Share

Kematian

Dusun Air Tenam dihebohkan oleh kemunculan jasad bocah kecil yang ditemukan di pinggiran sungai, tidak jauh dari pemandian para warga di sana.

Mereka lantas membawa tubuh Rawai Tingkis menuju ke rumah seorang tabib di desa tersebut.

“Biarkan aku memeriksanya, kalian semua harap menunggu di luar ruangan!” ucap tabib itu.

Selang beberapa saat, Sang Tabib keluar dari kamarnya, dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh, tapi kemudian dia tersenyum lega, “anak itu belum mati, meski sangat lemah, aku bisa merasakan denyut jantungnya.”

Dia bernama Tabib Rabiah, seorang wanita yang mengabdikan dirinya di desa Air Tenam sebagai tukang medis.

Bisa dibilang, dia merupakan tabib terbaik, karena hampir semua pasiennya sembuh setelah ditangani oleh wanita tersebut.

Tidak diketahui asal muasal Tabib Rabiah, dia bukanlah warga pribumi, dia datang ke desa ini 10 tahun yang lalu, dan sampai saat ini tidak ada satupun orang yang mengetahui identitas asli Tabib Rabiah.

“Aku sudah memberinya beberapa obat, sekarang yang menentukan hidup dan mati bocah itu, adalah tekadnya sendiri.”

Tabib Rabiah kemudian keluar dari rumahnya, duduk di pinggir teras pada bangku kayu, seraya menyulut sebatang rokok.

Kepulan asap menyelimuti wajahnya yang penuh dengan kerutan.

Namun tatapan Tabib Rabiah seolah sedang menerawang jauh ke depan. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya, bahkan warga sekitar tidak pernah melihat ekspresi itu selama dia mengobati pasiennya.

“Nenek Tabib..,” gadis kecil yang pertama kali menemukan Rawai Tingkis menghampiri Tabib Rabiah. “Apa dia baik-baik saja?”

“Gadis kecil, sebaiknya kau pulang!” timpal Tabib Rabiah, “jika dia masih hidup, aku akan mengabarimu segera!”

Gadis kecil polos hanya mengangguk, lalu bersama orang tuannya pergi meninggalkan rumah Tabib Rabiah. Setelah beberapa waktu kemudian, semua warga akhirnya pergi meninggalkan kediaman wanita tersebut.

Beberapa yang lain terdengar membicarakan mengenai Rawai Tingkis, beberapa yang lain langsung pergi tanpa peduli lagi dengan bocah tersebut.

Setelah semuanya pergi, Tabib Rabiah kembali masuk ke dalam rumahnya, dia menutup semua pintu dan jendela. Dengan perlahan Tabib Rabiah mengeluarkan sebilah pedang yang dia sembunyikan di bawah lantai rumah.

“Aku mencium bahaya dari bocah ini,” ucap Tabib Rabiah, “Aku akan mengakhiri nyawanya, sebelum hal buruk terjadi.”

Tabib Rabiah kemudian dengan cepat menebaskan pedang ke arah leher bocah tersebut, tapi tepat satu jari sebelum tebasan pedang mengenai kulit Rawai Tingkis, tiba-tiba bocah itu bergumam kecil.

“Aku ...aku tidak akan mati, aku akan bertahan ...”

Mendengar hal itu, Tabib Rabiah mulai bimbang. Dia bingung untuk menentukan dua pilihan yang berbeda, yaitu menolong Rawai Tingkis atau membunuhnya.

Secara perlahan Rawai Tingkis akhirnya membuka ke dua belah matanya, tapi saat melihat wajah Tabib Rabiah, Rawai Tingkis tersenyum tipis, “apa kau yang telah menyelamatkanku, terima kasih ...terima kasih ...Nenek.”

Tabib Rabiah mulai merasa iba dengan bocah tersebut, pedang yang hampir melukai bocah itu secara perlahan mulai ditarik dan disarungkan kembali.

Hanya setelah itu, Rawai Tingkis kembali menutup ke dua matanya, tapi bukan berarti dia pingsan, dia hanya tertidur.

Tabib Rabiah melempar pedangnya ke samping, menghempaskan tubuh ke lantai, sambil mengurut keningnya yang terasa sakit.

Satu batang rokok kembali disulut olehnya, tapi rokok yang senantiasa menemaninya sendirian di rumah ini, tidak terasa nikmat lagi.

“Apa aku harus membiarkan bocah ini hidup?” gumam dirinya, “Kenapa aku harus menghadapi situasi seperti ini? Setan mana yang mengganggu pikiranku, sampai aku merasa iba dengan dirinya.”

***

Tiga hari kemudian, terlihat Rawai Tingkis sedang menyantap hidangan makanan yang dibawa oleh Tabib Rabiah.

Seperti orang yang belum makan selama berminggu-minggu, Rawai Tingkis menyantap semua makanan tersebut. Dia bahkan menelan tulang ikan sampai habis.

“Terima kasih, Nenek ...masakanmu sungguh lezat,” puji Rawai Tingkis.

“Jika kau sudah sehat, segeralah pergi dari rumahku!” ucap Tabib Rabiah.

Mendengar hal itu, Rawai Tingkis untuk sejenak terdiam, Tabib Rabiah mengira bocah itu akan tersinggung tapi rupanya tidak, Rawai Tingkis malah tersenyum, “Nenek, aku tidak punya tempat untuk kembali.”

“Itu bukan urusanku.”

“Aku juga tidak punya sanak keluarga, tidak punya kampung halaman, jadi izinkan aku tinggal di sini.”

“Tidak akan!” timpal Tabib Rabiah. “Aku tidak ingin siapapun di rumahku, aku ingin hidup sendiri dan menjalani hari-hariku dengan tenang.”

“Baiklah,” timpal Rawai Tingkis, dia segera berdiri dari tempat tidurnya, kemudian berjalan keluar dari rumah Tabib Rabiah.

Sang Tabib mengira Rawai Tingkis benar-benar meninggalkan rumahnya, dan ada rasa sesal di hatinya, tapi kemudian amarahnya kembali meledak, “Siapa suruh kau mendirikan gubuk reot itu di samping rumahku, bocah sialan?!”

“Aku tidak akan tinggal di rumahmu, tapi aku akan tinggal di sini ...” Rawai Tingkis menunjuk pada gubuk reot yang baru saja dia buat dengan ranting dan atap dedaunan yang dia temukan di sekitar rumah Tabib Rabiah. Gubuk itu bahkan terlihat lebih buruk dari kandang ayam.

Wush.

Terpaan angin baru saja merobohkan gubuk buatan Rawai Tingkis..

“Ah, aku akan membuatnya lagi-“

“Hentikan Bocah kurang ajar!” teriak Tabib Rabiah. “Kau tidak boleh mendirikan gubuk di pinggir rumahku, di halaman depan, halaman belakang, intinya kau tidak boleh mendirikan apapun di sekitar pekarangan rumahku.”

“Terima kasih Nenek, akhirnya kau mengizinkan aku tinggal di rumahmu,” Rawai Tingkis membungkuk memberi hormat, seraya tersenyum polos.

“Aku tidak bilang seperti itu-, Aduh ...mau aku apakan dirimu ini?”

Pada akhirnya, Tabib Rabiah menyerah pula.

“Bocah, siapa yang melakukan percobaan terhadap tubuhmu?” tanya Tabib Rabiah. “Kau punya tanda Roh Suci, aku yakin ada ilmuan gila yang telah melakukan percobaan terhadap dirimu.”

“Nenek tahu mengenai hal ini?” tanya Rawai Tingkis.

“Melukai tubuh kemudian memasukan darah Roh Suci ke dalamnya, adalah metode kuno sekali, dan dianggap paling gila. Ilmuan bodoh mana yang masih menggunakan metode seperti itu untuk mengambil kekuatan Roh Suci?”

Melihat wajah Rawai Tingkis yang menjadi suram, Tabib Rabiah akhirnya mengalihkan pembicaraannya, “lupakan masalah itu, walau bagaimanapun sebuah keajaiban ada manusia yang selamat setelah mengalami metode tersebut. Sekarang, jika kau ingin tinggal di sini, maka kau harus bekerja keras. Kau harus mencari uang untuku.”

“Hemmm ...aku tidak pernah mencari uang, tapi aku dapat diandalkan,” timpal Rawai Tingkis.

Tabib Rabiah menghela nafas panjang, bocah kecil dihadapannya begitu geras kepala, tapi pada akhirnya dia terpaksa harus merawat bocah tersebut.

Meski sebenarnya masih ada rasa takut di hati Tabib Rabiah akan kekuatan Rawai Tingkis yang kini masih tertidur atau mungkin masih beradaptasi dengan tubuh bocah tersebut.

“Roh Suci seperti apa yang bocah ini miliki?” gumam Tabib Rabiah. “Ini akan merepotkan jika dia memiliki roh suci level tinggi.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ismik Cengal
lanjut....biar tau alur cerita dulu...
goodnovel comment avatar
Q Geden
cerita yg mirip lanting...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status