Share

Jangan Terbiasa Dimanja!

Aris dan Sari mengunjungi rumah Bu Ning, dengan perasaan yang berbeda masing-masing.

Sementara itu di kediaman Bu Ning. Wanita yang beberapa helai rambutnya sudah memutih itupun langsung saja berhenti di warung tetangga. Seberang rumahnya. Warung Bu Indah, yang menjual sate karak. Alias sate jeroan sapi yang disajikan dengan ketan hitam dan bumbu rempah lainnya.

"Eh, Bu Ning. Mau beli? Berapa porsi ini?" tanya Bu Indah menyapa Bu Ning dengan ramah.

"Dua porsi, buat anakku sama istrinya. Tolong yang satu, kamu kasih usus full tanpa lemak, ya! Satu lagi, kamu kasih usus setusuk, sisanya lemak semua, pilihkan yang kecil-kecil saja, biasanya juga kan nggak bisa kamu jual. Daripada kamu kasihkan pengemis, atau pengamen jalan yang biasa minta-minta kan, mending kamu kasih ke aku, Bu! Gratis, kan?" kata Bu Ning seraya mengedipkan sebelah matanya pada Bu Indah.

"Oalah dala, jadi beli seporsi aja ini ceritanya? Seporsi lagi, minta jatah gratis dari sisa-sisa dan lemak, yang nggak bisa dijual? Hmm, buat siapa toh, Bu?" tanya Bu Indah dengan wajah penasaran.

"Itu, buat menantuku! Dia lagi pengen sate katanya!" jawab Bu Ning jujur.

"Lho, untuk menantu pertama, kok malah dikasih barang-barang sisa sih, Bu? Kenapa nggak dibelikan yang full jeroan, yang bagus? Atau sate daging yang full tanpa lemak sekalian? Kan jarang-jarang ke sini, menyambut anak sendiri kok sembarangan," sahut Bu Indah dengan wajah heran.

"Halah! Kalau menantuku itu anak sultan, turunan dari anaknya Mama Rita, adiknya Gigi gitu aku sambut pakai daging rendang, Bu! Atau, pigyu itu, yang terkenal! Lah wong ini, cuma anak pemulung besi aja kok, buat apa repot-repot dikasih daging? Lemak aja udah paling bagus untuknya, biasa dia juga makan sayur, paling banter ya, tahu tempe. Aku kasih lemak udah syukur! Kan sama-sama dari sapi! Menantu miskin itu kalau dienakin, takut malah melunjak nanti, Bu!" ujar Bu Ning menggebu-nggebu. Sementara Bu Indah, hanya mengusap dada dengan lapang.

Dia berdoa, semoga saja anak perempuannya tak mendapatkan mertua kejam, seperti wanita di depannya.

"Udah sana! Kamu nggak usah tanya-tanya lagi, cepat kamu buatkan pesananku, nanti keburu mereka datang!" titah Bu Ning seraya menunjuk ke pembakaran sate, yang berada tak jauh darinya.

Di atas motor, Sari masih menguatkan diri dan nafsu.

"Tak apa, ya, Nak, sementara ini kita makan sate jeroan saja dulu. Nanti, Ibu pasti usahakan ya, kamu bisa makan daging sapi asli, kamu sabar ya!" batin Sari sembari memegang perutnya.

Padahal, yang disiapkan oleh Bu Ning, jauh sekali dari ekspektasinya.

Tiba di kediaman Bu Ning.

"Assalamualaikum, Bu!" ucap Aris memberikan salam tepat di ambang pintu. Dia baru saja selesai memarkirkan motornya di halaman rumah, Sari masih mematung di dekatnya. Tak banyak suara.

"Waalaikumsalam!" sahut suara lembut seorang wanita dari dalam.

"Ya Allah, anakku lanang udah sampai sini. Ayo, masuk, masuk sini!" imbuh Bu Ning dengan mata berbinar. Padahal, Aris dan Sari sering kali mengunjungi rumahnya, bahkan seminggu sekali. Tapi, tetap saja di mata Bu Ning, seakan-akan Aris mengunjunginya setahun sekali.

"Iya, Bu!" Aris langsung saja menoleh ke belakang, dia menggandeng tangan Sari masuk ke dalam.

Wanita yang baru dinikahinya setahun lalu itu pun tampak memasang wajah datar. Dia sempat menengok warung Bu Indah di seberang rumah sang mertua. Depot kecil-kecilan itu masih menyisakan asap pembakaran beraroma sate. Sari jadi membuang napas kecewa. Itu tandanya, warung Bu Indah masih jual dan alamat dia akan makan sate karak untuk kali ini. Bukan sate daging tanpa lemak, seperti yang dia idam-idamkan.

"Duduk! Ayo, mau langsung makan ya, kalian? Ibu tadi sudah belikan dua porsi sate buat kalian. Tapi, karena kalian datangnya kelamaan, mungkin udah hangat satenya. Tapi, nggak papa. Masih enak kok! Ayo, itu dibuka, Aris! Yang karet hijau punyamu, sementara karet merah punya Sari," ujar Bu Ning yang sudah tampak heboh mengarak anak dan menantunya ke meja makan.

"Makanlah, kalian! Ibu mau ke depan dulu beli gula, ya! Biasanya kan, Aris kalau ke sini suka sekali dibikinkan sari kacang ijo santan. Biar Ibu beli santan instan sekalian gulanya, soalnya udah habis gula di sini, ehem!" Bu Ning langsung saja beranjak berdiri.

Mendengar ibunya memberikan laporan seperti itu, Aris langsung saja peka. Dia berdiri dan meraih dompetnya di saku celana belakang. Lalu, mengambil selembar uang lima puluh ribu dan mengulurkan begitu saja di depan Bu Ning. Hal itu tentu saja dilakukan Aris secara terang-terangan di depan Sari.

"Ini, Bu!" ujar Aris saat Bu Ning malah diam saja mematung, tak segera meraih uang berwarna biru tersebut.

"Wah, kamu memang anak lanang Ibu, yang paling pengertian! Makasih banyak, ya, Ris! Ibu ke warung dulu," kata Bu Ning dengan langkah bersemangat.

Pemandangan itu sungguh membuat dada Sari terasa sesak. Pasalnya, saat Sari menginginkan sebungkus sate saja, suaminya itu malah menyuruh berhemat dan tak meminta hal yang aneh-aneh. Sebab, biaya persalinan sungguh mahal.

Tapi, untuk Ibunya saja. Tanpa diminta, suaminya itu begitu royal. Bukannya Sari berniat ingin mengajari Aris durhaka, tapi tidak kah lelaki itu seharusnya mendahulukan kebutuhan dirinya terlebih dahulu?

Sari memasang wajah datar, berusaha untuk terlihat tetap tenang dan santai. Padahal, di dalam hati dia sudah merasakan emosi yang sangat membara.

"Kenapa sate milikku dan milikmu harus dibedakan sama Ibu, Mas?" tanya Sari.

Dia mengalihkan perhatian, agar hatinya tak lagi merasa sedih. Sebab mendapatkan perlakuan yang kurang adil dari sang suami.

"Mungkin punya aku pedas, Sayang. Ayo, kita buka dan makan sama-sama! Sate Bu Indah enaknya juga nggak akan ngalahin sate daging yang viral itu kok," ujar Aris yang berusaha untuk menenangkan hati istrinya.

Sari kembali membuang napas kasar, dia hanya mengangguk saja. Hingga kemudian, Aris benar-benar membuka sate milik mereka.

"Tuh, kan! Ini sate ususnya gede-gede, lho! Mantap ini! Mana Bu Indah itu bersihan orangnya, nggak akan bau aneh atau bau anyir bahkan. Kamu coba saja dulu, enak kok ini," kata Aris sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tak sabar, untuk menikmati sate yang kini tersaji di depan matanya.

Berbeda dengan milik Aris, Sari pun dibuat melotot matanya. Saat menyadari, sate miliknya hanya berisi lemak yang ditusuk dalam porsi besar-besar. Tak hanya itu, lemak itu terlihat berwarna hitam pekat, khas masakan gosong. Dari baunya saja sudah terlihat, ditambah lagi sate lemak itu sudah dingin dan sedikit mengeras lemaknya. Sari sama sekali tak berselera walau perutnya lapar sekalipun.

Melihat istrinya itu hanya berdiam mematung, membuat Aris seketika menghentikan suapan makannya ke dalam mulut.

"Lho, kenapa? Kok malah dilihatin aja? Nggak dimakan? Ini enak, lho!" ujar Aris seraya menunjuk bungkusan sate yang masih utuh di depan Sari.

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status