Di tengah Lembah Berkabut, dua bandit berwajah sangar berjalan buru-buru, melintasi beberapa pohon diantara rawa-rawa gambut.
Mereka membawa dua buntelan besar, yang berisi banyak harta berharga.
Keduanya berkelakar tetang pembagian yang akan diterima setelah menyerahkan harta itu kepada pimpinan mereka.
Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, membayangkan melewati malam ini di rumah bordil yang ada di pusat kota.
“Aku akan memsan lima gadis di sana, kau tahu…ada gadis penghibur berwajah cantik?”
“Ah, aku tidak terlalu tertarik dengan mereka,” timpal yang satunya, “aku ingin menghabiskan malam ini dengan kendi-kendi tuak.”
“Seleramu memang buruk, Kawan.”
Setelah beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah rumah beratap ilalang yang dipenuhi oleh banyak bandit gunung.
Rumah sederhana yang berdinding jalinan bambu, telah berdiri beberapa tahun, menjadi markas persembunyian para bandit gunung ini.
“Bos, kami berhasil menjarah rumah Ki Demang Desa Ranting,” bandit itu langsung menyerahkan dua buntelan besar ke hadapan pria picing, yang duduk sambil menenteng kendi labu berisi tuak.
“Hahahaha …kalian berdua memang hebat,” ucap Pimpinan Bandit itu, dia membuka buntelan satu persatu, lalu tertawa lebih keras lagi saat melihat banyak perhiasan di dalam buntelan tersebut.
Dia kemudian mengambil beberapa kalung dan gelang dari salah satu buntelan, lalu menyerahkannya kepada dua bandit itu.
“Bersenang-senanglah malam ini!” ucap pimpinan tersebut. “Besok aku akan memberikan tugas baru untuk kalian, kali ini rumah yang akan kalian incar jauh lebih kaya dibandingkan rumah Ki Demang Desa Ranting.
Pimpinan bandit gunung dikenal bernama Kilundung, dia juga diberi julukan Si Tangan Setan karena reputasinya sebagai bandit terbesar di wilayah ini.
Kilundung memiliki 20 anak buah, yang setiap harinya mendapatkan tugas, merampok, merampas, atau pula mencuri harta warga pada desa yang berdiri di sekitaran Lembah Berkabut.
Dua bandit barusan merupakan bawahan paling disayanginya, jelas karena mereka berhasil mendapatkan banyak harta rampasan dibandingkan dengan bawahan yang lain.
Walaupun dikenal sebagai bandit, Kilundung juga memiliki Teknik bela diri yang mumpuni, sehingga tidak banyak orang yang berani melawan dirinya.
Beberapa bulan yang lalu, pernah ada seorang Satria yang mencoba menjadi pahlawan ketika Ki Lundung sedang menjarah salah satu rumah warga.
Namun nahas, Satria itu mati setelah menerima tiga kali tebasan golok milik Kilundung.
Setelah mendapatkan pembagian upah, dua bandit itu segera pergi meninggalkan markas mereka.
Tidak perlu ditanya apa yang mereka lakukan setelah meninggalkan tempat itu!, tentu saja untuk bersenang-senang.
“Kondir, jika lain kali kita membawa lebih banyak harta, kau pikir berapa emas yang bisa kita hasilkan dalam satu hari saja?” tanya salah satu bandit, sambil menimanag-nimang kalung emas miliknya.
Kondir tersenyum mendengar pertanyaan itu, kemudian dia menjawab, “kita bisa jadi kaya raya.”
Kondir memiliki tubuh yang lebih pendek, tapi dia paling garang saat merampas harta para penduduk desa. Sementara itu, Sindur adalah bandit yang bertubuh lebih besar tapi sedikit lebih lemah dibandingkan Kondir.
Sindur bertugas mengatur siasat, memata-matai dan mencari rumah yang akan dijadikan target jarahan setiap harinya.
Ketika keduanya sedang berhayal tentang malam kelak yang akan dilewati, tiba-tiba keduanya melihat seorang bocah sedang berjalan di antara pepohonan.
Sindur tahu jika bocah itu pasti telah tersesat, tidak mungkin sengaja datang ke hutan ini.
Namun itu bukan itu yang dilirik oleh ke dua bandit tersebut, pandangan mata mereka tertuju pada buntelan yang dibawa oleh bocah tersebut.
“Kita akan merampas buntelan itu, lumayan, makan geratis …” ucap Sindur. “Jika kita beruntung, mungkin dia merupakan anak dari salah satu konglomerat. Kita akan mendapatkan uang sebagai tebusannya, bagaimana?”
Kondir yang mendengar hal itu, tanpa tunggu lama langsung menghadang langkah kaki bocah tersebut.
“Kenapa anak kecil seperti dirimu bermain di tengah hutan ini? Apa kau sedang tersesat? Di mana rumahmu? Biarkan paman yang mengantarmu pulang!” Sindur mencoba merayu bocah tersebut.
Namun dia, ‘bocah itu adalah Rawai Tingkis’, hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala, “aku tidak bermain-main di sini.”
“Tidak perlu bohong, mana mungkin anak kecil sepertimu sengaja bermain di tempat seperti ini. Sebaiknya kau ikut kami, biarlah Paman ini yang mengantarmu pulang, lagipula hari sudah menjelang petang, akan sangat menakutkan berada di hutan ini sendirian,” bujuk Sindur, dia tersenyum penuh arti, sebelum kemudian berkata lagi, “ada banyak hantu di tempat ini.”
“Hantu?”
“Benar, hantu bergigi Panjang dan mata yang menyala seperti api.”
“Hemm …aku jadi penasaran dengan wujudnya,” timpal Rawai Tingkis.
“Jangan …dia bisa menggigit.”
Rawai Tingkis menggaruk kepalanya, ucapan pria asing di depannya tentu saja tidak membuatnya merasa takut.
“Paman apa kau mengenal tanaman bernama Pepedas?” tanya Rawai Tingkis.
“Hemm …aku tidak pernah mendengar tanaman seperti itu, mungkin- Apa?”
Rawai Tingkis langsung berlalu setelah mendengar jawaban dari Sindur, menuju ke dalam hutan yang lebat.
‘Mungkin aku akan bertemu hantu dan bertanya dengan mereka, mengenai Tanaman Pepedas,’ gumam Rawai Tingkis sambil menghela nafas panjang, “dua pria dewasa tadi sepertinya orang bodoh, tidak bisa diharapkan.”
Kondir menyadari jika usaha temannya untuk membujuk Rawai Tingkis telah gagal, jadi sekarang adalah bagiannya. Melakukan kekerasan biasanya tidak pernah gagal untuk mendapatkan harta yang mereka mau.
“Bocah!” teriak Kondir, dia menarik golok dari dalam sarungnya, kemudian mengarahkan senjata itu ke tubuh Rawai Tingkis. “Sekarang serahkan buntelan yang kau bawa, cepat sebelum kesabaranku habis!”
Rawai Tingkis menoleh ke belakang.
“Aku bicara denganmu, Setan kecil!”
“Aku?” Rawai Tingkis mengarahkan telunjuknya ke wajah, “jadi kalian ini perampok? Pantas wajah kalian begitu jelek, dan terlihat bodoh.”
“Sial, kau tahu sedang berurusan dengan siapa-“
“Kenapa aku harus tahu, tidak penting …” timpal Rawai Tingkis, kemudian melanjutkan perjalan dengan menghindari tubuh Kindor.
Wajah Kindor seketika langsung memerah. Ini baru kali pertama bagi dirinya dipermalukan oleh calon korban.
Jelas tidak bisa dibiarkan, bocah itu harus dibunuh di sini.
Kindor langsung mengayunkan goloknya ke batang leher Rawai Tingkis, tapi tepat sebelum mata golok itu mengenai kulit bocah tersebut, secara tak terduga Rawai Tingkis menghindarinya dengan sengaja membungkukan tubuh.
Mata Kindor seketika terbelalak, mulut Sindur terbuka lebar, karena tidak percaya seorang bocah kecil seperti ini bisa menghindari tebasan.
Tubuh Rawai Tingkis seolah bergerak sendiri ketika mata golok itu mendekati tubuhnya.
“Cari saja orang lain! Sialan!” teriak Rawai Tingkis, “buntelan ini hanya berisi makanan, apa perampok seperti kalian tidak punya uang untuk mengisi perut!”
“Kau …Kau …” Kindor menekuk satu persatu jari tangan kirinya, tampaknya tidak bisa lagi menahan diri. “Aku tidak peduli dengan makanan apapun, sekarang aku ingin mencincangmu menjadi banyak bagian!”
“Hemmm …kalau begitu, apa boleh buat, aku tidak mungkin membiarkan tubuhku tercabik-cabik oleh kalian.”
Mendengar perkataan Rawai Tingkis, wajah Kondir langsung memerah bak kulit udang rebus.Tidak perlu basa-basi dia langsung menyerang bocah sombong di hadapannya. Meski lawannya hanyalah anak kecil, Kondir tidak pernah segan untuk menghabisi siapapun yang tidak patuh akan perkataanya.“Jangan menyesal jika kau mati!” ucap Kondir.Namun, gerakan Kondir tidak lebih cepat dari Rawai Tingkis. Bocah ingusan itu dapat dengan mudah menghindari golok yang bergerak cepat menuju batang lehernya.Dia melompat beberapa kali ke belakang, melakukan salto sekali sebelum kemudian berdiri tenang di sebelah pohon berukuran cukup besar.“Cuih, bocah ini rupanya cukup lihai,” gumam Kondir.Sementara itu, Sindur hanya menyaksikan pertandingan yang dianggapnya tidak akan menguntungkan Rawai Tingkis.Sindur bahkan masih sempat duduk di sebuah batu, dengan tangan menopang kepalanya.“Bocah itu memang cepat, tapi dia tidak akan bertahan saat melawan Kondir,” ucap Sindur, seraya tersenyum tipis.Merasa tebasann
Sementara itu Tabib Rabiah berkeliling di desa, mencari keberadaan Rawai Tingkis yang entah pergi ke mana.Dia menanyakan kepada beberapa warga, tapi semuanya menjawab sama, ‘kami tidak melihat bocah itu.’“Kemana dirinya?” tanya Tabib Rabiah, “apa aku terlalu keras kepadanya, Rawai Tingkis! Apa kau pergi dari rumah?”Tabib Rabiah mendongak ke ufuk timur, melihat matahari berangsur-angsur tenggalam meninggalkan siang.Malam akan segera datang, suara kicauan burung mulai terdengar sahut-menyahut, mungkin sedang mencari tempat untuk beristirahat malam ini.Jangkrik berpadu dengan suara kodok, menjadi nyanyian alam yang seolah menasehati semua manusia untuk masuk ke dalam rumahnya.Tabib Rabiah berjalan gontai, kemudian duduk di beranda rumahnya dengan wajah yang suram.Dia mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dalam-dalam, tapi hal ini tidak bisa menenangkan dirinya sama sekali.Ada banyak pikiran buruk di benaknya, membuatnya semakin gelisah.“Atau jangan-jangan …tidak, itu tidak mu
Rawai Tingkis mulai memaki ular hitam legam yang membuat rusa buruannya melarikan diri karena ketakutan.Karena kekesalan itu, Rawai Tingkis menyerang ular seperti kesetanan.Beberapa kali ular itu mencoba menghindari Rawai Tingkis, lalu melakukan serangan balik.Ujung ekor sang ular akhirnya mendarat tepat di perut bocah tersebut, membuat dirinya terdorong beberapa puluh depa ke belakang.Bocah itu menghantam semak belukar berduri lalu menghantam pangkal batang pohon besar.Burung kecil terbang berhamburan kala pohon itu bergetar kuat.“Adu duh duh duh …” Rawai Tingkis meringis, sebelum kemudian berdiri dan kembali menyerang ular tersebut.Meskipun pisik Rawai Tingkis sangat kuat dibandingkan dengan lima orang pria dewasa, tapi tetap saja ular itu lebih kuat dari dirinya.Setiap kali Rawai Tingkis mendaratkan potongan kayu ke tubuh ular, binatang tersebut terlihat baik-baik saja.“Cisss…” suara ular mendesis, menjulurkan lidah bercabang dari dalam mulutnya.Tatapan mata yang tajam ti
“Kancil, Kelinci?” Rawai Tingkis menemukan tiga binatang di depannya, “Siapa yang membawanya ke sini? Ah, akhirnya aku akan makan siang.”Rawai Tingkis mengeluarkan sebilah pisau kecil, lalu memotong tiga hewan itu, yang dalam keadaan terluka kakinya.Api unggun pada akhirnya menyala, lalu menyisakan bara. Rawai Tingkis dengan senyum gembira mulai memanggang ke tiga hewa tersebut, sesekali dia akan bersiul kecil, sesekali dia meniup bara api agar tetap menyala.“Selamat makan!” ucap dirinya, menyatukan dua telapak tangan, lalu menutup mata rapat-rapat. Setelah itu dia menghabiskan semua makanan itu tanpa tersisa.Rawai Tingkis membuang tulang terakhir, dan baru menyadari jika sebelumnya dia sedang bersama ular raksasa.Namun sekarang, dimana ular itu? Rawai Tingkis memutar kepalanya beberapa kali, tapi tidak melihat keberadaan binatang tersebut.“Apa dia sudah pergi?” gumam dirinya. “Kalau begitu aku juga harus pergi, perjalananku masih jauh.”Rawai Tingkis memeriksa buntelan yang dib
Rawai Tingkis, berjalan mengendap-endap menuju markas para bandit. Di tengah situasi yang dipenuhi oleh kabut tebal, pandangan menjadi sedikit terbatas.Meski di tempat ini tidak banyak pohon tinggi yang hidup, kecuali pohon kecil dan tanaman seperti padi yang hampir membentang di seluruh lembah, tapi Rawai Tingkis yang bertubuh kecil bisa mendekati tempat itu tanpa terdeteksi oleh musuh.Dia bersembunyi dari satu rumpun tanaman, ke rumpun yang lain.“Aku ingin buang air besar terlebih dahulu,” ucap salah satu penjaga rumah para bandit. “Gantikan aku untuk berjaga, hanya sebentar saja.”“Kau ini, bukannya baru saja kau telah buang air?”“Tadi itu air besar, karena ukurannya sedikit …”“Tidak perlu membahas ukurannya bodoh! Siapa yang ingin tahu, sekarang cepat pergi sana!”“Hahahha…” pria itu tertawa lalu berlari kecil menuju ke rumpun rumput, dimana Rawai Tingkis sedang bersembunyi.Cir.Air kencing seperti pancuran, melewati wajah Rawai Tingkis.“Kurang ajar!”Rawai Tingkis langsung
‘Jadi bocah ini yang telah membuat Kondir dan Sindur mengalami kecatan?’ gumam bandit tersebut. ‘tidak mungkin, aku tidak bisa percaya seorang bocah memiliki kekuatan sehebat dirinya. Tapi …ahkk …rasa sakit in adalah butkitnya.’Rawai Tingkis mengusap kepalan tinjunya beberapa kali, tampaknya sudah bersiap untuk maju ke depan, menghadapi semua bandit yang ada di markas mereka.“Tunggu! Kau tidak ingin melepaskan ikatanku terelebih dahulu?”“Ikatanmu sudah lepas sejak tadi,” timpal Rawai Tingkis.“A-apa?”Bandit itu baru menyadari jika ke dua tangannya telah terbebas, tapi karena rasa sakit yang dialaminya, membuat dia tidak menyadari jika sejak awal simpul akar telah terlepas.Rawai Tingkis tersenyum tipis, kemudian dia berkata, “pergilah! Jika aku melihatmu lagi, dan kau masih menjadi bandit, aku akan membuat semua gigimu lepas, hikhikhik …”Setelah berkata seperti itu, Rawai Tingkis meninggalkan bandit tersebut, dan mulai melewati jalan setapak menuju ke arah markas besar para bandi
Beberapa waktu telah berlalu Rawai Tingkis dan para bandit yang melindungi markas telah bertarung begitu sengit, yang membuat sebagian besar tempat tersebut mengalami kerusakan.Namun, musuh yang akan dihadapi oleh Rawai Tingkis saat ini hanya menyisakan beberapa orang saja.Di antara mereka semua telah terluka cukup parah, dengan tangan dan kaki yang patah. Beberapa yang lain terlihat mengalami pendarahan pada bagian kepala setelah dua buah batu mendarat tepat di batok kepalanya.Sementara itu, Rawai Tingkis sepertinya masih bisa melanjutkan pertarungan ini hingga beberapa jam kemudian.Sayangnya, ada satu masalah yang kini menerpa dirinya. Yaitu kantuk, atau keinginan untuk tidur yang telah menjadi penyakit bagi dirinya.“Jangan sekarang …” gumam Rawai Tingkis, seraya membuka matanya lebar-lebar tapi tetap saja, matanya ingin menutup. “Tolonglah, jangan-“Dia berjalan menuju tiga bandit yang terluka cukup parah, tapi sebelum dia menyerang mereka, Rawai Tingkis malah jatuh ke tanah d
Kilindung alias Si Tangan Setan atau Pimpinan Bandit gunung, begitu terkejut melihat Rawai Tingkis berhasil melepaskan ikatan yang dibuat oleh anak buahnya.Belum sempat pula dia bergeming, Rawai Tingkis telah mendaratkan tendangan tepat ke tubuh Kilindung, membuat dirinya terpental beberapa depa ke belakang.Beruntung Kilindung berhasil menyeimbangkan tubuhnya sebelum sempat terjengkang ke belakang. Wajahnya sontak menjadi semerah kulit udang masak.Giginya terdengar bergeretak, jari jemari tangannya mulai mencengkram gagang golok dengan kuat.Namun sebelum dia melakukan serangan, lima penjaga gudang yang memiliki level jauh lebih tinggi dibandingkan dengan para bandit sebelumnya, langsung menyerang Rawai Tingkis.Sekarang, sedikit lebih sulit memang, menghadapi lima orang ini. Namun, bukan berarti Rawai Tingkis bisa ditekan oleh mereka.Serangan golok melaju cepat dari arah kiri, tapi akhirnya menancap pada kulit pohon. Sedetik sebelumnya, Rawai Tingkis berhasil bergerak ke belakang