Share

Bab 4

 

(Pov Tante Miranda)

 

Aku kesal pada Mas Damar, berasa di prank oleh suami sendiri, kukira mobil itu hadiah untukku, nyatanya malah untuk Zara.

 

"Maa, aku juga pengen mobil kaya si Zara," rengek Tiara membuatku makin pusing saja.

 

"Berisik, Tiara." Aku memijat kening.

 

Emangnya dia saja yang mau dikasih mobil, kukira menikah dengan seorang pengusaha akan mudah meminta apa saja, nyatanya Mas Damar tak semudah itu.

 

Padahal dahulu saat kami berpacaran diam-diam ia selalu membelikan apa yang kumau, tapi setelah menikah maka semuanya berubah, kalau aku meminta sesuatu maka ia pasti banyak mikir dulu.

 

"Pokoknya Mama harus minta mobil baru sama Ayah buat aku." Tiara menghentakkan kaki sambil cemberut.

 

Aku mendelik ke arahnya, dipikir minta mobil pada ayah tirinya itu semudah membalikan telapak tangan, apalagi Zara anak kesayangannya ada di sini sudah pasti aku dan Tiara makin tersisih.

 

"Pengen mobil baru." Tiara merengek lagi.

 

"Gini aja, kamu 'kan masih SMA nyetir juga belum bisa mending pakai motor Zara aja, ayahmu juga ngizinin tadi," ucapku berharap Tiara tenang.

 

Gadisku itu diam sambil cemberut.

 

"Motor Zara itu bagus kok ga terlalu buruk buat kamu." Aku merayu lagi.

 

"Ya udah deh, motor Zara juga ga apa-apa, dari pada ga punya kendaraan sama sekali." Tiara mencebik.

 

"Ok sekarang kamu tidur, besok pagi kita bicara sama anak songong itu, awas aja kalau ga dikasih."

 

***

 

Pukul tujuh pagi aku terbangun, aneka sarapan sudah terhidang di meja, ada bubur ayam kesukaan Tiara, roti roti bakar dan beberapa gelas susu menghiasi meja.

 

"Yah, Zara ke mana? kok ga sarapan?" tanyaku.

 

Sudah beberapa menit kutunggu kedatangannya ke ruang makan, tapi anak tengil itu tak muncul juga.

 

"Oh iya tadi pergi sama temennya, katanya ada acara kampus," jawab Mas Damar sambil ngunyah.

 

Aku melirik ke arah Tiara, gadisku itu nampak kesal. Wajah merengek dan kecewa.

 

"Acara apaan sih? jangan-jangan dia mau keluyuran ga jelas lagi," celetukku sambil ngunyah roti.

 

"Ga kok, Ayah percaya."

 

Aku mengerlingkan mata karena sebal, hati ini cemburu ketika Mas Damar begitu menyayangi Zara, sementara pada Tiara sikapnya acuh tak acuh, apalagi semenjak Zara ada di sini.

 

"Hati-hati loh dia itu anak gadis," celetukku.

 

"Zara itu udah dewasa, Ma."

 

Sebel, lagi-lagi Mas damar membela anak tengil itu, aku maunya mereka berselisih paham, lalu bertengkar kemudian anak itu pergi dari rumah ini ikut ibunya.

 

"Ma, motornya," sahut Tiara membuatku dan Mas Damar melirik.

 

"Kasih aja ya, Mas, motor bekas Zara ke Tiara, kasihan tahu, mending kalau Mas mau beliin yang baru." Aku mendelik.

 

Kesal dengan sikap Mas Damar yang seolah tak peduli pada Tiara, mentang-mentang anak tiri. Oleh ayah kandung ia dilupakan, sama ayah tiri pun ia tersisihkan.

 

"Ya udah kalau Zara ngijinin ya silakan," jawabnya enteng.

 

"Ya udah deh, Ma, ambil sekarang aja yuk ke garasi," ucap Tiara tak sabar.

 

Aku pun pergi meninggalkan Mas Damar yang sedang asyik makan menuju garasi, sesampainya di sana aku terkejut ternyata motor Zara tak ada.

 

"Loh motornya ke mana, Ma?" tanya Tiara putus asa.

 

"Pasti dibawa pergi sama ank tengil itu, ngapain coba punya mobil baru kalau motor itu masih dibawa-bawa, dasar anak serakah!" sungutku sambil berkacak pinggang.

 

Tiara menghentakkan kaki dengan kesal. "Pokoknya aku ga mau sekolah kalau ga pakai motor itu."

 

Aku makin emosi mendengar anak keras kepala ini.

 

"Ga boleh gitu dong, Ra. Kamu pergi aja ke sekolah ya motor ini biar Mama yang urus." Aku berusaha tenang.

 

"Ga mau!" tegas Tiara, lalu berlari ke dalam bukannya pergi sekolah.

 

Tak berselang lama Mas Damar ke garasi hendak mengambil mobil untuk dipakai ke kantornya.

 

"Duit Ayah 'kan banyak, beliin Tiara motor ya, dia ngambek tuh ga mau sekolah," ucapku menahan jengkel.

 

"Ma, Tiara itu masih SMA belum punya SIM, Ayah takut kenapa-napa kalau dia bawa motor, bahaya tahu, udah ya kalau sudah waktunya nanti Ayah beliin." Mas Damar mengelus lenganku.

 

"Tapi 'kan Tiara udah pandai bawa motor, Yah, jangan banyak alasan deh."

 

Aku melipat tangan di dada sambil cemberut, satu bulan menikah baru tahu sifat aslinya ternyata pelit bin medit.

 

"Mama tuh aneh ya, ga takut apa anakmu ini kecelakaan." Mas Damar geleng-geleng kepala.

 

"Pokoknya Mama ga mau tahu beliin Tiara motor!" tegasku dengan tatapan tajam.

 

"Kok Mama maksa sih, Tiara itu 'kan masih punya ayah kandung, minta aja sama dia, udah untung Ayah kasih makan dan biayai sekolahnya," balas Mas Damar ketus.

 

Menyebalkan sekali punya suami, aku tak mengerti kenapa ia bisa perhitungan padaku dan Tiara, padahal kemarin ia tak mempermasalahkan apapun kalau kami belanja menghabiskan uangnya.

 

Semenjak ada Zara semuanya berubah, pasti dia yang meracuni otak Mas Damar agar tak memperdulikan anakku lagi.

 

"Oh jadi sekarang mulai itung-itungan ya, Ayah 'kan udah janji mau anggap anakku kaya anakmu juga, mana janjimu!" tegasku sambil melotot.

 

Mas Damar berdecak.

 

"Anakmu tiap hari makan enak, tidur nyaman, bisa sekolah di tempat bagus, itu siapa yang biayain?!" Mas Damar balik ngegas.

 

"Kalau Ayah ga nganggap Tiara kaya anak kandung ga mungkin aku mau ngasih dia makan, sekolahin tempat yang bagus, Mama tuh ga bersyukur ya, ga kaya Naima." 

 

Lelaki yaang berjas hitam itu lantas masuk ke dalam mobil sambil cemberut, yang membuat emosiku naik adalah saat ia menyebut nama mantan istrinya, Naima.

 

"Ayah berangkat dulu ya, Ma. Jangan marah, nanti kalau sudah waktunya Ayah akan belikan Tiara motor, nunggu dia lulus dulu," ucap Mas Damar lalu melajukan mobil.

 

Tak kutanggapi ucapannya itu, gegas masuk ke dalam rumah menahan kesal, aku berbalik badan saat mendengar suara pintu terbuka.

 

"Dari mana kamu pagi-pagi udah pergi?" tanyaku ketus.

 

Kalau tak ada butuh malas sebenarnya menyapa anak tengil itu.

 

"Bukan urusan situ keles," jawab Zara tak sopan.

 

Emosiku makin tertantang dibuatnya.

 

"Mana kunci motormu." Aku menengadah.

 

"Hah motor." Zara menaikan sebelah alis.

 

"Iya motor kamu, Ayah yang bilang kalau motor itu buat Tiara, siniin kuncinya."

 

"Oh, motornya udah ga ada," jawab Zara enteng.

 

"Ga usah bohong, siniin cepet!" tegasku sambil melotot.

 

"Motornya udah aku sumbangin ke fakir miskin." Zara mendelikkan mata lalu masuk ke kamarnya, padahal aku belum selesai bicara.

 

"Maa, kok uang jajan aku belum ditransfer sih sama Ayah?" tanya Tiara yang datang dari arah belakangku.

 

"Masa sih? tanggal segini harusnya udah ditransfer 'kan." Aku mulai panik.

 

Tiba-tiba Zara keluar lagi sambil cengengesan, entahlah anak itu menertawakan apa. Segera aku mengambil ponsel di kamar lalu menelpon Mas Damar.

 

"Iya, Ma, kenapa?" tanyanya begitu telpon tersambung.

 

"Uang jajan Tiara kok belum ditransfer, Yah?" 

 

"Oh iya Ayah lupa ngasih tahu Mama, mulai sekarang Tiara ga usah dikasih uang bulanan aja, dulu juga Zara gitu pas SMA."

 

Aku makin emosi mendengarnya, otakku berputar apakah ini ada hubungannya dengan Zara?

 

"Ga bisa gitu dong, Yah, kasihan Tiara kebutuhannya gimana? uang jajan sekolahnya gimana?" tanyaku ngegas.

 

"Ya kalau uang saku sekolah kasih aja sama Mama lima puluh sehari, anak itu jangan dikasih pegangan uang, entar dia males, Zara dulu juga begitu pas SMA."

 

Kepalaku terasa diinjak-injak jika begini, kenapa Zara yang jadi tolak ukur? ini pasti kerjaan anak tengil itu, awas kau, Zara! Aku pasti akan membalas semua ini

 

"Mama ga terima ya Tiara diginiin, pokoknya kasih Tiara uang bulanan kalau engga mending kita pisah aja."

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status