Share

Miskin Saja Belagu

"Lho, kenapa? Kok malah dilihatin aja? Nggak dimakan? Ini enak, lho!" ujar Aris seraya menunjuk bungkusan sate yang masih utuh di depan Sari.

"Aku tiba-tiba nggak mood makan, Mas! Kamu habiskan aja ya, ini punyaku!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia langsung saja menyandarkan punggungnya ke kursi. Perutnya tiba-tiba saja terasa kram, Sari dengan cepat mengusapnya perlahan untuk menenangkan.

"Kok gitu? Kamu nggak ngehargain ibuku banget, sih, Sar? Dia langsung gercep lho waktu dengar kamu pengen makan sate! Udah dia bela-belain beli juga, kok kamu malah kayak gini! Belajarlah untuk menghargai sesuatu dari pemberian orang lain, Sar! Jangan dilihat dari rupanya, barangnya apalagi nilai harganya. Tapi, lihatlah betapa Ibu tulus, pengen nuruti semua yang kamu mau, ayolah, jangan seperti ini!" kata Aris dengan wajah tenang.

Sari menatap suaminya tak percaya. Segitu teganya lelaki yang sudah menikahinya itu berbicara seperti tak ada beban, apalagi tanggung jawab padanya.

"Mas, coba kamu lihat ini! Lemaknya udah dingin, rasanya aneh dan aku emang nggak bisa makan begini! Aku lebih baik makan telur dadar, Mas, kalau dibandingkan dengan sate yang begini! Anakmu saja menolak! Sudah aku bilang, aku itu pengen makan sate daging tanpa lemak, eh malah dikasih lemaknya nggak aturan begini! Kamu kasih uang lima puluh ribu buat Ibu bisa enteng, ya? Tapi, belikan aku sate saja seharga empat puluh ribu keberatan dan kamu menyuruhku untuk hemat. Aku jadi heran dan bertanya-tanya sekarang, sebenarnya kamu ini senang nggak aku hamil anak kamu? Kok kesannya, kamu suka banget nyiksa aku dan anak dalam rahimku ini!" kata Sari kini yang sudah tak bisa lagi membendung perasaan sesak di dalam hatinya.

"Eh, apa ini? Kenapa kalian malah bertengkar? Sari, kamu kenapa? Kok satenya nggak dimakan? Kamu nggak suka? Itu masih mending, dari pada harus makan pakai garam seperti waktu kecilmu dulu! Sate itu dari sapi! Masih lebih enak kalau dibanding tahu apalagi tempe! Kamu pasti nggak bersyukur, ya! Berani minta-minta sama anakku!

Harusnya kamu sadar diri, sebentar lagi mau lahiran. Kalau bukan anakku yang membayar seluruh perawatannya nanti, mau siapa lagi? Orang tuamu? Mana mungkin! Untuk makan saja mereka susah, apalagi bayar tagihan rumah sakit! Heran Ibu ini sama kamu, jadi istri kok nggak ada rasa bersyukurnya sama sekali," omel Bu Ning yang sudah tiba dari warung. Tiba-tiba saja wanita itu sudah menyimak dan menimpali di antara Aris dan Sari.

"Masih mending ya, Bu, aku makan sama nasi garam. Atau sambal tahu tempe sekaligus lebih nikmat! Daripada sate dari sapi yang Ibu bilang ini, seperti makanan sampah! Bahkan, aku sendiri sampai bingung. Bagian mana yang bisa dikatakan masih mending dan bisa dinikmatinya?" ujar Sari tak kalah kesal. Dia benar-benar sudah kecewa sekali dengan Aris, ditambah lagi ibu mertuanya itu memang suka mencari gara-gara dengannya!

"Kamu itu jangan terlalu boros! Jangan jadikan hamil sebagai alasan, kamu bebas minta apa saja sama Aris! Apa kamu nggak mikir, kalau Aris juga berusaha memeras keringat buat biaya lahiran kamu! Udah dikasih tahu, minimal itu dua tahun pernikahan baru memutuskan untuk hamil, eh kamu malah kesusu aja!" ujar Bu Ning yang malah menumpahkan kemarahan pada Sari.

"Bu, hamil itu tidak bisa diatur sesuai dengan kemauan kita. Walau dicegah dengan cara apapun, kalau memang sudah saatnya Allah kasih rejeki, ya, pasti hamil! Lagipula juga aneh, ini anak di dalam perutku juga cucumu, Bu! Kenapa Ibu tega sama aku seperti ini?" sahut Sari yang masih saja menimpali ucapan Bu Ning.

Aris tampak tak terima, saat istrinya itu malah bertikai dengan ibunya. Padahal, Aris berharap kalau Sari sebaiknya minta maaf saja, atau minimal diam. Agar emosi Ibunya tak semakin meledak.

"Lihat itu istri kamu semakin bebal saja, Ris! Sepertinya kamu terlalu sering memanjakannya, jadi ngelunjak tuh wanita! Makanya, Ibu bilang tuh dengerin! Kamu lihat sendiri kan sekarang, bagaimana perlakuan istrimu ini ke Ibu? Ah, sudahlah! Aku darah tinggi rasanya kalau harus melayani istrimu yang pembangkang. Padahal ya, Ris, ibumu ini kurang apa sih, sama kamu? Udah baik lho, kamu datang ke sini aku perlakukan sebagai anak sendiri. Eh, kamu kok nggak tahu diri, jadi malah ngelunjak!" kata Bu Ning terus-menerus nyerocos.

Telinga Sari sudah panas dibuatnya. Dan Aris, lagi-lagi hanya diam saja. Dia tak bisa jadi penengah yang baik untuk istri, juga Ibunya.

"Sudah-sudah, aku pusing kalau harus melihat kalian begini," kata Aris dengan suara parau. Dia malah memijit pelipisnya dengan lembut. Lalu, kembali duduk di samping meja makan. Sari pun terdiam, dia akhirnya memilih untuk mengalah kembali.

"Sebaiknya kita pulang saja ya, Mas? Aku mau istirahat di rumah aja," ujar Sari dengan suara lirih.

Sayangnya, kalimat itu masih sanggup terdengar di telinga Bu Ning. Dia melotot, menatap ke arah menantu pertamanya itu seraya menunjuk-nunjuk ke wajah Aris.

"Dengar kamu itu, Ris! Mana ada istri yang baik malah ngajak pulang suaminya terus, padahal sedang berada di rumah Ibunya. Istrimu itu benar-benar kelewatan, Ris. Ibu bisa mati muda kalau kayak begini caranya!" kata Bu Ning dengan suara keras.

"Lah, usia Ibu saja udah tua kan, ya? Nggak lagi muda? Buktinya, Ibu juga masih hidup dan segar, sehat waras begitu!" ucap Sari tanpa beban.

Wajah Bu Ning kembali memerah, tak menyangka dia jika Sari pandai menimpali ucapannya. Padahal, Bu Ning mengira bahwa perempuan seperti Sari, tentu akan diam dan menurut saja, mau diperintah seperti apa. Sebab, ya, harus sadar diri. Posisi Sari hanyalah anak orang miskin yang kebetulan, dinikahi oleh putranya yang bergaji tetap di perusahaan swasta, sebagai tukang las yang handal. Bahkan, bonusannya juga terkadang sangat besar, sesuai dengan risiko pekerjaannya.

"Assalamualaikum!" Tiba-tiba saja terdengar suara cempreng, khas dari seorang wanita. Sari sudah bisa menebak, itu pasti Anggi. Adik iparnya yang masih duduk di bangku SMA. Sari semakin tak berselera rasanya. Sebab, ibu mertua dan adik iparnya itu setali tiga uang. Alias sama saja! Jadi, kehadiran Sari di sana, tentu tak akan berarti apa-apa, selain dijadikan pembantu gratisan oleh mereka. Aji mumpung tentunya!

"Waalaikumsalam!" Dengan suara lantang, Bu Ning ikut menjawab, disusul dengan suara Aris yang begitu liris. Sementara Sari, hanya menyahut dari dalam hati.

"Wah, ada Mbak Sari di sini, enak nih! Aku jadi santai nggak kebagian siapkan makan malam dan cuci piring malam nanti," ujar Anggi dengan entengnya. Dia langsung saja tersenyum tanpa dosa. Tak ada sopan memang! Seharusnya, dia menyapa dan menyalimi Abang dan kakak iparnya itu. Tapi, bukan Anggi namanya jika kelakuannya hanya bisa membuat Sari mengelus dada.

"Enak aja! Kamu pikir aku babu gratisan di rumah ini? Aku baru sadar, kalau selama aku di sini pasti dimanfaatkan. Hanya saja, dulu aku berpikir itu hal yang wajar dan aku fine-fine aja, sebab itu kuanggap sebagai bentuk berbakti pada sang mertua. Tapi, makin ke sini, aku jadi makin sadar. Ternyata, kalian hanya memeras tenagaku saja. Masih mending babu dibayar, lah aku? Ck, ck, ck," sahut Sari memasang wajah sinis ke arah Anggi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status