Share

Bab 5

 

 

Tak kuasa menahan tawa saat melihat Tante Miranda marah-marah pada ayah lewat telpon, dari balik pintu kamarnya aku menguping kalau dia sedang membujuk ayah untuk memberikan anaknya uang jajan dan motor baru.

 

Sebenarnya motor lamaku itu sudah dijual ke Farah--teman terbaikku-- sedangkan uangnya aku berikan pada bunda, enak saja mau dikasih ke Tiara, emang dia siapa?

 

Teringat malam tadi habis-habisan aku menghasut ayah.

 

***

 

"Tiara itu anak orang, ngapain Ayah bela-belain segalanya buat dia, suatu saat Ayah bakal rugi," ucapku saat kami ngobrol di luar.

 

"Rugi?" Ayah merenung

 

Dalam hati aku bersorak melihat Ayah mulai terhasut omonganku.

 

"Iya rugi, coba bayangin Ayah sekolahkan dia tinggi-tinggi, kasih uang bulanan gede, mau ini itu diturutin, eh giliran dia berhasil dan sukses malah pulang ke bapak kandungnya, Ayah pasti ngenes nanti."

 

Ayah merenung menatap ke depan sana, melihat kendaraan roda empat lewat berlalu lalang.

 

"Aku tuh kasihan aja sama Ayah makanya ngomong gini, bukan ngajarin pelit sih, tapi aku cuma pengen Ayah mikir lagi gitu, Tiara itu masih punya bapak, keenakan bapaknya dong."

 

Masih belum puas aku terus bicara lagi, hingga ayah terlihat duduk tak nyaman.

 

***

 

"Dasar sial*n! Anak tengil! Pasti itu gara-gara dia, aargh!" Terdengar Tante Miranda marah-marah.

 

Tak berselang lama terdengar suara langkah kaki mendekat, aku buru-buru sembunyi karena sepertinya Tiara akan masuk ke kamar kuntilanak itu.

 

"Gimana, Ma? apa kata Ayah?" tanya Tiara, aku berhasil nguping lagi dekat pintu.

 

"Apa kata Ayah, Ma?! Malah diem lagi!" Tiara membentak ibunya.

 

"Kata Ayah kamu ga bakal dikasih uang bulanan lagi mulai sekarang," jawab Tante Miranda seperti putus asa.

 

"Apa?!" Tiara berteriak, sementara hatiku bersorak.

 

Rasakan itu benalu! Kalian pikir merebut ayahku dari bunda akan hidup enak, takkan semudah itu kali.

 

"Berisik!" Tante Miranda pun ikutan teriak.

 

"Kok bisa Ayah ga ngasih uang bulanan buat aku? terus aku gimana, Ma? uang jajan sekolah, beli kebutuhan ini itu, Mama bujuk Ayah dong jangan diem aja." Anak manja itu terdengar panik.

 

"Udahlah kamu tenang aja, barusan Mama udah ngancem ayahmu, kalau ga ngasih kamu uang bulanan lagi maka Mama akan minta pisah," celetuk Tante Miranda.

 

Mulutku menganga sambil mikir, kuntilanak ini nekad juga ya, kalau kuhasud ayah buat menceraikannya 'kan dia sendiri yang repot, miskin lagi dong nanti.

 

Aku buru-buru pergi ke kantor ayah, untung pagi ini tak ada jam kuliah. Sambil nyetir aku menelpon bunda untuk menunda rencana jalan-jalan kami, untungnya bunda tak mempermasalahkan hal itu.

 

"Loh, kok ke sini, Ra?" tanya Ayah saat aku membuka pintu ruang kerjanya.

 

"Jam kuliah aku nanti siang, Yah, aku mampir ke sini dulu deh," jawabku lalu duduk di sofa.

 

Ayah berdiri lalu menghampiri dan duduk di sampingku, dari sorot matanya dapat kubaca jika ia sedang kebingungan.

 

"Mama kamu, Ra, ngancem Ayah minta pisah kalau Ayah ga ngasih uang bulanan ke Tiara, gimana ya?" tanya Ayah.

 

Bibirku menyeringai diam-diam, baguslah sekarang ia sudah memposisikan aku bukan hanya seorang anak melainkan tempat curhat, kalau begini aku jadi mudah menghasutnya.

 

"Kok Tante Miranda gitu banget sih, Yah, ga dewasa, kek anak kecil." Aku berdecak sambil geleng-geleng kepala.

 

"Itu dia, Ra. Ayah udah janji sama kamu 'kan ga akan kasih Tiara uang bulanan lagi."

 

Ayah pun diam sambil merenung, hatiku sedikit pedih karena teringat bunda, wanita hebat itu tak pernah bersikap seperti ini pada ayah.

 

Ia wanita yang pengertian sekaligus peduli perasaan suami, kenapa wanita sebaik bunda harus dikhianati?

 

"Kalau gitu Ayah harus tegas jangan mau ditindas istri, baru nikah satu bulan aja udah begitu gimana nanti, bisa-bisa dia minta semua harta Ayah terus Ayah ditendang dan dia cari lelaki lain," ucapku menghasut lagi.

 

Ayah terlihat mengusap wajahnya perlahan. Sebagai anak tentu aku tak rela melihat ayah dan gundiknya bahagia, dan sebagai anak aku sangat ingin mereka kembali bersama.

 

"Ingat bunda?" tanyaku dan ayah menoleh.

 

"Ayah tahu 'kan dari dulu pas zaman kita lagi susah dia ga pernah nuntut ini itu sama Ayah, bahkan dia support Ayah, cuma nasibnya aja yang ga bagus." 

 

Aku pura-pura sedih, dari sudut mata kulihat ayah menoleh dengan wajah sendu, lihat saja akan aku porak-porandakan keutuhan rumah tangganya bersama wanita perusak itu.

 

"Waktu susah dia support Ayah mati-matian, pas udah sukses malah wanita lain yang menikmati, untung bunda orangnya penyabar."

 

Aku melirik ayah dengan pandangan tegas.

 

"Percaya sama aku ga ada wanita yang kaya bunda."

 

"Ayah tahu apa yang harus dilakukan, Ra." Lelaki berkumis tipis itu mangut-mangut.

 

Cukup lama kami duduk berdua dalam diam, ayah sibuk dengan pekerjaan sedangkan aku sibuk main ponsel.

 

Tak lama waktu jam kuliah tiba, aku langsung pamit pada ayah lalu pergi ke kampus.

 

***

Pulang dari kampus aku mampir ke rumah bunda, hal yang harus kulakukan untuk meminimalisir rasa bersalah di hati karena memilih tinggal dengan ayah.

 

Langkahku terhenti karena mendengar suara seseorang, dari cemprengnya dapat kutebak jika itu suara Tante Miranda.

 

Aku jadi deg-degan takut ia melakukan sesuatu terhadap bunda.

 

"Kamu masih ngarep 'kan sama Mas Damar, makanya kamu nyuruh anakmu itu untuk tinggal sama kami." Tak salah lagi itu suara Tante Miranda.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Aku jadi deg degan takut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status