"Ngapain Tante di sini?" tanyaku sambil menyeringai "Lucu ya, ada pelakor yang ngelabrak istri sah." Aku melipat tangan di dada.Kulirik wajah bunda masih terlihat tenang seolah tak terusik, lain lagi dengan wajah Tante Miranda yang tampak menegang."Kebetulan anaknya ada, silakan Mbak nasihati dia agar jangan merusak kenyamanan orang." Tante Miranda menatapku penuh amarah."Apa apa? aku merusak kenyamanan orang? bukannya situ yang ngerusak rumah tangga orang," balasku dengan tatapan jijik.Tante Miranda menghirup udara dengan susah payah, rahang yang tirus itu pun menengang, kalau begini aku jadi tambah semangat membuat emosinya makin meradang."Kamu 'kan yang hasut Ayah supaya ga ngasih uang bulanan ke Tiara?!" Tante Miranda menunjuk wajahku."Dan kamu juga yang ngelarang ayah beliin motor buat Tiara 'kan!""Jangan sembarangan kalau nuduh, situ punya bukti ga," balasku makin ngotot."Ayah juga punya otak kali, ngapain repot-repot biayain anak orang, Tiara masih punya bapak kandung
(POV MIRANDA)"Gue ga takut!" tegas Zara dengan suara pelan.Ingin sekali aku menerkam anak songong itu, jika ia tak bicara sudah pasti mobil baru berhasil kudapatkan, memang anak menyebalkan.Usai puas membuat moodku hancur berantakan, anak itu langsung melangkah ke kamarnya dengan santai, andai ini di hutan sudah pasti aku berikan ia pada hewan buas.Sambil mengurai napas aku berjalan menuju kamar, akan kubujuk Mas Damar sebisa mungkin."Mas, kamu ga sayang ya sama aku?" tanyaku dengan suara lemah, kalau dengan kekerasan yang ada ia malah makin keras.Mas Damar yang sedang duduk membelakangiku menoleh."Bukan ga sayang, tapi aku mau Mama jangan sombong, apalagi labrak-labrak Naima."Lagi-lagi wanita itu, aku jadi curiga jangan-jangan suamiku ini masih mencintai mantannya? oh tidak! Jangan sampai itu terjadi."Iya iya maaf, Mama ga labrak kok, Zara aja yang ceritanya dilebih-lebihkan." Aku duduk di dekatnya lalu menyenderkan kepala di pundak Mas Damar."Tapi kamu ga boleh ganggu Naim
Aku pura-pura menelpon seseorang sambil tertawa cekikikan, sengaja agar gelagatku ini tak terlalu dicurigai Tante Miranda.Ya, akulah yang menghasut ayah agar membelikan si gundik itu mobil bekas, kebetulan ibunya Farah akan menjual mobilnya, kukatakan saja pada ayah, dan senangnya ia setuju dengan usulku."Tante Miranda itu bakal sombong kalau dikasih mobil baru, gini aja coba kasih dulu dia mobil bekas, kalau dia bersyukur dan berterima kasih berarti Tante Miranda sudah menghilangkan sifat sombongnya," ucapku pada suatu malam.Ayah terlihat merenung, aku tahu betul ia tak suka punya istri yang sombong dan tinggi hati, tak hanya itu ayah juga seseorang yang sangat hemat, kalau ingin membeli apapun pasti harus dipertimbangkan."Betul juga ya, kalau Mamamu ga protes nanti Ayah beliin yang baru," jawabnya sambil manggut-manggut.Aku menyeringai tipis ternyata mudah juga menghasut ayah, tapi yang lebih menyebalkan ia juga mudah ditaklukkan wanita perusak itu."Iya gitu aja, Yah, bunda ju
(POV BUNDA NAIMA)Mataku seolah enggan berpaling saat melihat sosok lelaki sedang duduk di dalam mobilnya, ia menatapku, aku pun menatapnya, seketika waktu terasa berhenti hingga kekacauan terjadi.Miranda, wanita yang sudah merusak keluarga kami datang marah-marah pada suaminya, memang tak tahu malu, ia selalu curiga padaku seolah aku akan merebut Mas Damar lagi.Begitulah jika dapat suami hasil merebut, sepanjang waktu kita akan dihantui ketakutan."Bagus kamu ya, di rumah ada masalah malah datang ke sini?!" teriak Miranda"Apa-apaan sih, ayo pulang! Bikin malu aja!" Mas Damar pun melawan sambil menarik tangan Miranda masuk ke mobil di belakangnya.Aku ingin masuk karena malas melihat pertengkaran mereka . Namun, niat itu diurungkan saat melihat mobil Zara parkir di sebrang sana, aku melambaikan tangan padanya agar kemari menghampiri.Zara memarkirkan mobilnya di sebrang sana lalu ia dan temannya menyebrang menghampiriku."Ayah ngapain di sini?""Kamu! Kamu senang 'kan kita bertengk
(POV ZARA)"Miranda ... Miranda harus mati, dia jahat! Gara-gara dia Dina meninggal, Miranda wanita luknut!" ucapnya lagi dengan mata membeliak dan napas ngos-ngosan.Aku tercenung menatap Om Burhan menyebut-nyebut Tante Miranda, apakah yang ia maksud itu Miranda gundik ayah? atau Miranda yang lain?"Naima, panggil suster," titah Nenek, bunda pun mengangguk lalu keluar "Miranda ... semua gara-gara Miranda!" Om Burhan menangis sambil menjambak rambutnya yang mulai gondrong."Burhan, tenanglah, Nak," ucap Nenek sambil mengelus punggungnya, tapi Om Burhan masih meracau menyebut nama Miranda.Aku dan Jessica disuruh keluar, sementara bunda dan nenek masih di dalam ngobrol dengan dokter berkerudung itu.Di sampingku Jessica duduk sambil melamun, kasihan juga dengan gadis menginjak remaja ini, sejak dua tahun lalu ia sudah kehilangan ibunya, lalu disusul ayahnya yang menderita depresi."Kamu laper ga, Jes? jajan yuk," ajakku."Ga ah, Kak, kita nunggu Nenek aja di sini," jawab Jessica denga
Aku menghirup napas dalam-dalam dengan rahang mengeras, lalu menatapnya dengan pandangan menantang."Bangga banget lo jadi anak pelakor?"Ia mengibaskan rambutnya ke belakang, hingga aroma shampo tercium olehku."Kalau gue jadi lo sih duh pasti malu banget. Camkan ya, bunda gue itu ga murahan, dia bisa dandan, tapi dandannya hanya dilihat sama suaminya, ga kaya nyokap lo kemana-mana umbar aurat.""Menjijikkan banget sih manusia kaya kalian itu, bisa tenang makan dan tidur dari hasil ngerebut suami orang." Aku menyunggingkan senyum lalu masuk kamar."Dasar Mak lampir!" Terdengar Tiara mengumpat****Hari demi hari kulalui di rumah ini, tak dapat dipungkiri tinggal satu atap dengan gundik ayah membuatku kadang stres dan tertekan, dan selama beberapa bulan ini berbagai macam usaha kulakukan untuk membuat retak hubungan ayah dan gundiknya Namun, yang membuatku jengah adalah ayah selalu baikan dengan Tante Miranda sekalipun mereka bertengkar hebat.Hubungan mereka bagaikan sebuah karang d
"Apa? Burhan mau ke rumahmu?" tanya bunda sambil menengadah menatap ayah."Iya, dia ga bisa datang ke acara wisuda Zara makanya datang ke rumah, tapi anterin Bundamu dulu gapapa, biar Ayah pulang duluan.""Ya udah kita pulang aja yuk, Bun, aku mau ketemu Om Burhan, sama Jessi 'kan ke rumahnya?" tanyaku semangat, semoga kuntilanak itu ada di rumah.Ayah berdiri sambil meraih kunci mobil. "Ga tahu tuh kalau Jessi, ya udah kalian berdua aja, Ayah duluan ya."Usai menghabiskan makanan aku pulang mengantarkan bunda ke grosirnya, setelah itu aku balik arah menuju rumah.****"Kak Zaraaa!" teriak Jessi saat turun dari mobilnya.Semenjak ayahnya sembuh dari penyakit kejiwaan anak itu berubah menjadi periang dan sering bercanda, gairah hidupnya telah kembali."Rambut baru ya?" tanyaku saat ia mencium punggung tanganku.Rambut anak itu dipotong pendek sebahu, membuat wajah bulatnya makin kentara, bukan hanya periang tapi sekarang tubuh Jesica sudah mulai berisi."Iya baru dipotong, bagus 'kan?"
"Kenal sih engga 'kan belum ketemu." Om Burhan terkekeh.Aku mendelik, ga jelas banget sih, apa jangan-jangan penyakit jiwanya itu belum sembuh total lagi?"Han, makan yuk, makanan udah pada mateng tuh," ucap ayah menghampiri kami."Masih kenyang, Mas," jawab Om Burhan."Tapi Jessi laper, temenin makan yuk, Kak," sahut Jesica sambil memegang perutnya.Aku terpaksa berdiri. "Ya udah ayok, tapi Kakak ga makan masih kenyang soalnya."Sambil menemani Jesica makan aku berselancar di aplikasi WhatsApp, melihat story' dan tak sengaja aku melihat status Tiara.Ternyata ia sedang belanja di sebuah mall terbesar di kota ini, di poto itu nampak Tiara sedang berdiri dan tersenyum menjinjing paper bag sebuah brand ternama.Sial*n! Berani-beraninya ia belanja barang mewah menggunakan uang ayah, aku saja anak kandungnya mikir lagi kalau mau belanja barang branded.Poto kedua menunjukkan Tante Miranda sedang tersenyum di sebuah restoran, di hadapannya tersaji makanan yang berharga fantastis.Geram, a