Berlatih gerakan ke dua rupanya lebih sulit dibandingkan dengan gerakan pertama, dan sama seperti latihan sebelumnya, Rawai Tingkis diminta untuk melakukan tusukan sebanyak 2000 kali dalam satu hari.Jumlah itu akan bertambah setiap bulannya, sampai mencapai 10 ribu kali dalam satu hari.Jika seorang murid memiliki sifat yang mudah menyerah atau bahkan mudah bosan, maka latihan seperti ini sangat tidak cocok bagi dirinya.Namun Rawai Tingkis bukanlah bocah seperti itu, dalam urusan berlatih, Rawai Tingkis akan menekuninya dengan penuh semangat dan serius.Dia tidak peduli berapa lama atau berapa banyak gerakan yang harus dilatihnya dalam setiap hari, karena bagi bocah tersebut, mengukuhkan pondasi adalah hal paling utama dalam dunia persilatan.Apa lagi, setiap kali dia terbayang mengenai Satria Suci yang dikatakan memiliki kekuatan yang sangat hebat, membuat dirinya tidak bisa bermalas-malasan saat ini.Sementara itu, Tabib Rabiah melakukan pengamatan terhadap Rawai Tingkis setiap ha
Saat ini, Rawai Tingkis baru saja menyelesaikan latihannya, dan memutuskan untuk keluar hanya untuk menghirup udara segara. Lagipula, belum ada gerakan lanjutan yang diberikan kepada bocah tersebut.Tabib Rabiah juga sedang keluar, entah dia pergi ke mana, Rawai Tingkis tidak tahu.Baru saja dia melewati gerbang bambu yang menjadi pagar rumah Tabib Rabiah, bocah itu melihat sosok gadis kecil sederhana yang memiliki wajah manis.Dia berjalan mendekati bocah tersebut, dengan wajah sedikit malu-malu, lalu berkata, “apa kau mengenali diriku?”Rawai Tingkis memiringkan kepalanya, lalu menggaruk rambutnya dengan pelan, “apa kau gadis yang telah menolongku?”“Hem,” angguk gadis kecil tersebut.Mendengar hal itu, Rawai Tingkis langsung tersenyum lebar, dan secara sepontan memeluk tubuh gadis kecil itu dengan erat, “aku berutang nyawa denganmu,” ucap dirinya, “kau sudah menyelamatkanku, jika saja waktu itu kau tidak ada, mungkin aku sudah lama mati.”Pelukan Rawai Tingkis membuat gadis kecil i
Beberapa minggu telah berlalu, tapi Rawai Tingkis masih berlatih keras untuk menguasai jurus tebasan bulan sabit.Dia akan memulai berlatih pada pagi hari, ketika sang surya baru naik satu jengkal di ufuk timur, lalu akan beristirahat hanya ketika penyakit kantuknya tiba.Ya, selebihnya dia tidak pernah istirahat, jika bukan karena Tabib Rabiah yang menghentikan waktu latihannya.Rawai Tingkis bahkan pernah berlatih hingga malam benar-benar larut, kala Tabib Rabiah pergi meninggalkan rumah untuk membantu kelahiran salah satu warga.Ketika Tabib Rabiah pulang, kala itu dirinya sedang tertidur dengan bersandar pada sebatang pohon, dengan pedang sebagai penopang tubuhnya.“Tiga bulan,” gumam Rawai Tingkis, “aku harus menguasai jurus ini dengan cepat!”Kegigihan dan kerja keras Rawai Tingkis membuat Tabib Rabiah benar-benar kagum. “Aku sendiri butuh waktu satu tahun untuk mengusainya dengan berlatih seperti Rawai Tingkis.”Tabib Rabiah kadang kala akan memeriksa tubuh bocah tersebut, hany
Setelah beberapa tahun berlalu, kini usia Rawai Tingkis telah menginjak 15 tahun. Selama lima tahun terakhir, dia hidup dan tinggal bersama Tabib Rabiah, dan belajar seni pedang kepada wanita tersebut.Telah banyak ujian dan rintangan yang dilewati oleh bocah tersebut, hingga akhirnya dia berhasil menguasai 5 jurus dari teknik Kilat Pedang milik Tabib Rabiah.Sejauh ini, menurut Tabib Rabiah, Rawai Tingkis sudah memiliki cukup kekuatan untuk menghadapi banyak musuhnya dalam pertarungan.Selebihnya, teknik Kilat Pedang atau juga teknik pedang bebas akan semakin berkembang seiring waktu berjalan. Kesempurnaan yang sebenarnya akan didapatkan oleh Rawai Tingkis ketika benar-benar bertarung atau dihadapakan dalam posisi hidup dan mati.Hari ini, Tabib Rabiah memasuki rumahnya dengan wajah yang begitu tegang. Kala itu, Rawai Tingkis sedang mengasah pedang, dengan ditemani lima potong ubi rebus.“Rawai Tingkis, pergilah dari sini!” ucap Tabib Rabiah.“Guru, kenapa kau tiba-tiba berbicara sep
Setelah Rawai Tingkis tiba di tempat itu, dirinya mendapati Tabib Rabiah terpojok oleh empat orang pria tidak dikenal. Satu pria telah mati dan kini tertimbun pada puing-puing bangunan rumah Sang Tabib.Namun, kondisi tubuh Tabib Rabiah benar-benar terluka sangat parah. Dia mendapatka luka besar tepat di bagian pundak, perut dan lengan kanannya.“GURU!!!” teriak Rawai Tingkis. “BAJIANGAN, APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN GURUKU?!”Wush.Rawai Tingkis menderu secepat kilat, nyaris saja melukai tubuh seorang pria yang berada di dekat Tabib Rabiah, tapi untungnya pria itu berhasil menghindari serangan tersebut tepat waktu. Dia melompat ke belakang, dan kembali berkumpul dengan tiga temannya yang lain.“Guru, aku akan mengobatimu, tunggulah-““Rawai Tingkis, kenapa kau ke sini, Nak?” tanya Tabib Rabiah. “Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi dari sini …uhuk …uhuk …kau ini…”“Guru, jangan dulu bicara, lukamu akan semakin parah.”“Bocah bodoh, kau tidak tahu apapun tetang luka, saat ini aku sudah
Teng teng teng.Rawai Tingkis telah berada di belakang tiga lawannya, dengan pedang yang telah bersimbah dengan darah.Sementara itu, tiga lawannya yang lain hanya terdiam, tidak berkutik sama sekali, hingga akhirnya mereka baru menyadari jika golok yang mereka gunakan telah terpotong menjadi dua bagian.Namun, itu bukan bagian terbaiknya. Sekarang, mereka juga baru manyadari jika bukan hanya golok yang telah terpotong dengan rapi, tapi juga lengan mereka.Ya, tebasan itu telah memisahkan lengan dari pundak musuh. Rawai Tingkis bisa saja membunuh mereka, dengan mendaratkan serangan ke bagian leher, dan mereka dapat dipastikan akan mati.Namun, ini tidak menarik sama sekali, Rawai Tingkis tidak berharap mereka mati. Tangan yang telah direnggutnya dari mereka, akan menjadi pelajaran dan siksaan sampai pembunuh itu memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka sendiri.Darah mengucur deras bagai pancuran air yang ada di sawah, tapi ke tiga pria itu tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut,
Rawai Tingkis duduk termenung di pinggir pusaran, yang masih basah bertabur banyak bunga.Para warga satu persatu mulai pergi meninggalkan pusaran itu, hingga menyisakan Rawai Tingkis dan juga Selasih, gadis remaja yang setia menemani bocah tersebut.“Aku kehilangan banyak teman di sepanjang kehidupanku, tapi kematian Guruku merupakan pukulan yang paling menyakitkan …” Rawai Tingkis mulai menangis sedu sedan seperti bayi kecil, “Aku tidak sempat membanggakan Guru-““Belum, bukan tidak,” timpal Selasih, lalu meremas dua telapak tangan Rawai Tingkis. “Rawai Tingiis, aku yakin Gurumu tidak ingin melihat kau bersedih seperti ini. Hapuslah air matamu, jangan tangisi kepergiannya, karena itu akan membuat Tabib Rabiah merasa menderita. Biarkan dia beristirahat dengan tenang.”Rawai Tingkis sejenak terdiam saat mendengar ucapan Selasih. Matanya yang sembab masih menatap tanah kuburan merah itu, dan sekarang hari mulai hujan deras.“Lihatlah, kau membuat gurumu bersedih!”“Kau benar,” ucap Raw
Telah beberapa hari Rawai Tingkis berjalan tanpa tahu arah yang pasti. Bocah yang tidak begitu paham dengan bentang alam dan peta, akan memiliki kemungkinan besar untuk tersesat di dalam hutan.Namun, dia masih bertahan, ada banya kelinci yang ditemukan, atau pula kijang yang bisa menganjal perutnya dikala kelaparan.Di tangannya, dia membawa pedang yang ditinggalkan sang guru, menjadi teman setia dalam perjalanan ini.Satu hal yang ada di dalam benaknya saat ini, dia harus berjalan terus ke arah pusat penelitian dunia, atau markas para ilmuan dunia.Sayangnya sejauh dia berjalan, Rawai Tingkis tidak menemukan satupun hambatan atau lawan yang berasal dari kelompok satria suci.Kecuali hanya beberapa bandit kecil yang mencoba merampok pedang di tangannya, dan semua itu bukanlah lawan yang sepadang bagi Rawai Tingkis.“Tujuh hari lamanya …tujuh hari lamanya …” Rawai Tingkis bersenandung seraya sesekali bersiul kecil, “Aku berada di dalam hutan, seperti monyet sialan.”“Ada suara seora