Share

Bab 4

Author: Ina Qirana
last update Last Updated: 2022-08-12 16:01:22

 

(Pov Tante Miranda)

 

Aku kesal pada Mas Damar, berasa di prank oleh suami sendiri, kukira mobil itu hadiah untukku, nyatanya malah untuk Zara.

 

"Maa, aku juga pengen mobil kaya si Zara," rengek Tiara membuatku makin pusing saja.

 

"Berisik, Tiara." Aku memijat kening.

 

Emangnya dia saja yang mau dikasih mobil, kukira menikah dengan seorang pengusaha akan mudah meminta apa saja, nyatanya Mas Damar tak semudah itu.

 

Padahal dahulu saat kami berpacaran diam-diam ia selalu membelikan apa yang kumau, tapi setelah menikah maka semuanya berubah, kalau aku meminta sesuatu maka ia pasti banyak mikir dulu.

 

"Pokoknya Mama harus minta mobil baru sama Ayah buat aku." Tiara menghentakkan kaki sambil cemberut.

 

Aku mendelik ke arahnya, dipikir minta mobil pada ayah tirinya itu semudah membalikan telapak tangan, apalagi Zara anak kesayangannya ada di sini sudah pasti aku dan Tiara makin tersisih.

 

"Pengen mobil baru." Tiara merengek lagi.

 

"Gini aja, kamu 'kan masih SMA nyetir juga belum bisa mending pakai motor Zara aja, ayahmu juga ngizinin tadi," ucapku berharap Tiara tenang.

 

Gadisku itu diam sambil cemberut.

 

"Motor Zara itu bagus kok ga terlalu buruk buat kamu." Aku merayu lagi.

 

"Ya udah deh, motor Zara juga ga apa-apa, dari pada ga punya kendaraan sama sekali." Tiara mencebik.

 

"Ok sekarang kamu tidur, besok pagi kita bicara sama anak songong itu, awas aja kalau ga dikasih."

 

***

 

Pukul tujuh pagi aku terbangun, aneka sarapan sudah terhidang di meja, ada bubur ayam kesukaan Tiara, roti roti bakar dan beberapa gelas susu menghiasi meja.

 

"Yah, Zara ke mana? kok ga sarapan?" tanyaku.

 

Sudah beberapa menit kutunggu kedatangannya ke ruang makan, tapi anak tengil itu tak muncul juga.

 

"Oh iya tadi pergi sama temennya, katanya ada acara kampus," jawab Mas Damar sambil ngunyah.

 

Aku melirik ke arah Tiara, gadisku itu nampak kesal. Wajah merengek dan kecewa.

 

"Acara apaan sih? jangan-jangan dia mau keluyuran ga jelas lagi," celetukku sambil ngunyah roti.

 

"Ga kok, Ayah percaya."

 

Aku mengerlingkan mata karena sebal, hati ini cemburu ketika Mas Damar begitu menyayangi Zara, sementara pada Tiara sikapnya acuh tak acuh, apalagi semenjak Zara ada di sini.

 

"Hati-hati loh dia itu anak gadis," celetukku.

 

"Zara itu udah dewasa, Ma."

 

Sebel, lagi-lagi Mas damar membela anak tengil itu, aku maunya mereka berselisih paham, lalu bertengkar kemudian anak itu pergi dari rumah ini ikut ibunya.

 

"Ma, motornya," sahut Tiara membuatku dan Mas Damar melirik.

 

"Kasih aja ya, Mas, motor bekas Zara ke Tiara, kasihan tahu, mending kalau Mas mau beliin yang baru." Aku mendelik.

 

Kesal dengan sikap Mas Damar yang seolah tak peduli pada Tiara, mentang-mentang anak tiri. Oleh ayah kandung ia dilupakan, sama ayah tiri pun ia tersisihkan.

 

"Ya udah kalau Zara ngijinin ya silakan," jawabnya enteng.

 

"Ya udah deh, Ma, ambil sekarang aja yuk ke garasi," ucap Tiara tak sabar.

 

Aku pun pergi meninggalkan Mas Damar yang sedang asyik makan menuju garasi, sesampainya di sana aku terkejut ternyata motor Zara tak ada.

 

"Loh motornya ke mana, Ma?" tanya Tiara putus asa.

 

"Pasti dibawa pergi sama ank tengil itu, ngapain coba punya mobil baru kalau motor itu masih dibawa-bawa, dasar anak serakah!" sungutku sambil berkacak pinggang.

 

Tiara menghentakkan kaki dengan kesal. "Pokoknya aku ga mau sekolah kalau ga pakai motor itu."

 

Aku makin emosi mendengar anak keras kepala ini.

 

"Ga boleh gitu dong, Ra. Kamu pergi aja ke sekolah ya motor ini biar Mama yang urus." Aku berusaha tenang.

 

"Ga mau!" tegas Tiara, lalu berlari ke dalam bukannya pergi sekolah.

 

Tak berselang lama Mas Damar ke garasi hendak mengambil mobil untuk dipakai ke kantornya.

 

"Duit Ayah 'kan banyak, beliin Tiara motor ya, dia ngambek tuh ga mau sekolah," ucapku menahan jengkel.

 

"Ma, Tiara itu masih SMA belum punya SIM, Ayah takut kenapa-napa kalau dia bawa motor, bahaya tahu, udah ya kalau sudah waktunya nanti Ayah beliin." Mas Damar mengelus lenganku.

 

"Tapi 'kan Tiara udah pandai bawa motor, Yah, jangan banyak alasan deh."

 

Aku melipat tangan di dada sambil cemberut, satu bulan menikah baru tahu sifat aslinya ternyata pelit bin medit.

 

"Mama tuh aneh ya, ga takut apa anakmu ini kecelakaan." Mas Damar geleng-geleng kepala.

 

"Pokoknya Mama ga mau tahu beliin Tiara motor!" tegasku dengan tatapan tajam.

 

"Kok Mama maksa sih, Tiara itu 'kan masih punya ayah kandung, minta aja sama dia, udah untung Ayah kasih makan dan biayai sekolahnya," balas Mas Damar ketus.

 

Menyebalkan sekali punya suami, aku tak mengerti kenapa ia bisa perhitungan padaku dan Tiara, padahal kemarin ia tak mempermasalahkan apapun kalau kami belanja menghabiskan uangnya.

 

Semenjak ada Zara semuanya berubah, pasti dia yang meracuni otak Mas Damar agar tak memperdulikan anakku lagi.

 

"Oh jadi sekarang mulai itung-itungan ya, Ayah 'kan udah janji mau anggap anakku kaya anakmu juga, mana janjimu!" tegasku sambil melotot.

 

Mas Damar berdecak.

 

"Anakmu tiap hari makan enak, tidur nyaman, bisa sekolah di tempat bagus, itu siapa yang biayain?!" Mas Damar balik ngegas.

 

"Kalau Ayah ga nganggap Tiara kaya anak kandung ga mungkin aku mau ngasih dia makan, sekolahin tempat yang bagus, Mama tuh ga bersyukur ya, ga kaya Naima." 

 

Lelaki yaang berjas hitam itu lantas masuk ke dalam mobil sambil cemberut, yang membuat emosiku naik adalah saat ia menyebut nama mantan istrinya, Naima.

 

"Ayah berangkat dulu ya, Ma. Jangan marah, nanti kalau sudah waktunya Ayah akan belikan Tiara motor, nunggu dia lulus dulu," ucap Mas Damar lalu melajukan mobil.

 

Tak kutanggapi ucapannya itu, gegas masuk ke dalam rumah menahan kesal, aku berbalik badan saat mendengar suara pintu terbuka.

 

"Dari mana kamu pagi-pagi udah pergi?" tanyaku ketus.

 

Kalau tak ada butuh malas sebenarnya menyapa anak tengil itu.

 

"Bukan urusan situ keles," jawab Zara tak sopan.

 

Emosiku makin tertantang dibuatnya.

 

"Mana kunci motormu." Aku menengadah.

 

"Hah motor." Zara menaikan sebelah alis.

 

"Iya motor kamu, Ayah yang bilang kalau motor itu buat Tiara, siniin kuncinya."

 

"Oh, motornya udah ga ada," jawab Zara enteng.

 

"Ga usah bohong, siniin cepet!" tegasku sambil melotot.

 

"Motornya udah aku sumbangin ke fakir miskin." Zara mendelikkan mata lalu masuk ke kamarnya, padahal aku belum selesai bicara.

 

"Maa, kok uang jajan aku belum ditransfer sih sama Ayah?" tanya Tiara yang datang dari arah belakangku.

 

"Masa sih? tanggal segini harusnya udah ditransfer 'kan." Aku mulai panik.

 

Tiba-tiba Zara keluar lagi sambil cengengesan, entahlah anak itu menertawakan apa. Segera aku mengambil ponsel di kamar lalu menelpon Mas Damar.

 

"Iya, Ma, kenapa?" tanyanya begitu telpon tersambung.

 

"Uang jajan Tiara kok belum ditransfer, Yah?" 

 

"Oh iya Ayah lupa ngasih tahu Mama, mulai sekarang Tiara ga usah dikasih uang bulanan aja, dulu juga Zara gitu pas SMA."

 

Aku makin emosi mendengarnya, otakku berputar apakah ini ada hubungannya dengan Zara?

 

"Ga bisa gitu dong, Yah, kasihan Tiara kebutuhannya gimana? uang jajan sekolahnya gimana?" tanyaku ngegas.

 

"Ya kalau uang saku sekolah kasih aja sama Mama lima puluh sehari, anak itu jangan dikasih pegangan uang, entar dia males, Zara dulu juga begitu pas SMA."

 

Kepalaku terasa diinjak-injak jika begini, kenapa Zara yang jadi tolak ukur? ini pasti kerjaan anak tengil itu, awas kau, Zara! Aku pasti akan membalas semua ini

 

"Mama ga terima ya Tiara diginiin, pokoknya kasih Tiara uang bulanan kalau engga mending kita pisah aja."

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   TAMAT

    Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   46.B

    Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 46.A

    (POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 45

    (POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 44

    (POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 43

    "Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status