Seok Joon terkejut ketika mendengar kabar dari sekretaris pribadinya bahwa Daniel Kim, yang tak lain adalah Presdir baru dari Phonix Grup tengah menunggu kedatangannya untuk bertemu di ruangan Seok Joon yang berada di gedung parlemen. Diam – diam, pria paruh baya dengan rambut yang hampir menunjukkan uban di beberapa tempat itu tersenyum sekilas karena merasa dirinya menjadi sosok penting hingga Presdir sekelas Daniel Kim rela menunggunya datang.
“Cepat kembali ke kantor. Ada pertemuan penting yang harus aku lakukan sekarang,” kata Seok Joon.
Begitu sampai, dengan langkah yang cepat, Seok Joon menuju lift untuk naik ke lantai sepuluh dimana kantornya berada. Dan segera menuju kantor agar dapat menemui Daniel. Seok Joon sendiri sempat terkejut ketika melihat ada banyak pengawal pribadi yang di bawa Daniel dan berjaga di luar kantor Seok Joon kala itu.
Dan setelah masuk ke dalam, sang sekretaris segera membungkuk sebelum membukakan pintu untuk Se
“Hyunji! Ada tamu di depan, tolong kamu catat dulu pesanan mereka. Aku sedang sibuk di dapur!” teriak pemilik kedai ayam goreng tempat Hyunji bekerja.Hyunji yang sebelumnya tengah mencuci piring di belakang kedai, langsung berlari sambil memakai celemek kedainya dengan terburu – buru. Lalu menyaut kertas catatan yang ada di atas meja dan sebuah pena. Dia menyempatkan diri unutk membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan sebelum menuju ke meja pelanggan yang baru datang dan menunggu untuk memesan.“Selamat datang di kedai kami, Tuan… mau pesan apa?” tanya Hyunji dengan sangat sopan.“Aku pesan satu ekor ayam. Setengah – setengah ya.” Pemuda itu menyebutkan pesanannya.“Baik Tuan. Untuk minumannya, mau pesan apa?” tanya Hyunji kembali.“Soju dan Beer. Dan berikan kami dua sloki juga,” jawab pemuda itu lagi.Hyunji menulis semua pesanan si pemuda dengan cepat dan
Langit malam itu sangat gelap, bahkan bintang terasa enggan untuk muncul. Dan saat angin terasa lebih dingin dari sebelumnya. Rintik hujanpun turun dengan cukup deras, membasuh luka di sekujur tubuhnya yang masih terasa perih.Dengan hembusan perlahan itu, angin seperti menarik jiwanya untuk keluar dari raga. Meninggalkan rasa sakit dan luka yang tergores di tiap incinya. Hingga sang jiwa tak lagi mampu merasakan sakit itu, dan pergi dengan senyum tanpa penyesalan.Matanya perlahan menutup dan bibir kecilnya mengatup.“Setidaknya, aku mampu melakukan yang terbaik untukmu…”Lirih hatinya berbisik, sebelum sang jiwa benar – benar menghilang di antara rintik hujan yang turun dengan sangat deras. Dan lampu senter yang mulai menyorot ke arahnya.
“Selamat Pagi, Dad, Mom!” sapa Daniel dengan sangat bersemangat kala menuruni anak tangga di rumah besarnya. Dia melihat sosok orangtuanya sudah duduk terlebih dahulu di kursi makan yang terletak di bagian tengah rumah megah mereka. Dengan suguhan sarapan yang sangat lebih dari cukup dan aneka kudapan manis sebagai hidangan penutup di sisi lainnya. Daniel seringkali mengucap syukur berulangkali. “Pagi juga sayang… ayo duduk,” ajak sang ibu dengan senyum teduhnya. Daniel yang menghampiri mereka pun mengecup kening kedua orangtuanya bergantian yang di balas dengan gelak tawa oleh keduanya. “Kau bersemangat sekali hari ini,” ujar sang ayah sambil menyesap teh hangat dari cangkirnya. “Tentu Ayah! Hari ini adalah hari pertama aku bekerja setelah beberapa tahun harus terpisah dari kalian di Jepang,” jawab Daniel. Mereka pun tersenyum. “Ingat! Kau tak lagi sebagai staff, Nak. Kau akan menempati posisi ayah di kantor,” jelas James.
“Bagaimana pekerjaan kamu di Korea? Apa semuanya baik – baik saja?” tanya James lewat sambungan telepon dengan Daniel.“Baik Ayah. Semuanya masih belum tahu siapa aku sebenarnya juga kok,” jawab Daniel.“Kenapa harus di sembunyikan terus? Kamu tinggal bilang saja kalau kamu itu anak ayah. Mereka pasti langsung memberikan ruangan ayah padamu.”Daniel tersenyum, “Tidak ayah, aku tak mau menggunakan nama ayah hanya untuk kesenangan semacam itu. Aku ingin bisa sampai ke ruangan itu dengan kemampuanku sendiri.”“Ya, terserah padamu lah. Yang penting kamu harus jaga diri ya. Jangan sampai kamu nanti di perlakukan yang tidak baik karena keputusanmu itu,” ujar sang ayah.“Ayah tenang saja.” Daniel mengakhiri obrolan mereka dan segera menutup sambungan telepon.**Daniel kini mulai memasuki kantornya dan melihat dengan teliti setiap sudut tempat tersebut, beserta den
Hyunji pulang dengan sangat bahagia. Dia membawakan banyak makanan untuk adik – adiknya yang menunggu di rumah. Hyunji memang tidak tinggal di rumah yang layak. Tempatnya tinggal, hanya sebuah rumah kosong yang sudah hampir rubuh, pemberian dari mantan boss nya dulu saat dia bekerja di tempat laundry. Hyunji juga merasa di berkati karena selalu menemukan banyak boss yang menyayanginya bagai anak sendiri.Di ruangan yang hanya seluas 5 meter x 3 meter itu, dia tinggal bersama dengan adik – adik angkatnya. Yang juga terusir dari panti asuhan.Ya, Hyunji memang seorang anak yang tumbuh di panti asuhan sejak dia masih kecil. Namun, karena kendala biaya, beberapa kali panti asuhannya harus berindah tempat karena tak mendapat donatur, dan tak mampu membayar biaya kontrak untuk rumah yang mereka tempati. Hingga akhirnya, pengurus panti membawa mereka ke daerah pinggiran yang sangat jauh dari kota untuk melanjutkan hidup.Hyunji pikir, setelah kepindahannya
---Gedung Agensi Raise Entertainment------Gangnam – gu, Seoul, Korea Selatan---“Latihan kalian harus di tambah lagi, karena sebentar lagi waktu comeback kalian semakin dekat. Di tambah dengan jadwal konser dunia yang juga akan segera di mulai. Tidak ada waktu lagi untuk bersantai…” kata manager mengawali briefing pagi mereka di dorm grup Phoenix.“Mck! Kenapa kita tidak menggunakan banyak penari latar dan melakukan lipsing saja supaya tak perlu banyak berlatih? Rasanya melelahkan kalau harus melakukan hal yang sama setiap hari!” keluh Ahn Jae Hyun—salah satu member Phoenix yang juga berperan sebagai centre di grup idol tersebut.“Harusnya kau justru lebih banyak berlatih, Jae Hyun! Sebagai centre, kau yang paling banyak mendapat sorot kamera di banding member lainnya. Apa kau sadar dengan tindakanmu itu?” kata Eunwoo—salah satu anggota lain dari Phoenix.“Ya, eunwoo benar. Lagipul
---Gedung Perkantoran, Phonix Grup – Seoul, Korea Selatan---Brakk!“Bagaimana bisa ini terjadi, hah! Apa saja kerja kalian, sampai kalian tidak tahu soal ini!” teriak Direktur Choi.Pagi ini, direktur Choi mendapatkan kabar mengejutkan dari salah satu pegawai kepercayaannya, yang mengatakan bahwa seluruh dana segar sekaligus simpanan emas yang selama ini mereka kumpulkan beberapa tahun dan di simpan dalam rekening Bank New York telah lenyap. Menghilang tanpa bekas.Padahal, rencananya dana tersebut akan di gunakan untuk mendanai sejumlah proyek besar yang di lakukan di belakang Grup Phonix dan bekerjasama dengan perusahaan lawan, hingga para eksekutif bisa mengambil alih saham dari Phonix Grup dan mendirikan perusahaan baru dengan berbekal informasi yang mereka dapatkan secara illegal dari Phonix. Hal ini memang menjadi kebiasaan, dimana para direktur utama dan jajaran eksekutif lainnya akan mendapat sejumlah uang, jika mereka mau melim
Kekisruhan mulai terjadi dalam tubuh Phonix. Perusahaan itu kini mulai sedikit oleng setelah banyak eksekutif yang goyah karena kehilangan banyak asset dan barang berharga mereka. Rumor buruk pun kini terus terdengar dan tersebar dari mulut ke mulut. Yang emngatakan bahwa perusahaan ini memang berada di ambang kehancuran.Bahkan, banyak pegawai yang sudah mulai mempertimbangkan untuk keluar dari Phonix karena pemberitaan itu kini mulai tercium media dan tersebar ke seluruh negeri.Dan ketika semua orang tengah panik hingga memiliki banyak pemikiran buruk atas apa yang mungkin terjadi di depan sana. Hanya Daniel yang sama sekali bergeming dan tetap tenang tanpa menunjukkan pergerakan apapun dan reaksi apapun. Dia juga tak ikut dalam diskusi yang selalu di adakan oleh para pegawai di dalam divisinya yang di adakan di atas rooftop gedung mereka setiap sore hari atau malam ketika lembur.Baginya, ini adalah momen yang tepat untuk menunjukkan diri.Rumor yang