Share

BAB 2 - KENYATAAN YANG PAHIT

"Ayo kita menikah."

Lagi-lagi kata 'menikah' keluar dari mulut Ghatan setelah ia dengan halus mengusir Sena dan menyuruhnya pergi tanpa membawa map rincian utang keluarga Anjeli. Sekarang hanya ada Ghatan dan Anjeli di sini, di sebuah kafe tak jauh dari kantor.

"Apa maksudnya?" tanya Anjeli tak mengerti, memandang wajah tenang Ghatan yang terdengar santai mengajaknya mengikat janji suci. "Anda bilang apa tadi?"

Tidak banyak yang Anjeli ketahui tentang cucu pimpinan Prajanata yang nantinya akan mewarisi perusahaan GP Property. Yang Anjeli tahu pasti, 32 tahunnya dihabiskan untuk menjadi pemilik GP Property. Sebagai putra tunggal, beban yang ditanggungnya memanglah sangat berat.

Hanya dia satu-satunya penerus GP Property. Karena itulah, mau tidak mau dia dididik dengan keras. Tak heran ia tumbuh menjadi orang yang tidak bisa membuka hati dan menunjukkan perasaannya kepada orang lain.

Ada alasan kenapa Anjeli berpikir seperti itu, karena sudah keempat kalinya ia membatalkan perjodohan yang diatur untuknya.

Karena itu pula Anjeli bertanya-tanya, mengapa seorang putra mahkota seperti Ghatan ingin mengajak putri seorang pelayan seperti dirinya menikah?

Ghatan melirik map merah itu.

"Jadi, ada apa? Apa yang anda mau?"

"Menikahlah denganku."

"Saya tidak mau!" tolak Anjeli mentah-mentah. "Kenapa anda ingin menikah dengan saya? Bisa-bisa pak Presdir marah besar jika mengetahui wanita yang ingin dinikahi anaknya itu adalah saya." Nada suara Anjeli menurun kala ia tak sengaja melihat lagi luka di kening Ghatan. "Ah, mungkin saja beliau akan melempar saya dengan papan nama di meja kerjanya."

Menyadari itu, Ghatan memegang luka di keningnya. "Kau melihat luka ini?"

Anjeli memalingkan wajahnya, ia tak sanggup menatap wajah tanpa ekspresi itu. "Terserah, saya tidak akan menikah dengan anda." Dan saat hendak berdiri untuk pamit, justru Anjeli dibuat diam lagi oleh kata-kata Ghatan yang tak berubah.

"Hah, aku mengatakan ini untuk yang ketiga kali." Dia menarik napas, menyilangkan kaki dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. "Ayo kita menikah."

"Pak, apa anda sedang mempermainkan saya?" tanya Anjeli tak habis pikir.

Dia bingung apa yang membuat Ghatan kukuh seperti ini, padahal Anjeli merasa tidak ada yang spesial dalam dirinya. Meski begitu, Anjeli hanya dapat menemukan keseriusan di dalam tatapan matanya.

"Kau pikir aku orang yang punya banyak waktu luang?"

Anjeli mendengus. "Kalau begitu, anda sudah gila ya?"

"Aku tidak gila dan sangat serius," jawab Ghatan.

Saat ini kewarasan Anjeli telah hilang. "Maaf Pak, tapi saya tidak bisa menikah dengan anda. Saya permisi." Setelah mengungkapkan penolakannya lagi, Anjeli bangkit dari duduknya.

Namun, waktu seolah menahan Anjeli di tempat ini karena ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja berbunyi.

Panggilan masuk dari sang ibu. Segera Anjeli angkat panggilan tersebut seraya melenggang pergi dari hadapan Ghatan. Namun, baru saja selangkah kakinya berhenti tepat di samping pria yang berhasil membuat kewarasannya hilang. Sementara itu, Ghatan hanya duduk tenang dengan seulas senyum culas terukir di wajahnya.

"Ibu ... Kenapa menangis?" tanya Anjeli heran, dia mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Ekspresi wajahnya berubah drastis saat mendengar suara tangisan ibu yang kencang serta suara bentakan ayah yang terdengar murka. "Ayah..."

Disela-sela keresahan Anjeli yang kian mencuat dalam dirinya, Ghatan membuka suara tanpa peduli terhadap perasaan wanita berumur 25 tahun itu. "Sudah kubilang, ayo menikah." Dia menolehkan kepala, menyorot Anjeli seolah tak ingin lagi mendapat penolakan. "Jika kau setuju, maka utang keluargamu akan ku lunasi. Jangan hiraukan apa kata ayahku, anggap saja pernikahan ini sebagai bayaran untuk menyelamatkan keluargamu."

"Kau..." Wajahnya memerah, tanda darah naik sampai ke ubun-ubun. "Kau mempermainkan ku mentang-mentang memiliki uang!?" Suara Anjeli pecah, ia berteriak mengundang banyak pasang mata ke arahnya.

"Jangan terbawa perasaan. Bersikap realistis saja, ayahku tidak akan tinggal diam jika sudah marah seperti ini." Ghatan tetap tenang meskipun keadaan semakin memanas, bahkan dia tidak memedulikan tanda bahaya yang sudah Anjeli tunjukkan dari raut wajahnya. "Buktinya, keluargamu harus pergi dari rumah sekarang juga."

"Jangan mencari aku lagi. Bagaimana pun caranya aku akan melunasi utang-utang itu."

"Bagaimana membayarnya?" tanya Ghatan tak yakin Anjeli dapat melunasinya. "Bahkan gaji mu saja tidak cukup, kau yakin tidak akan menerima tawaranku?"

Anjeli menatap Ghatan tajam, kesabarannya telah habis.

"Satu hal lagi ... Malam ini, kau dan keluargamu akan tidur di mana?"

Ghatan memang sedang menguji kesabarannya. Tak peduli siapa pria ini, Anjeli hanya ingin menyelamatkan harga dirinya, dia tidak bisa diinjak-injak oleh sembarang orang sekalipun itu adalah Ghatan Prajanata.

"Apa pun yang kau katakan, aku tidak akan melakukannya!" Sambil mengacungkan jari tengahnya, Anjeli berkata seraya melenggang pergi dari hadapan Ghatan. "Menikah saja sana sendiri, pria tua!"

***

Anjeli turun dari taksi dengan tergesa-gesa, mengerahkan sisa tenaganya untuk berlari ke dalam rumah. Namun, kala kakinya baru saja menginjak pekarangan rumah, ia sudah disuguhi pemandangan yang tidak enak menimpa kedua orang tuanya.

"Tidak! Apa salah kami sampai harus meninggalkan rumah ini?"

"Jangan berani-berani menyentuh barang milik kami!"

"Ini rumah kami! Kalian semua tidak punya hak untuk mengusir kami dari sini!"

Rasanya kaki Anjeli tak mampu untuk menopang tubuhnya lagi. Ia kesulitan berjalan saat matanya dengan jelas menangkap barang-barang keluarganya dilempar dengan kasar ke luar rumah.

Dan yang paling menyakitkan adalah ketika Ibu mulai menangis dan Ayah dengan keras menghalangi orang-orang berjas hitam agar tidak mengeluarkan barang-barang dari dalam rumah. Namun usaha seolah mengkhianati hasil, dengan kasar pria berjas hitam itu mendorong Ayah sampai terjatuh ke tanah.

"Ayah!" Sontak Anjeli menjerit, berlari ke arah kedua orang tuanya dengan linang air mata. "Jangan bersikap kasar seperti ini pada orang tuaku!" bentak Anjeli pada pria berjas hitam itu, menatap mereka nyalang. "Ayah, apa Ayah tidak apa-apa? Ibu ... Ada apa ini sebenarnya?"

"Dasar anak tidak tahu diuntung!" Kalimat yang keluar dari mulut Ibu berhasil membuat dada Anjeli nyeri. Ia menatap tidak percaya ke arah sang Ibu, lantas menatap Ayah yang tampak menahan segala emosinya. "Sudah aku besarkan kau dengan kasih sayang, tapi balasannya seperti ini? Dasar anak kurang ajar!"

Plak!

Terpaku, terdiam beberapa saat setelah sebuah tamparan dari tangan yang selalu mengusap lembut surainya menyalurkan ketenangan kala Anjeli merasa gundah gulana. Kini, tangan penghantar ketenangan itu justru meninggalkan bekas merah di pipinya. Panas, rasanya sangat menyakitkan.

Air mata Anjeli mengalir menelusuri pipi. Perlahan ia menoleh ke arah sang Ibu dengan sorot mata tak percaya.

"Bicara apa kau kepada pak Presdir sampai-sampai kita diusir dari rumah ini? Mau tinggal dimana kita sekarang, hah!" Bentakannya kian lantang, menusuk gendang telinga selebihnya menyayat hati.

"Ibu ... Ke-kenapa bicara seperti itu?" Bibirnya bergetar, tatapannya menatap meminta pertolongan kepada sang Ayah.

"Anjeli! Cepat katakan dengan jujur apa yang kau katakan kepada pak Presdir!?"

Sang Ayah yang diharapkan akan membantunya dari pukulan Ibu, justru ikut membentaknya, memelototinya seolah Anjeli baru saja melakukan kesalahan besar.

"Huhuhu!" Ibu terjatuh ke tanah, tangisannya teramat pilu didengar oleh Anjeli. "Apa yang kau katakan pada pak Presdir sampai beliau mengusir kita dari rumah? An ... Ibu mohon, berlututlah di hadapannya sekarang juga."

Anjeli terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Ibu, jelas sekali ia tidak bisa mengabulkan permintaan Ibu yang satu ini. "Bagaimana bisa aku berlutut pada orang yang telah mengacaukan hidupku, Bu?"

"Kau bilang apa Anjeli? Mulutmu itu seolah tidak pernah disekolahkan oleh ku, padahal mati-matian aku mencari uang untuk menyekolahkan mu!" Dengan ringan Ayah menarik rambut Anjeli hingga terangkat ke atas. "Sekarang juga kau meminta ampun pada pak Presdir agar kita tidak diusir dari sini!"

"A-ayah ... Hiks ... S-sakit ..."

Tanpa ampun Ayah terus menyeret Anjeli dengan menarik rambutnya, membiarkan Anjeli tertatih-tatih mengejar langkahnya yang besar. Seolah tak menghiraukan tangisan Anjeli, Ayah terus menarik Anjeli dengan pandangan lurus ke depan.

"Aku minta maaf hiks ... Aku hanya meminta keadilan." Sambil terus terisak Anjeli mencoba menjelaskan. "A-aku tidak bisa bekerja jika pak Presdir berlaku tidak adil terhadapku ... Ayah, aku mohon tolong lepaskan ini sakit."

Tangan kecil Anjeli memegangi tangan Ayah, berharap tangan kekar itu lepas dari rambutnya.

"Bukan pak Presdir yang telah mengacaukan hidupmu, tapi dirimu sendiri!" Ayah berhenti melangkah, menatap Anjeli semakin tajam. "Jika bukan karena kami mungkin kau sudah mati!"

"Argh!"

Hampir saja Anjeli mendapat tamparan untuk yang kedua kalinya jika seseorang tidak segera menahan tangan Ayah.

"Apa aku harus melapor polisi atas kasus kekerasan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status