Hari bahagia Daniel dan Rachel, akhirnya resmi berakhir kemarin malam. Bukan berakhir yang mengartikan hubungan mereka kandas. Hanya saja, Rachel yang harus pulang agar tak terus menerus di telepon oleh sang ibu seperti di terror. Dan sebagai taggung jawab Daniel yang harus menjaga kekasihnya dengan baik. Terlebih jika mereka belum berada dalam ikatan resmi yang di restui oleh orang tua keduanya.
Daniel memaksakan diri untuk bertemu dengan orangtua Rachel. Dia bahkan membujuk kekasihnya dengan berbagai kata rayuan yang belum pernah dia lontarkan sebelumnya pada Rachel maupun wanita lain sebelumnya. Selain karena memang ingin bertemu dengan orangtua sang kekasih dan mengenal mereka lebih dekat, Daniel juga berharap mereka bisa mendapatkan restu secara resmi dari orangtua Rachel. Agar jika suatu saat nanti Daniel kembali mengajak Rachel seperti tempo hari, mereka tak perlu merasa canggung dan sebagainya. Serta meminta maaf pada orangtua Rachel, karena telah mengajak anak mereka
“Aku… masuk dulu ke dalam ya?” kata Rachel berpamitan.Daniel mengangguk dan membukakan pintu untuk kekasihnya dari dalam mobil dan melambaikan tangan pada Rachel setelah itu. mobil Daniel kemudian kembali melaju menjauhi pintu utama dan menuju ke gerbang setelah rachel memastikan, meminta penjaga rumahnya untuk membuka gerbang agar Daniel bisa keluar dari sana tanpa masalah.**Rachel masuk ke dalam rumah dan melihat sang ibu sudah berdiri sambil melipat tangannya di dada dan berdiri di ujung tangga sambil menatap tajam Rachel seolah siap menguliti sang anak.Rachel langsung mengangkat tangannya sebelum Minjung sempat membuka mulut, “aku tahu apa yang ingin ibu katakan. Dia kekasihku, itu benar. Kami menghabiskan waktu dan malam bersama kemarin, itu benar. Tapi dia bukan orang sembarangan dan justru…” Rachel lalu berjalan mendekati ibunya, “dia bisa jadi keberkahan besar bagi keluarga kita. Aku yakin, kakek aka
Seok Joon terkejut ketika mendengar kabar dari sekretaris pribadinya bahwa Daniel Kim, yang tak lain adalah Presdir baru dari Phonix Grup tengah menunggu kedatangannya untuk bertemu di ruangan Seok Joon yang berada di gedung parlemen. Diam – diam, pria paruh baya dengan rambut yang hampir menunjukkan uban di beberapa tempat itu tersenyum sekilas karena merasa dirinya menjadi sosok penting hingga Presdir sekelas Daniel Kim rela menunggunya datang.“Cepat kembali ke kantor. Ada pertemuan penting yang harus aku lakukan sekarang,” kata Seok Joon.Begitu sampai, dengan langkah yang cepat, Seok Joon menuju lift untuk naik ke lantai sepuluh dimana kantornya berada. Dan segera menuju kantor agar dapat menemui Daniel. Seok Joon sendiri sempat terkejut ketika melihat ada banyak pengawal pribadi yang di bawa Daniel dan berjaga di luar kantor Seok Joon kala itu.Dan setelah masuk ke dalam, sang sekretaris segera membungkuk sebelum membukakan pintu untuk Se
“Hyunji! Ada tamu di depan, tolong kamu catat dulu pesanan mereka. Aku sedang sibuk di dapur!” teriak pemilik kedai ayam goreng tempat Hyunji bekerja.Hyunji yang sebelumnya tengah mencuci piring di belakang kedai, langsung berlari sambil memakai celemek kedainya dengan terburu – buru. Lalu menyaut kertas catatan yang ada di atas meja dan sebuah pena. Dia menyempatkan diri unutk membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan sebelum menuju ke meja pelanggan yang baru datang dan menunggu untuk memesan.“Selamat datang di kedai kami, Tuan… mau pesan apa?” tanya Hyunji dengan sangat sopan.“Aku pesan satu ekor ayam. Setengah – setengah ya.” Pemuda itu menyebutkan pesanannya.“Baik Tuan. Untuk minumannya, mau pesan apa?” tanya Hyunji kembali.“Soju dan Beer. Dan berikan kami dua sloki juga,” jawab pemuda itu lagi.Hyunji menulis semua pesanan si pemuda dengan cepat dan
Langit malam itu sangat gelap, bahkan bintang terasa enggan untuk muncul. Dan saat angin terasa lebih dingin dari sebelumnya. Rintik hujanpun turun dengan cukup deras, membasuh luka di sekujur tubuhnya yang masih terasa perih.Dengan hembusan perlahan itu, angin seperti menarik jiwanya untuk keluar dari raga. Meninggalkan rasa sakit dan luka yang tergores di tiap incinya. Hingga sang jiwa tak lagi mampu merasakan sakit itu, dan pergi dengan senyum tanpa penyesalan.Matanya perlahan menutup dan bibir kecilnya mengatup.“Setidaknya, aku mampu melakukan yang terbaik untukmu…”Lirih hatinya berbisik, sebelum sang jiwa benar – benar menghilang di antara rintik hujan yang turun dengan sangat deras. Dan lampu senter yang mulai menyorot ke arahnya.
“Selamat Pagi, Dad, Mom!” sapa Daniel dengan sangat bersemangat kala menuruni anak tangga di rumah besarnya. Dia melihat sosok orangtuanya sudah duduk terlebih dahulu di kursi makan yang terletak di bagian tengah rumah megah mereka. Dengan suguhan sarapan yang sangat lebih dari cukup dan aneka kudapan manis sebagai hidangan penutup di sisi lainnya. Daniel seringkali mengucap syukur berulangkali. “Pagi juga sayang… ayo duduk,” ajak sang ibu dengan senyum teduhnya. Daniel yang menghampiri mereka pun mengecup kening kedua orangtuanya bergantian yang di balas dengan gelak tawa oleh keduanya. “Kau bersemangat sekali hari ini,” ujar sang ayah sambil menyesap teh hangat dari cangkirnya. “Tentu Ayah! Hari ini adalah hari pertama aku bekerja setelah beberapa tahun harus terpisah dari kalian di Jepang,” jawab Daniel. Mereka pun tersenyum. “Ingat! Kau tak lagi sebagai staff, Nak. Kau akan menempati posisi ayah di kantor,” jelas James.
“Bagaimana pekerjaan kamu di Korea? Apa semuanya baik – baik saja?” tanya James lewat sambungan telepon dengan Daniel.“Baik Ayah. Semuanya masih belum tahu siapa aku sebenarnya juga kok,” jawab Daniel.“Kenapa harus di sembunyikan terus? Kamu tinggal bilang saja kalau kamu itu anak ayah. Mereka pasti langsung memberikan ruangan ayah padamu.”Daniel tersenyum, “Tidak ayah, aku tak mau menggunakan nama ayah hanya untuk kesenangan semacam itu. Aku ingin bisa sampai ke ruangan itu dengan kemampuanku sendiri.”“Ya, terserah padamu lah. Yang penting kamu harus jaga diri ya. Jangan sampai kamu nanti di perlakukan yang tidak baik karena keputusanmu itu,” ujar sang ayah.“Ayah tenang saja.” Daniel mengakhiri obrolan mereka dan segera menutup sambungan telepon.**Daniel kini mulai memasuki kantornya dan melihat dengan teliti setiap sudut tempat tersebut, beserta den
Hyunji pulang dengan sangat bahagia. Dia membawakan banyak makanan untuk adik – adiknya yang menunggu di rumah. Hyunji memang tidak tinggal di rumah yang layak. Tempatnya tinggal, hanya sebuah rumah kosong yang sudah hampir rubuh, pemberian dari mantan boss nya dulu saat dia bekerja di tempat laundry. Hyunji juga merasa di berkati karena selalu menemukan banyak boss yang menyayanginya bagai anak sendiri.Di ruangan yang hanya seluas 5 meter x 3 meter itu, dia tinggal bersama dengan adik – adik angkatnya. Yang juga terusir dari panti asuhan.Ya, Hyunji memang seorang anak yang tumbuh di panti asuhan sejak dia masih kecil. Namun, karena kendala biaya, beberapa kali panti asuhannya harus berindah tempat karena tak mendapat donatur, dan tak mampu membayar biaya kontrak untuk rumah yang mereka tempati. Hingga akhirnya, pengurus panti membawa mereka ke daerah pinggiran yang sangat jauh dari kota untuk melanjutkan hidup.Hyunji pikir, setelah kepindahannya
---Gedung Agensi Raise Entertainment------Gangnam – gu, Seoul, Korea Selatan---“Latihan kalian harus di tambah lagi, karena sebentar lagi waktu comeback kalian semakin dekat. Di tambah dengan jadwal konser dunia yang juga akan segera di mulai. Tidak ada waktu lagi untuk bersantai…” kata manager mengawali briefing pagi mereka di dorm grup Phoenix.“Mck! Kenapa kita tidak menggunakan banyak penari latar dan melakukan lipsing saja supaya tak perlu banyak berlatih? Rasanya melelahkan kalau harus melakukan hal yang sama setiap hari!” keluh Ahn Jae Hyun—salah satu member Phoenix yang juga berperan sebagai centre di grup idol tersebut.“Harusnya kau justru lebih banyak berlatih, Jae Hyun! Sebagai centre, kau yang paling banyak mendapat sorot kamera di banding member lainnya. Apa kau sadar dengan tindakanmu itu?” kata Eunwoo—salah satu anggota lain dari Phoenix.“Ya, eunwoo benar. Lagipul