Share

Satu Atap Dengan Bos
Satu Atap Dengan Bos
Penulis: Najesa

BAB 1 - UTANG ORANG TUAKU

Brak!

Pintu ruangan Presdir GP Property dibuka dengan keras membuat sang pemilik ruangan spontan mengangkat kepala, kening yang berkerut menandakan ia marah dan tak terima dengan sikap lancang karyawannya.

"Ada apa ini?" tanyanya dengan nada dingin, memandang tajam sang karyawan seakan siap memecatnya sekarang juga.

Seolah tidak peduli dengan tatapan itu, karyawan yang berhasil menerobos masuk ke dalam ruangan Presdir meskipun sudah ditahan berakhir berdiri tepat di depan meja kebesaran bosnya. "Pak, apa maksud dari semua ini?" tanyanya seraya menyimpan secarik kertas di atas meja. "Apa bapak ingin mempermainkan saya di sini, dengan memotong setengah gaji saya untuk membayar utang orang tua saya?"

Pak Presdir—Gama langsung mengalihkan pandangan ke sembarang arah. "Hm, tanyakan langsung pada pimpinan, saya tidak tahu apa-apa."

"Pak!" Anjeli sudah menahan rasa kesalnya sejak tadi. "Bagaimana bisa saya percaya pada ucapan bapak? Sementara ini pimpinan sedang terbaring di rumah sakit karena koma!"

Seketika Gama berdiri dari duduknya, mengebrak meja dan menatap Anjeli penuh peringatan. "Jaga ucapanmu," bisik Gama kemudian berjalan tenang ke arah pintu yang terbuka lebar dimana para karyawan lain tengah menyaksikan keributan ini.

"Huh, apa anda sedang menyembunyikan keadaan pimpinan dari semua orang?" Anjeli mengernyit, tetapi kemudian menggeleng. "Saya tidak peduli, saya hanya ingin kejelasan tentang kontrak tersebut." Tunjuknya ke arah kertas itu lagi.

"Uh! Dasar anak kecil! Seharusnya kau bersyukur karena dapat pekerjaan setelah lulus kuliah." Gama menatap Anjeli kesal. "Dapat pekerjaan di perusahaan ini saja sudah sebuah keuntungan untukmu. Alih-alih protes tentang gajimu, lebih baik berterima kasih karena telah mempekerjakan mu di perusahaan ini."

Perusahaan dengan reputasi nomor satu di negeri ini.

GP Property.

Bekerja di perusahaan ini adalah sebuah keuntungan yang harus Anjeli syukuri. Jika bukan karena Gama mungkin sekarang Anjeli sedang mencari-cari pekerjaan itu.

Mendapat pekerjaan di era ini tentu tidak mudah, apalagi untuk orang seperti Anjeli yang tidak punya apa-apa. Beruntung Anjeli bisa langsung bekerja setelah lulus kuliah, berkat Presdir, bos orang tuanya yang sudah bekerja di bawahnya selama puluhan tahun.

Namun tetap saja, Anjeli merasa tidak adil dan dipermainkan jika kontrak kerjanya hanya disetujui oleh sebelah pihak.

"Tapi ini tidak adil untuk saya!"

"Jadi sekarang kau sedang membicarakan keadilan?" Gama berjalan ke arah kursinya lalu duduk kembali di sana. "Karena kau sudah besar, maka tugasmu sekarang adalah membalas budi orang tuamu."

Mata Anjeli membulat, "Apa maksud anda?"

Sebelum memberi jawabannya, Gama memanggil bawahannya untuk masuk ke dalam dan membawa Anjeli pergi dari sini.

Namun, bukan bawahan Gama yang masuk ke dalam ruangan ini melainkan sosok pria jangkung dengan setelan jas berwarna biru tua dengan garis wajahnya yang tegas.

Pria itu adalah pewaris tunggal GP Property, cucu satu-satunya yang akan mewarisi perusahaan nomor satu di negeri ini. Seseorang yang unggul, dengan kecerdasan dan kemampuan yang menonjol. Sosok pria yang didambakan oleh banyak wanita.

Ghatan Prajanata.

Dia berhenti tepat di ambang pintu begitu matanya menangkap keberadaan Anjeli. Sebelah tangannya terangkat, menahan bawahan Gama yang hendak menarik Anjeli keluar dari ruangan ini.

"Jangan biarkan siapapun masuk ke dalam sini." Suaranya begitu dingin, siapa pun yang mendengarnya tidak akan berani membantah.

"Tapi—baik, tuan muda." Pria itu menundukkan kepala, lantas menutup pintu setelah Ghatan melangkahkan kaki ke dalam.

"Ternyata sedang ada masalah kecil di sini," ucap Ghatan seraya menoleh ke arah Anjeli yang masih setia berdiri di hadapan Pak Presdir. "Ayah, ada sesuatu yang ingin aku katakan tentang perjodohan dengan putri perusahaan TK."

Tatapan Gama membuat Ghatan menarik sebelah sudut bibirnya. "Ah, apa aku mengatakannya di waktu yang tidak tepat?" Lalu ia tersenyum penuh makna ke arah Anjeli yang kini tidak bisa bergerak sedikit pun. "Tapi aku ingin mengatakannya sekarang."

Tidak ada yang bisa menghentikan anak keras kepala sekalipun itu adalah ayahnya sendiri, dan itu yang Gama rasakan sekarang. "Cukup disitu Ghatan, jangan membuatku bertambah marah karena masalahmu."

"Aku ingin membatalkan perjodohan itu." Ghatan tampak puas setelah mengatakan kalimat yang berhasil membuat urat-urat sang ayah menonjol.

"Apa kau gila!?"

Seperti sudah menebak apa yang akan ayahnya katakan, Ghatan hanya bersikap santai seperti tidak mendengar apa pun.

"Jangan membuat ulah, aku sudah pusing dengan masalah lain," ujarnya seraya melirik Anjeli. "Jika tidak ada yang ingin kaukatakan lagi cepat pergi." Gama mengurut kepalanya dan memejamkan mata menahan emosi.

Namun tidak sampai di situ, Ghatan kembali membuat pembuluh darah Gama naik.

"Aku tidak ingin melakukan pernikahan bisnis." Kali ini wajahnya tampak lebih serius. "Dan satu lagi, aku akan menikah dengan wanita lain."

Dan saat itu juga Anjeli bersitatap dengan Ghatan, hanya sedetik. Karena Anjeli langsung memalingkan wajahnya dari senyuman mengerikan itu. Senyuman yang seolah-olah akan membawa masalah jika Anjeli terus menatapnya.

'Mengapa dia terus menatapku seperti itu?'

"GHATAN!" teriak Gama murka. Menatap Ghatan mematikan.

Tepat saat Gama berteriak, para pengawal Ghatan yang sengaja disiapkan di luar ruangan masuk bersamaan. Melindungi Ghatan sebelum Gama melayangkan benda tajam ke arah anaknya sendiri.

"ARGH! SIALAN!" teriak Gama sambil terus berontak. "LEPASKAN AKU! JANGAN IKUT CAMPUR KALIAN PARA TIKUS!"

Anjeli syok.

"A-apa-apaan ini?" Dia ternganga di tempatnya tak mampu untuk bergerak jika seseorang tidak menyadarkannya.

"An, ayo keluar dari sini."

Dengan pikiran yang melayang entah kemana, Anjeli pasrah saat tangannya ditarik oleh sekretaris pelaksana yang bertugas untuk Gama. Hal terakhir yang Anjeli lihat sebelum pintu itu kembali tertutup adalah punggung lebar milik putra mahkota Prajanata.

Saat tiba di luar ruangan, Anjeli menatap sekretaris itu dengan penuh pertanyaan. "Apa yang terjadi antara pak Gama dengan putranya?"

Namun bukannya menjawab pertanyaan Anjeli, sekretaris—Sena—membawa Anjeli keluar dari kantor dengan ekspresi wajah gusar.

"Ada yang harus aku sampaikan padamu."

***

"Ini rincian utang orang tuamu yang harus kaubayar selama masa kontrakmu di perusahaan habis."

Anjeli menatap map berwarna merah itu dengan pikiran kosong, dia tidak habis pikir dengan pria tua bernama Gama yang adalah bos orang tuanya selama puluhan tahun.

Anjeli tertawa miris menyadari betapa lucunya takdir mempermainkannya seperti ini. "Memangnya orang tuaku melakukan apa sampai memiliki utang sebanyak itu?" Dia bertanya pada dirinya sendiri, tetapi sepertinya Sena menganggap pertanyaan itu ditanyakan kepadanya.

"Yuan, ayahmu itu adalah penjudi. Karena selalu kalah dalam permainan dia meminjam uang ke rentenir untung membayar utang-utangnya. Selain itu, biaya sekolahmu dan kakakmu ditanggung oleh Prajanata. Belum lagi biaya hidup keluargamu." Jawaban Sena yang tak Anjeli inginkan keluar dengan lancar seperti dijelaskan oleh sebuah robot, dan itu berhasil membuat Anjeli kembali mematung.

Apa mungkin hidup Anjeli akan hancur begitu saja? Dia pikir setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan hidupnya akan berjalan normal, tidak menyusahkan orang tuanya dan bisa membantu keluarganya.

Namun apa yang baru saja Anjeli hadapi? Ia harus membayar utang-utang orang tuanya kepada perusahaan Prajanata.

Dipikirkan sekeras apa pun, Anjeli merasa ini tidak benar.

"Apa mereka sedang mempermainkanku?" Rasanya seperti ada yang tidak beres. "Apa semua itu bisa disebut utang? Biaya sekolah? Biaya hidup? Hahaha, lucu sekali."

Dijatuhi masalah bertubi-tubi, Anjeli tidak dapat berpikir dengan baik.

"Ha-ha-ha, jangan-jangan selama aku menginjak lantai kediaman Prajanata juga dihitung sebagai utang."

Dia sudah putus asa.

Untuk apa Anjeli bekerja di bawah pimpinan Prajanata?

Dada Anjeli naik turun, rasanya sesak sampai ingin mati.

Gama.

Bos orang tuanya yang sangat licik, kejam, dan tidak punya rasa kemanusiaan. Dia rela melakukan apa pun demi kekuasaan. Hal yang paling disenanginya adalah ketika ia bisa mengendalikan hidup orang sepenuhnya, membuat hidup orang sengsara bak tinggal di neraka dunia.

Anjeli tahu betul bagaimana tabiat busuk pria tua itu. Bagaimana dia melihat Gama akan melempar guci ke arah Ghatan saja sudah ditebak jika dia memang pria gila.

"An..." Sena menatap Anjeli iba. "Bersabarlah, mungkin ini memang jalan yang terbaik untukmu."

Anjeli menatap Sena dengan sorot berkaca-kaca. "Selama bertahun-tahun orang tuaku bekerja di bawah Prajanata, apa itu masih kurang untuk membayar utang-utangnya?"

Selama ini hidup Anjeli dan keluarganya baik-baik saja, bahkan mereka memberi kesejahteraan bagi para pekerjanya.

Ibu yang adalah seorang pelayan di rumah utama Prajanata tampak tidak memiliki beban apa pun. Dan ayah yang adalah sopir pribadi Gama selalu tersenyum seolah hidupnya berjalan lancar.

"Kak Sena, aku harus apa?" tanya Anjeli bingung. "Apa aku harus tetap bekerja sebagai mesin pembayar utang di bawah kekuasaan Prajanata?"

Apa senyuman kedua orang tuanya selama ini palsu?

"Apa kau ingin lepas dari jerat ayahku?"

Suara berat seseorang berhasil membuat Anjeli dan Sena menoleh ke sumber suara. Pria yang Anjeli lihat beberapa waktu lalu di ruangan pak Presdir, terlihat sedikit berbeda dengan luka gores di keningnya.

"Pa-pak Ghatan?"

"Menikahlah denganku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status