“Berapa ratus anak-anak lagi yang akan mati tahun ini?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Rawai Tingkis dengan nada yang bergetar. "Pulau ini adalah penjara dan neraka, semuanya akan mati pada akhirnya."Ya, ini adalah Pulau Tengkorak merupakan pusat penelitian terbesar di Kerajaan Indrapura, untuk menciptakan mesin pembunuh. Anak-anak dilatih dengan serangkaian prosedur mengerikan oleh ilmuan Kerajaan, sehingga menghasilkan pembunuh paling ditakuti yang tidak memiliki emosi.Puluhan hingga ratusan anak mati hanya karena penelitian gila para ilmuan di pulau tersebut. Anak-anak malang yang dibesarkan mulai dari usia 7 tahun ini, diambil dari jalanan, atau yang sengaja dijual oleh panti asuhan jalur hitam, dan tidak terkecuali Rawai Tingkis. Anak berusia 9 tahun yang telah tinggal di sini selama lebih dari 2 tahun lamanya.2 tahun yang lalu, lebih dari 100 anak-anak didatangkan ke pulau tengkorak, tapi kemudian yang bertahan hingga hari ini hanya tersisa beberapa orang saja. Rawai Tingk
Putra Mahkota akan tinggal di sini beberapa hari lamanya, sambil mengamati penelitian para ilmuan di Pulau Tengkorak. Namun kehadiran dirinya di sini, membuat ilmuan-ilmuan tersebut malah merasa tertekan.“Putra Mahkota hanya memberi kita waktu satu bulan saja.”“Ki Nerto, waktu satu bulan tidak akan cukup bagi kita untuk memenuhi keinginan Putra Mahkota, bagaimana ini?”Ki Nerto alias Pimpinan dari organisasi penelitian ini, mulai merasa bimbang, Dua tahun dia telah bekerja untuk menciptakan mesin pembunuh seperti yang diinginkan oleh Putra Mahkota, tapi bahkan waktu tersebut masih kurang cukup bagi dirinya.Sekarang, Putra Mahkota malah meminta mesin pembunuh dengan waktu hanya satu bulan saja. Ini gila, bagaimana hal ini bisa dilakukan? Seribu anak-anak yang dijadikan objek penelitian mungkin tidak akan sanggup untuk memenuhi keinginan gila Putra Mahkota.Tentu saja ini berkaitan dengan dunia politik di Kerajaan Indra Pura. Isu beredar, jika Raja tampaknya akan mengangkat putra ke
“Dimana aku?” Putri kecil itu terjaga di sebuah kamar indah yang dikelilingi oleh banyak perawat. Dia menyapukan pandangannya beberapa kali, kemudian hendak beranjak dari pembaringan, tapi dihentikan oleh Ayahnya sendiri, Putra Mahkota kerajaan Indra Pura. “Ayah ...”“Akhirnya kau sudah sadar,” ucap Pangeran itu, “kau membuat aku khawatir, Putriku. Kenapa kau pergi ke lokasi larangan, bukankah para prajurit telah memperingatkan dirimu?”“Ayah, jadi itu bukan mimpi?” Gadis itu kembali berusaha untuk beranjak dari pembaringan, tapi sekujur tubuhnya terasa begitu sakit.“Tuan Putri pingsan selama 7 hari, kau memiliki mental yang cukup kuat, mengingat para pelayanmu kehilangan-“Putra Mahkota mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar dokter yang berbicara itu, menghentikan ucapannya.“Ada apa dengan para pelayan?” tanya Putri tersebut.“Lebih baik kau istirahat Putriku!” Putra Mahkota malah mengalihkan pembicaraannya, tidak ingin putrinya tahu jika semua pelayan telah mati, bahkan sebelum
Dusun Air Tenam dihebohkan oleh kemunculan jasad bocah kecil yang ditemukan di pinggiran sungai, tidak jauh dari pemandian para warga di sana.Mereka lantas membawa tubuh Rawai Tingkis menuju ke rumah seorang tabib di desa tersebut.“Biarkan aku memeriksanya, kalian semua harap menunggu di luar ruangan!” ucap tabib itu.Selang beberapa saat, Sang Tabib keluar dari kamarnya, dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh, tapi kemudian dia tersenyum lega, “anak itu belum mati, meski sangat lemah, aku bisa merasakan denyut jantungnya.”Dia bernama Tabib Rabiah, seorang wanita yang mengabdikan dirinya di desa Air Tenam sebagai tukang medis.Bisa dibilang, dia merupakan tabib terbaik, karena hampir semua pasiennya sembuh setelah ditangani oleh wanita tersebut.Tidak diketahui asal muasal Tabib Rabiah, dia bukanlah warga pribumi, dia datang ke desa ini 10 tahun yang lalu, dan sampai saat ini tidak ada satupun orang yang mengetahui identitas asli Tabib Rabiah.“Aku sudah memberinya beberapa obat
Di hari pertama Rawai Tingkis telah membuat ulah, dia menjatuhkan kendi yang diletakan di dinding rumah.Kendi itu berisi semua ramuan yang berusia belasan tahun.“Apa yang kau lakukan, BOCAH!!!”“Heheh …maaf Tabib Rabiah, tanganku tidak sengaja menyentuh kendi usang ini. Tapi tenang saja aku akan membersihkan kekacauan ini …” Rawai Tingkis menunjukan senyum tak bersalah, tapi sedetik kemudian satu pukulan keras mendarat tepat di kepalanya. “-Ahk-“.“Kau pikir masalah ini sederhana, Bocah …” tangan Tabib Rabiah terangkat lagi ke atas, “Ini adalah harta berharga yang aku miliki, tapi kau menghancurkannya dengan tanpa dosa.”Kemudian terdengar teriakan di dalam rumah tersebut, teriakan dari mulut Rawai Tingkis yang mungkin kini sedang dihajar habis-habisan oleh Tabib Rabiah.Beberapa saat kemudian, Rawai Tingkis keluar dari dalam rumah dengan tangan mengurut kepala bagian belakangnya.“Dia benar-benar monster,” gerutu Rawai Tingkis.“Aku mendengar ucapanmu!”“Maafkan Aku!”Rawai Tingkis
Di tengah Lembah Berkabut, dua bandit berwajah sangar berjalan buru-buru, melintasi beberapa pohon diantara rawa-rawa gambut.Mereka membawa dua buntelan besar, yang berisi banyak harta berharga.Keduanya berkelakar tetang pembagian yang akan diterima setelah menyerahkan harta itu kepada pimpinan mereka.Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, membayangkan melewati malam ini di rumah bordil yang ada di pusat kota.“Aku akan memsan lima gadis di sana, kau tahu…ada gadis penghibur berwajah cantik?”“Ah, aku tidak terlalu tertarik dengan mereka,” timpal yang satunya, “aku ingin menghabiskan malam ini dengan kendi-kendi tuak.”“Seleramu memang buruk, Kawan.”Setelah beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah rumah beratap ilalang yang dipenuhi oleh banyak bandit gunung.Rumah sederhana yang berdinding jalinan bambu, telah berdiri beberapa tahun, menjadi markas persembunyian para bandit gunung ini.“Bos, kami berhasil menjarah rumah Ki Demang Desa Ranting,” bandit itu langsung menyerahk
Mendengar perkataan Rawai Tingkis, wajah Kondir langsung memerah bak kulit udang rebus.Tidak perlu basa-basi dia langsung menyerang bocah sombong di hadapannya. Meski lawannya hanyalah anak kecil, Kondir tidak pernah segan untuk menghabisi siapapun yang tidak patuh akan perkataanya.“Jangan menyesal jika kau mati!” ucap Kondir.Namun, gerakan Kondir tidak lebih cepat dari Rawai Tingkis. Bocah ingusan itu dapat dengan mudah menghindari golok yang bergerak cepat menuju batang lehernya.Dia melompat beberapa kali ke belakang, melakukan salto sekali sebelum kemudian berdiri tenang di sebelah pohon berukuran cukup besar.“Cuih, bocah ini rupanya cukup lihai,” gumam Kondir.Sementara itu, Sindur hanya menyaksikan pertandingan yang dianggapnya tidak akan menguntungkan Rawai Tingkis.Sindur bahkan masih sempat duduk di sebuah batu, dengan tangan menopang kepalanya.“Bocah itu memang cepat, tapi dia tidak akan bertahan saat melawan Kondir,” ucap Sindur, seraya tersenyum tipis.Merasa tebasann
Sementara itu Tabib Rabiah berkeliling di desa, mencari keberadaan Rawai Tingkis yang entah pergi ke mana.Dia menanyakan kepada beberapa warga, tapi semuanya menjawab sama, ‘kami tidak melihat bocah itu.’“Kemana dirinya?” tanya Tabib Rabiah, “apa aku terlalu keras kepadanya, Rawai Tingkis! Apa kau pergi dari rumah?”Tabib Rabiah mendongak ke ufuk timur, melihat matahari berangsur-angsur tenggalam meninggalkan siang.Malam akan segera datang, suara kicauan burung mulai terdengar sahut-menyahut, mungkin sedang mencari tempat untuk beristirahat malam ini.Jangkrik berpadu dengan suara kodok, menjadi nyanyian alam yang seolah menasehati semua manusia untuk masuk ke dalam rumahnya.Tabib Rabiah berjalan gontai, kemudian duduk di beranda rumahnya dengan wajah yang suram.Dia mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya dalam-dalam, tapi hal ini tidak bisa menenangkan dirinya sama sekali.Ada banyak pikiran buruk di benaknya, membuatnya semakin gelisah.“Atau jangan-jangan …tidak, itu tidak mu