Share

Kemarahan Tabib

Di hari pertama Rawai Tingkis telah membuat ulah, dia menjatuhkan kendi yang diletakan di dinding rumah.

Kendi itu berisi semua ramuan yang berusia belasan tahun.

“Apa yang kau lakukan, BOCAH!!!”

“Heheh …maaf Tabib Rabiah, tanganku tidak sengaja menyentuh kendi usang ini. Tapi tenang saja aku akan membersihkan kekacauan ini …” Rawai Tingkis menunjukan senyum tak bersalah, tapi sedetik kemudian satu pukulan keras mendarat tepat di kepalanya. “-Ahk-“.

“Kau pikir masalah ini sederhana, Bocah …” tangan Tabib Rabiah terangkat lagi ke atas, “Ini adalah harta berharga yang aku miliki, tapi kau menghancurkannya dengan tanpa dosa.”

Kemudian terdengar teriakan di dalam rumah tersebut, teriakan dari mulut Rawai Tingkis yang mungkin kini sedang dihajar habis-habisan oleh Tabib Rabiah.

Beberapa saat kemudian, Rawai Tingkis keluar dari dalam rumah dengan tangan mengurut kepala bagian belakangnya.

“Dia benar-benar monster,” gerutu Rawai Tingkis.

“Aku mendengar ucapanmu!”

“Maafkan Aku!”

Rawai Tingkis bergegas berlari meninggalkan rumah itu dengan membawa satu gentong air menuju sungai.

Ketika tiba di pinggir sungai, Rawai Tingkis menatap bayangan wajahnya di genangan air yang sedikit tenang. Dia tidak menyangka wajahnya lebih buruk dari yang dia kira.

Ini pasti karena selama dua tahun berada di Pulau Tengkorak, dia tidak pernah mengurus tubuhnya sama sekali. Rambutnya keriting tak terurus seperti sarang burung.

Rawai Tingkis sejenak terbayang dengan teman-temannya, yang telah lebih dahulu pergi ke alam baka. Mereka yang lemah dan polos, seharusnya tidak dikorbankan demi penelitian para ilmuan sinting itu.

Byur.

Air beriak, Ketika dia menyelamkan wajahnya ke dalam sungai. Begitu sejuk dan lembut rasanya. Selama dua tahun terakhir, dia tidak pernah mandi sekalipun,  perasaan dinginnya air ini hampir saja terlupakan oleh bocah tersebut.

Setelah wajahnya keluar, bocah itu tersenyum kecil. Sekarang dia malah terbayang akan Tabib Rabiah, wanita pemarah tapi baik hati itu.

Dalam hidupnya, baru kali ini Rawai Tingkis seakan memiliki seorang ibu, saudari, dan juga keluarga yang menyayanginya.

Dalam hatinya kini, dia bertekad akan mengganti ramuan yang telah dihancurkannya barusan.

Jadi dia segera kembali ke rumah dengan gentong besar berisi air di tangannya.

Tabib Rabiah melihat perbuatan Rawai Tingkis dari beranda rumahnya, tapi karena masih menyimpan kesal, wanita itu seolah tidak peduli dengan tindakan bocah tersebut.

Namun rupanya ini bukan hanya sekali dua kali saja, Rawai Tingkis mengangkut air dari sungai ke rumahnya hingga belasan kali.

Padahal ukuran gentong yang dibawa olehnya sangat besar, bahkan lelaki dewasa saja tidak akan sanggup melakukan hal itu secara berulang-ulang kali.

“Apakah ini karena kekuatan roh suci di dalam tubuhnya, atau karena kekuatannya sendiri?” gumam Tabib Rabiah, kemudian menghembuskan asap rokok tebal dari dalam mulutnya. “Tidak mungkin dia bisa mengendalikan kekuatan itu, ini bukan seperti Mutiara emas …”

Setelah semua bak mandi di dalam rumah terisi penuh, Rawai Tingkis beristirahat di bawah pohon beringin yang ada di halaman rumah.

Dia melipat dua tangannya di belakang kepala.

“Makanannya sudah siap …” tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara Tabib Rabiah. “Carilah di dalam lemari jika kau lapar, aku akan pergi sebentar.”

Rawai Tingkis memiringkan kepala, melihat Tabib Rabiah pergi menuju jalan utama desa Air Tenam.

“Tabib …” panggil Rawai Tingkis, suaranya dibuat selembut mungkin agar wanita itu tidak mendaratakan kepalan tinju di kepalanya, “Kau akan pergi ke mana?”

“Ke pasar,” ucap Tabib Rabiah, “ada beberapa tanaman yang harus aku beli …”

Setelah berkata seperti itu, Tabib Rabiah berlalu sambil bergumam kecil, tapi Rawai Tingkis dapat mendengar ucapan wanita tersebut. ‘Aku harus mencari beberapa tanaman untuk dibuat obat, andai saja bocah itu tidak menghancurkan kendi itu, ah …sudahlah …”

Rawai Tingkis menghela nafas panjang, kemudian berjalan memasuki rumah yang sengaja tidak dikunci.

Dia menuju dapur, mulai mengambil sepiring nasi, serta beberapa lauk ikan yang terlihat lezat.

Rawai Tingkis mulai mencicipinya.

“Luar biasa, masakan Tabib Rabiah memang sangat enak …”

Bocah itu peralahan mengambil sepotong dua potong ikan panggang, lalu kemudian mengambil lagi beberapa potong, hingga nyaris saja seluruh makanan yang dibuat oleh Tabib Rabiah ludes, masuk  ke dalam perut Rawai Tingkis.

“Huamm …” Rawai Tingkis mulai mengantuk,dan tidak menunggu lama, dia menjatuhkan tubuhnya di atas meja makan.

Entah kenapa beberapa hari terakhir, Rawai Tingkis begitu sulit menahan kantuknya. Padahal, Ketika dia masih berada di Pulau Tengkorak, Rawai Tingkis hampir tidak pernah tidur baik siang ataupun malam.

Rawai Tingkis tidak tahu penyakit seperti apa yang ada di dalam tubuhnya saat ini, tapi yang jelas dia tidak pernah pilih-pilih tempat dalam tidurnya.

Jika dipikirkan, Rawai Tingkis akan tidur setiap 3 jam satu kali. Meskipun durasi tidurnya tidak terlalu lama, hanya beberapa menit saja, tapi penyakit ini tetap saja akan mengganggu dirinya di kemudian hari.

Mungkin Tabib Rabiah bisa mengobatinya, berpikir bocah itu sebelum benar-benar terlelap.

Tepat 10 menit kemudian, dia seketika langsung terjaga.

“Huammm …” mulutnya terbuka lebar.

“Ah, aku hampir saja lupa,” ucap dirinya.

Bergegas bocah itu masuk ke dalam ruang kerja Tabib Rabiah, kemudian mencari beberapa buku yang tersusun rapi di dalam rak buku sederhana.

“Bukan buku ini,” ucap dirinya, kembali mengambil beberapa buku lagi.

Rawai Tingkis sedang mencari catatan mengenai ramuan yang dia tumpahkan pagi tadi.

Tujuannya untuk menemukan tanaman, atau jenis sumber daya apapun yang bisa menciptakan ramuan obat-obat tersebut.

Dia ingin menggantinya.

“Ini dia,” pikir Rawai Tingkis.

Bocah itu menulis ulang semua catatan yang ada di dalam buku tersebut, kemudian mencari info mengenai beberapa tanaman yang harus ditemukan.

Ada hampir 15 jenis tanaman tercatat di dalam buku itu, kemudian beberapa jenis air, dan terakhir tempat-tempat untuk menemukan tanaman atau air yang dimaksud.

“Sial, banyak sekali yang harus aku cari, pantaslah Tabib Rabiah menghajarku habis-habisan karena ramuan ini.”

Ya, beberapa ramuan itu cukup langka, beberapa yang lain tumbuh di dataran tinggi, bahkan ada tanaman yang hanya tumbuh di dalam jurang.

Semua tanaman itu jika harus dibeli dengan uang, kemungkinan besar akan sangat menguras harta Tabib Rabiah, atau, mungkin beberapa tanaman itu memang tidak pernah dijual karena terlalu berharga.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, Rawai Tingkis akhirnya meninggalkan rumah Tabib Rabiah.

Dia berjalan ke arah utara. Menurut catatan yang dia baca, ada beberapa tanaman yang hanya bisa ditemukan di lembah-lembah yang lembab.

Dengan penuh semangat, bocah itu pada akhirnya mulai menyusuri hutan yang terbentang mengelilingi desa Air Tenam.

Namun dia tidak tahu, jika lembah yang akan dia tuju, bernama Lembah Berkabut, tempat persembunyian para bandit gunung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Guru Sukarela
jadi ingat Drakor berjudul Island.
goodnovel comment avatar
sugiharto inu
mantap Thor... lanjut kan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status