnya hubungan Intan dan Ferdi, ia juga tahu hari ini adalah hari pernikahan pria penghianat itu. Semua itu Bima yang memberi tahu,  dan anak sulungnya itu berkata untuk tak banyak bertanya dulu dengan intan,  mereka takut membuat intan semakin tertekan.

 

“Kakak kamu benar kok, anak bunda memang sangat cantik. Dan hari ini kecantikannya bertambah berkali-kali lipat!” ucap mayang menyahut.

 

Intan yang tidak tahu keberadaan ibunya itu, terkejut. Ia menoleh cepat, dan benar saja bundanya mulai melangkah mendekatinya.

 

“loh, bunda dari kapan disana?”

 

“Dari kalian mulai ngobrol, bunda sudah dengar semuanya.”

 

Intan mendelik pada abangnya, sepertinya mereka berdua sama-sama datang, dirinya saja yang tak tahu tadi pagi juga ada melihat ia dan Bima berdebat dengan bunda.

 

“Jadi bagaikan? Sudah siap perginya?”

 

Bima merangkul adiknya, untuk memberi semangat. Begitu juga dengan mayang, ia tersenyum lembut pada anak gadisnya itu.

 

“Pergilah cantik, bunda akan menunggu ceritamu saat kembali nanti,” ucap bunda mayang.

 

Intan mengangguk, setelah berpamitan ia langsung keluar dari kamar.

 

Taksi yang sudah sampai, Intan langsung dipesan langsung berangkat. Ia tak sabar ingin melihat drama apa yang terjadi setelah ini. Di dalam taksi intan tertawa terpingkal-pingkal, berakhirnya ucapan selamat adalah salah satu hal yang sangat disayangkan bagi Intan.

 

Jika nanti ada kesempatan sekali rasanya ia membalaskan rasa sakit hati ini, agar pria itu tahu bagaimana rasa sakit ditinggalkan.

 

******

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status