Mereka memiliki puisi dalam hidup, sedikit cita rasa petualangan, dan cinta. Cinta di atas segalanya. Meski demikian, selalu ada celah bagi kesengsaraan untuk menyelinap.
View MorePagi itu suasana di Newcastle Central tampak sesak, hampir tak ditemukan celah bagi pemandangan loket ataupun kursi panjang stasiun karena dipenuhi orang-orang yang berdiri rapat, tak mengizinkan se-centi ruang pun tersisa di antara kumpulan massa. Beberapa orang yang baru saja keluar dari dalam kereta menjentikkan lidah mereka merasa kesal, atau hanya sekadar berdiri di depan pintu kereta seraya menghembuskan nafasnya, atau mulai mengangkati koper mereka tak sabaran ingin segera pergi dari sana seperti Louis Wistletone.
Pria itu selalu mengambil langkah maju menerjang orang-orang yang memadati area pemberhentian, meskipun seorang wanita sudah memperingatkan melalui speaker bahwa para penumpang ataupun keluarga harus bersabar menunggu pergantian keluar-masuk penumpang kereta agar tidak terjadi kekacauan. Namun, sama halnya dengan mereka yang ingin segera masuk ke dalam kereta, Louis mendorong beberapa orang di hadapannya untuk menjauh agar bisa segera keluar dari stasiun. Wajahnya tampak kesal tak sabaran dan seorang pria tinggi berbadan besar baru saja memelototi sikap tak sabarannya membuatnya semakin mendorong tubuhnya agar segera pergi dari sana.
Ketika pemandangan loket dengan antrean yang ramai sudah dapat ditangkap matanya, Louis mempercepat langkahnya dengan menumpukan koper bajunya yang berwarna cokelat tua di bahunya. Kursi-kursi panjang masih penuh diduduki berpasang-pasang orang yang menunggu jadwal pemberangkatan mereka atau hanya untuk mengistirahatkan tubuhnya. Dan ketika kakinya sudah berhasil membawanya menjauh dari kerumunan massa yang seperti gerombolan remaja labil yang menakutkan, matanya segera menjelajahi setiap inchi stasiun untuk menemukan keluarganya.
Lalu di sanalah ia melihat ibunya baru saja mengulap pelipisnya yang basah dengan sapu tangannya. Topinya masih terpasang agak miring di atas kepalanya dan gaunnya masih rapi dengan motif bunga-bunga yang cerah persis seperti yang ia bayangkan ketika tiba di Newcastle Central. Kedua kakinya spontan berlari ke arah wanita itu yang bahkan tak menyadari putranya sudah tiba. Kopernya ia letakkan di bawah selagi kedua lengannya terulur untuk memeluk tubuh ibunya yang tingginya hanya sampai daun telinganya.
"Ma," ucapnya ketika menarik diri dari wanita itu dan menggeser bola matanya untuk menatap wanita berambut cokelat yang indah tak bergelombang. Ia pun memeluk wanita itu setelah berkata, "Vir," dan menarik tubuhnya setelahnya. "Aku merindukan kalian," sambungnya menatap kedua wanita di hadapannya.
Ibunya itu mengelus lengannya sekilas sebelum beralih untuk mengelus pipinya. "Mi manchi anche tu (Aku juga merindukanmu), Louie," ucapnya dengan mata berlinang akibat air mata yang bersinggah di sana membuat manik hijaunya tampak jelas sekali.
"Senang sekali bisa kembali." Lalu matanya mencoba mencari-cari sosok lain yang juga ia nantikan kedatangannya. "Di mana pap? Anthony? Celestine?"
Senyuman Virginia sedikit pudar, tapi masih tampak. Setelahnya ia pun menjawab, "Pap di sekolah bersama Anthony, sedangkan Celestine ..." Kalimatnya tergantung begitu saja tak dilanjutkan. Matanya melirik ibunya begitu pula sebaliknya. Ketika itu terjadi, Louis sudah tak penasaran lagi dengan kata selanjutnya untuk melengkapi kalimat rumpang itu.
"Dia bersama Joseph?" tanya Louis agak kesal, tapi ibunya segera mengelus bahunya untuk menenangkan dia. Sedangkan Virginia mengangkat kopernya bermaksud membawakan. Namun, akhirnya direbut oleh Louis setelah berkata, "Tak perlu, Vir" dengan pelan sekali sampai ibunya tak mendengar, tapi Virginia hanya mengangguk pelan dengan senyumannya.
Ketika ketiganya sudah berhasil mencapai pelataran stasiun yang menuntun mereka ke pinggiran jalan, sebuah mobil berwarna hitam sudah terparkir di hadapan mereka dengan seorang sopir yang siap membukakan pintu begitu Virginia dan Fantine Wistletone tiba di sana, sedangkan Louis memegangi pintunya sendiri menolak bantuan sang sopir ketika pria itu justru diperintah untuk meletakkan koper di bagasi. Setelah si sopir duduk di bangku kemudi, mobil itu berjalan menjauhi area Newcastle Central yang masih sesak.
Pemandangan pusat kota Newcastle yang tak asing bagi Louis pun, terpampang kembali membuat otaknya sedikit bernostalgia dengan masa lalunya yang rasanya baru terjadi beberapa hari silam. Ia ingat hari di mana untuk pertama kalinya ia memasuki bangunan Wistletone's School yang luar biasa mengagumkan bagi bocah berusia lima tahun karena ayahnya selalu bercerita bahwa Wistletone's School dulunya hanya seluas kebun ibunya di belakang rumah. Lalu hari-hari yang dihabiskannya bersama teman-temannya—Blighty Boys—dan kakaknya, Anthony, selama menempuh pendidikan di Wistletone's School untuk mengumpulkan ilmu entah seberapa kecil yang didapatkannya karena pengetahuan itu manis. Hingga hari di mana ia berjuang agar bisa menjadi salah satu dari siswa di Royal Military Academy Sandhurst, dan nyatanya semua mimpinya itu terwujud terbukti dengan kepulangannya hari ini setelah pergi 4 tahun lamanya.
Semua ingatannya itu pudar ketika tercipta bayangan rumahnya dari kaca mobil yang bersih. Itu membuatnya segera mendorong pintu mobil itu agar terbuka dan berlari kecil memasuki halaman rumahnya, melewati beberapa pelayan yang sedang menata bunga-bunga di halaman luar rumah, hingga tangannya meraih gagang pintu. Sedangkan ibunya masih berdiri di samping mobil—menunggu Virginia keluar—dengan senyuman menatap putranya yang tak sabaran masuk ke dalam rumah menuangkan semua kerinduannya yang mungkin sudah menggedor-gedor hatinya menunggu segera diluapkan.
Pintu utama rumah Wistletone yang memiliki dua sayap terbuka karena dorongan tangan Louis yang terlalu bersemangat. Beberapa langkah maju setelah melewati jajaran miniatur di atas meja kayu lama dengan berbagai macam bentuk ukiran rumit, tapi mengagumkan. Tibalah kedua kakinya di area ruang tamu dengan sofa-sofa besar nan megah di mana lukisan seorang Cornelius Harboard tergantung tepat di atas perapian ruang tamu. Sehingga siapapun yang melewati wilayah itu, mampu melihat lukisan itu dari segala penjuru.
Louis berdiri tepat di hadapan lukisan Cornelius Harboard yang mungkin sudah tertempel di sana sebelum dirinya lahir. Kepalanya sedikit mendongak menatap maniknya yang terlihat kuat dengan pandangan lurusnya. Namun, tak tampak lurus ketika diperhatikan lebih lama. Manik mata Cornelius Harboard jadi tampak seperti mengintrogasinya—membuatnya merinding. Ditambah dengan kalimat, "Kau pasti tak mengharapkan lukisan itu hilang ketika kau kembali, 'kan?" yang diucapkan seseorang di sampingnya yang bahkan tak diketahui kapan kedatangannya, membuat Louis terlonjak saat itu juga. Gadis di sampingnya pun terkekeh menatapnya.
"Kapan kau tiba di sini?" tanya Louis setelah mengelus dadanya sekilas.
"Baru saja," jawabnya pelan. "Ketika ku lihat punggungmu berhenti di sini dan matamu terpaku menatap wajah Cornelius Harboard dalam lukisan hasil karya seseorang—"
"—Kasel," selak Louis sebelum kalimat gadis di sampingnya lengkap.
"Huh?"
"Kasel, Vir. Pelukis yang melukis Cornelius Harboard namanya Arthur Kasel. Pap pernah mengatakannya kepadaku." Jawaban Louis menuntun Virginia untuk mengangguk, lalu kembali menatap lukisan Cornelius Harboard yang digantung agak ke atas.
"Kau pikir kenapa pap memilih menggantung lukisan Cornelius Harboard di ruang tamu sedangkan lukisannya justru digantung di perpustakaan?" Virginia baru saja ingin menjawab pertanyaan Louis. Namun, secepat turunnya salju di pertengahan musim dingin, Louis menambahkan, "Aku tahu Cornelius Harboard pemilik rumah ini dulu, tapi sekarang sudah milik pap. Secara sah."
"Ya, tapi pap pernah berkata Cornelius Harboard adalah sahabatnya. Mungkin itu alasan digantungnya lukisan Cornelius Harboard di sini."
Keheningan tiba sejenak memberikan sedikit waktu untuk Louis memikirkan sesuatu hingga bibirnya kembali terbuka untuk mengatakan, "Tapi itu agak tak masuk akal, bukan? Cornelius seharusnya seumuran great grampy, 'kan? Namun, dia bersahabat dengan pap."
Virginia mengangkat kedua bahunya sekilas seraya mengatakan, "Seharusnya kau tahu pap suka bergaul dengan orang-orang tua dan sekarang dia sudah tua jadi tak terlihat perbedaannya."
"Mungkin itu sebabnya dia agak membosankan." Virginia mengangguk ketika Louis menarik bibir lengan kemejanya agar wajah jam tangannya tampak. Matanya membelalak sekilas, lalu ia berlari melewati beberapa anak tangga di hadapannya bersama koper bajunya.
Ketika tubuh Louis menghilang ditelan belokan tangga, Virginia berteriak, "Kenapa terburu-buru?!"
Tanpa menampakkan wujudnya, Louis pun menjawab, "Aku harus bersiap ke sekolah!"
Sehingga gadis itu tersenyum lalu mendorong tubuhnya keluar dari ruang tamu meninggalkan manik mata Cornelius Harboard yang masih menatap lurus ke depan.
Di sepanjang lorong setelah beberapa anak tangga dilalui, Louis berlari melewati beberapa lukisan yang agak miring di dinding, tapi diacuhkannya, hingga ia berhasil mencapai kamarnya di mana langkahnya terhenti dan bibirnya terkatup menatap ruangan itu masih sama seperti dulu. Bahkan ketika ia melongok ke bawah kasurnya, ia masih menemukan kertas-kertas usang yang berisi mimpi dan harapan darinya dan sahabatnya yang membuat sudut-sudut bibirnya terangkat menyunggingkan senyuman. Mengetahui fakta barang-barangnya masih aman bahkan tak bergeser sama sekali dari tempatnya berada, Louis melepaskan jas beserta kemejanya yang sudah menampung keringat. Menggantinya dengan setelan jas lainnya yang wangi dari dalam lemari.
Setelah mengganti setelan jasnya dengan yang baru beserta dasi dan sepatunya, Louis keluar dari kamarnya, berjalan dengan santai memandangi lukisan-lukisan yang tergantung di dinding sepanjang lorong. Ia berhenti sebentar ketika melihat lukisan penyair kesukaan ibunya miring, kemudian membenarkannya. Lalu di ujung lorong sebelum tangga, ia hampir saja terpeleset dan membiarkan tubuhnya menggelinding hingga ke dasar tangga karena lantai licin yang belum sempat dilap. Untung saja latihan militer cukup membantunya mengatasi keseimbangan sehingga hal buruk itu tak terjadi.
Wanita tiga puluh pertengahan yang tampak masih mengepel sudut lorong lainnya segera berlari kecil menghampiri Louis dan meminta maaf. Namun, Louis hanya tersenyum dan berkata, "Beruntung hanya aku, Nyonya. Jika kejadian ini menimpa kakakku, Anthony, dia bisa menendang ember air sabunmu." Louis menarik tubuhnya setelah kalimat itu. Namun, sedetik kemudian ia kembali untuk menambahkan, "Tapi aku berbohong," yang membuat wanita itu terdiam kebingungan.
Setelah kejadian naas nyaris menghampirinya, Louis kembali melanjutkan perjalanannya keluar. Sekarang ia mendapati ibunya sedang duduk di depan rumah menatap Virginia dengan para pelayan merapikan bunga-bunga yang tak pernah membuatnya bosan untuk ditatap. Masih dalam balutan gaun berbunga-bunga yang cerah, Louis menduga wanita itu belum masuk ke dalam rumah bahkan hanya untuk melepas topinya saja. Louis menjongkokkan tubuhnya di hadapan ibunya itu setelah mencium salah satu pipi sang wanita membuatnya tersenyum.
"Kau sudah rapi Lou, dove andresti? (mau ke mana?)"
Pria itu tersenyum sekilas masih berjongkok di sana untuk menyamakan tinggi badannya dengan ibunya. "Ke sekolah, Ma. Aku ingin bertemu Anthony dan pap."
"Ya, Howard bisa mengantarkanmu ke sana."
Louis menggeleng sekilas. "Tak perlu, Ma. Aku akan pergi sendiri. Cukup berikan mobil saja," jawabnya dengan kekehan kecil yang dibalas dengan kekehan pula oleh ibunya.
"Kau bisa mengendarai yang ada di garasi." Louis mengangguk mengerti dan menjawab terima kasih sebelum ibunya melanjutkan, "Kau sudah makan?"
"Sudah." Pria itu mengangguk. "Sebelum menaiki kereta dan aku belum lapar."
Tangan wanita itu terulur untuk mengelus rambutnya. "Baiklah, kau bisa pergi dan kalau bisa suruh kakak dan ayahmu itu untuk pulang sebelum makan malam."
"Tentu saja."
Setelah anggukan dan mencium pipi ibunya sekali lagi, Louis bangkit dari sana untuk mengambil kunci mobil lalu kembali melewati pelataran rumahnya—menyapa para pelayan yang tadi diacuhkannya meskipun beberapa di antara mereka terlihat bingung mungkin tak mengenal atau tak mengenali Louis Wistletone yang sudah lama tak pulang. Ia juga berpamitan kepada adiknya yang tangannya dipenuhi tanah sehingga tak bisa membalas pelukan singkat Louis. Selepasnya ia segera pergi dengan mobilnya menuju Wistletone's School yang terletak agak jauh dari pusat kota Newcastle.
*great grampy berarti kakek buyut.
Dua bulan semenjak pertemuannya dengan Dan Nordstrom, dia masih belum menemukan jawaban. Sebuah kotak—sama persis dengan milik Louis Wistletone ketika ia masih menjadi kepala sekolah di sana—berdiri di sudut meja yang sama. Kebenaran dan kebohongan ada di dalamnya. Apabila Pete mencoba memilih mana yang harus dikatakan lebih dulu, ia tak tahu. Keduanya harus dikatakan bersamaan. Sehingga sore ini ia memilih untuk pulang, kendati tinggal di asrama Wistletone’s School seperti beberapa hari sebelumnya.Jikalau kotak itu milik Louis yang diwariskan untuknya, maka ia memiliki benda untuk diwariskan pula nantinya; sebuah jurnal. Mungkin terdengar tak menyenangkan, tapi sama seperti kotak Louis dengan rahasia di dalamnya, ia juga memiliki beberapa di dalam jurnal itu. Yang Pete butuhkan hanyalah seseorang untuk dipercaya menjaga rahasia dalam jurnal dia.Ia baru saja menuruni beberapa anak tangga ketika kotak itu nyaris lolos dari dekapannya sebab sepasang anak laki-laki berumur 14 tahunan b
The Teahouse tampak berbeda di abad kedua puluh satu. Tidak, bukan karena pelayannya telah digantikan robot semenjak Nyonya Bache pergi. Tidak juga karena interior antiknya berubah mengusung gaya Inggris modern. Mereka tetap serupa, tapi di bawah naungan atmosfer yang berbeda. Bahkan tempat ini sekarang menyajikan kopi semenjak kebudayaan mengonsumsi kopi tak lagi asing di lidah masyarakat Inggris. Tempat ini pun memiliki tambahan & Cafè setelah kata Teahouse dan mereka menghapus awalan The. Meskipun demikian, pria dengan koper persegi panjang di lantai tak pernah mengubah selera tehnya meski kopi mulai menjajaki daftar terfavorit.Pria itu kini memandang beberapa lembar kertas di dalam sebuah stopmap selagi menanti teh pesanannya tiba untuk dicicipi. Ketika ia selesai menumpuk rapi semua kertas dan memasukkannya kembali ke dalam koper, sebuah jurnal dari dalam sana mengganti posisi si stopmap. Tangan menarikan pena itu untuk menulis 28 April 2010. Tak ada perubahan. Masih aku. Masih
Ketika halaman Wistletone's School tampak senyap sebab semua orang disibukkan dengan pembelajaran, sepasang anak laki-laki justru mengendap-endap menuju sisi lain lapangan utama Wistletone's untuk sebuah aksi. Salah satu dari mereka tampak ketakutan dan hampir mengurungkan aksi yang terencana, tapi satunya lagi justru tampak bersemangat dan berkata, "Jangan khawatir, Alexis. Ini akan menyenangkan! Aku berani jamin!" Ia pun mendorong diri lebih jauh menuju objek incarannya."Tapi kita bisa terlibat masalah, Knox! Aku tak ingin dimarahi ayah lagi."Teman sebayanya pun segera melambaikan tangan di udara. "Jangan pedulikan. Ikuti saja perintahku untuk lari setelah ini, maka kau akan selamat dari kejaran bapa."Meski Alexis tampak ingin melontarkan patah kata lainnya, si anak bernama Knox sudah dulu memegangi sebuah tali yang cukup tebal.Kini, Alexis pun terpaksa menggenggam tali itu dan keduanya menghitung dengan cekikikan—atau justru hanya Knox yang tampak bersemangat. "Satu, dua, tiga!
Semalam, awan menangis hebat untuk alasan yang tak pasti. Sehingga pagi ini, dedaunan masih berkeringat dingin menanti sang surya membasuh peluh itu. Atmosfer pun mendingin meski sinar surya berhasil menembus kumpulan awan tipis yang menjulurkan leher mereka untuk mengintip kehidupan di Newcastle pada awal musim gugur, tepatnya pada tanggal sembilan september seribu sembilan ratus delapah puluh sembilan.Seorang pria yang telah mengenakan kemeja dengan balutan vest pun masih berdiri di hadapan kaca selagi gigi saling bergulat menghancurkan secuil roti di dalam mulut. Ia menarik sebuah sisir dari tempatnya untuk merapikan tatanan rambut yang sudah sempurna. Bahkan pagi ini, ia baru saja membersihkan kumis dan berewok seolah sungguh bersiap untuk sebuah pertemuan istimewa.Begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera meletakkan sisirnya dan meneguk habis teh dalam cangkir. Ditariklah gagang pintu itu menampakkan seorang pria dengan sebuket bunga besar yang tampak segar. Ia pun puas m
Sang surya terus didorong rotasi bumi menuju cakrawala yang masih jauh di seberang sana. Sementara itu, Ruenna sendiri baru saja melambaikan tangan setelah mengucapkan terima kasih sehingga Anthony bisa melanjutkan perjalanannya menuju Grainger Town yang diramaikan beberapa pelayat pula untuk jamuan.Puluhan topik melilit percakapan antara dua orang bahkan lebih ketika Louis mendorong diri mengisi salah satu ruang di ruang tamunya. Beberapa hidangan pun tampak mulai dicicipi lidah-lidah para pelayat yang sempat menunjukkan simpati mereka kepada Louis. Pria itu hanya mengangguk, tapi tak tertarik untuk melibatkan diri pada topik yang mereka tawarkan. Sebagai gantinya, ia mencoba menemukan Sylvia yang masih bersama Virginia di perpustakaan sejak ia menuju Jesmond.Ia menyadari bahwa Judith Hope baru saja mendorong diri meninggalkan perpustakaan dengan nampan di tangan. Ketika ia mencoba mengacuhkan wanita itu, ia justru mengelus bahu Louis sekilas selagi netra mencoba memberikan kekuata
Ketika para pelayat mulai berdatangan dan ibadah penghiburan terlalui sudah, peti Emma kembali mengisi ruang di perut ambulan menuju tempat di mana jutaan kisah tinggal. Kali ini Louis ada di sisinya tanpa Sylvia yang kemungkinan berada di bawah asuhan Virginia. Sementara seberhenti ambulan itu tepat di hadapan gerbang berkarat setinggi perut milik pemakaman Jesmond, beberapa orang sudah mendahului Louis mengisi ruang di beberapa sisi lubang galian untuk peti Emma.Pintu ambulan yang terbuka membuat Richard bertatapan dengan emosi Louis yang baru saja menetes tanpa disadari. Pria itu pun menarik napas perlahan sebelum melarikan tangan untuk menggenggam tangan putranya. ❝Whose heart plowing an ungainly perpetually, will never find an undaunted space.❞Namun, ucapan itu membuat Louis menggelengkan kepala sehingga tetesan emosi lainnya luruh sudah. "Jangan memberiku nasihat yang tak bisa dipraktikan, Pap. Aku sudah menyinggung soal kehidupan kita yang berbeda. Semua ini tak akan mudah un
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments