Share

Bab 5

Author: Ina Qirana
last update Last Updated: 2022-08-12 16:02:20

 

 

Tak kuasa menahan tawa saat melihat Tante Miranda marah-marah pada ayah lewat telpon, dari balik pintu kamarnya aku menguping kalau dia sedang membujuk ayah untuk memberikan anaknya uang jajan dan motor baru.

 

Sebenarnya motor lamaku itu sudah dijual ke Farah--teman terbaikku-- sedangkan uangnya aku berikan pada bunda, enak saja mau dikasih ke Tiara, emang dia siapa?

 

Teringat malam tadi habis-habisan aku menghasut ayah.

 

***

 

"Tiara itu anak orang, ngapain Ayah bela-belain segalanya buat dia, suatu saat Ayah bakal rugi," ucapku saat kami ngobrol di luar.

 

"Rugi?" Ayah merenung

 

Dalam hati aku bersorak melihat Ayah mulai terhasut omonganku.

 

"Iya rugi, coba bayangin Ayah sekolahkan dia tinggi-tinggi, kasih uang bulanan gede, mau ini itu diturutin, eh giliran dia berhasil dan sukses malah pulang ke bapak kandungnya, Ayah pasti ngenes nanti."

 

Ayah merenung menatap ke depan sana, melihat kendaraan roda empat lewat berlalu lalang.

 

"Aku tuh kasihan aja sama Ayah makanya ngomong gini, bukan ngajarin pelit sih, tapi aku cuma pengen Ayah mikir lagi gitu, Tiara itu masih punya bapak, keenakan bapaknya dong."

 

Masih belum puas aku terus bicara lagi, hingga ayah terlihat duduk tak nyaman.

 

***

 

"Dasar sial*n! Anak tengil! Pasti itu gara-gara dia, aargh!" Terdengar Tante Miranda marah-marah.

 

Tak berselang lama terdengar suara langkah kaki mendekat, aku buru-buru sembunyi karena sepertinya Tiara akan masuk ke kamar kuntilanak itu.

 

"Gimana, Ma? apa kata Ayah?" tanya Tiara, aku berhasil nguping lagi dekat pintu.

 

"Apa kata Ayah, Ma?! Malah diem lagi!" Tiara membentak ibunya.

 

"Kata Ayah kamu ga bakal dikasih uang bulanan lagi mulai sekarang," jawab Tante Miranda seperti putus asa.

 

"Apa?!" Tiara berteriak, sementara hatiku bersorak.

 

Rasakan itu benalu! Kalian pikir merebut ayahku dari bunda akan hidup enak, takkan semudah itu kali.

 

"Berisik!" Tante Miranda pun ikutan teriak.

 

"Kok bisa Ayah ga ngasih uang bulanan buat aku? terus aku gimana, Ma? uang jajan sekolah, beli kebutuhan ini itu, Mama bujuk Ayah dong jangan diem aja." Anak manja itu terdengar panik.

 

"Udahlah kamu tenang aja, barusan Mama udah ngancem ayahmu, kalau ga ngasih kamu uang bulanan lagi maka Mama akan minta pisah," celetuk Tante Miranda.

 

Mulutku menganga sambil mikir, kuntilanak ini nekad juga ya, kalau kuhasud ayah buat menceraikannya 'kan dia sendiri yang repot, miskin lagi dong nanti.

 

Aku buru-buru pergi ke kantor ayah, untung pagi ini tak ada jam kuliah. Sambil nyetir aku menelpon bunda untuk menunda rencana jalan-jalan kami, untungnya bunda tak mempermasalahkan hal itu.

 

"Loh, kok ke sini, Ra?" tanya Ayah saat aku membuka pintu ruang kerjanya.

 

"Jam kuliah aku nanti siang, Yah, aku mampir ke sini dulu deh," jawabku lalu duduk di sofa.

 

Ayah berdiri lalu menghampiri dan duduk di sampingku, dari sorot matanya dapat kubaca jika ia sedang kebingungan.

 

"Mama kamu, Ra, ngancem Ayah minta pisah kalau Ayah ga ngasih uang bulanan ke Tiara, gimana ya?" tanya Ayah.

 

Bibirku menyeringai diam-diam, baguslah sekarang ia sudah memposisikan aku bukan hanya seorang anak melainkan tempat curhat, kalau begini aku jadi mudah menghasutnya.

 

"Kok Tante Miranda gitu banget sih, Yah, ga dewasa, kek anak kecil." Aku berdecak sambil geleng-geleng kepala.

 

"Itu dia, Ra. Ayah udah janji sama kamu 'kan ga akan kasih Tiara uang bulanan lagi."

 

Ayah pun diam sambil merenung, hatiku sedikit pedih karena teringat bunda, wanita hebat itu tak pernah bersikap seperti ini pada ayah.

 

Ia wanita yang pengertian sekaligus peduli perasaan suami, kenapa wanita sebaik bunda harus dikhianati?

 

"Kalau gitu Ayah harus tegas jangan mau ditindas istri, baru nikah satu bulan aja udah begitu gimana nanti, bisa-bisa dia minta semua harta Ayah terus Ayah ditendang dan dia cari lelaki lain," ucapku menghasut lagi.

 

Ayah terlihat mengusap wajahnya perlahan. Sebagai anak tentu aku tak rela melihat ayah dan gundiknya bahagia, dan sebagai anak aku sangat ingin mereka kembali bersama.

 

"Ingat bunda?" tanyaku dan ayah menoleh.

 

"Ayah tahu 'kan dari dulu pas zaman kita lagi susah dia ga pernah nuntut ini itu sama Ayah, bahkan dia support Ayah, cuma nasibnya aja yang ga bagus." 

 

Aku pura-pura sedih, dari sudut mata kulihat ayah menoleh dengan wajah sendu, lihat saja akan aku porak-porandakan keutuhan rumah tangganya bersama wanita perusak itu.

 

"Waktu susah dia support Ayah mati-matian, pas udah sukses malah wanita lain yang menikmati, untung bunda orangnya penyabar."

 

Aku melirik ayah dengan pandangan tegas.

 

"Percaya sama aku ga ada wanita yang kaya bunda."

 

"Ayah tahu apa yang harus dilakukan, Ra." Lelaki berkumis tipis itu mangut-mangut.

 

Cukup lama kami duduk berdua dalam diam, ayah sibuk dengan pekerjaan sedangkan aku sibuk main ponsel.

 

Tak lama waktu jam kuliah tiba, aku langsung pamit pada ayah lalu pergi ke kampus.

 

***

Pulang dari kampus aku mampir ke rumah bunda, hal yang harus kulakukan untuk meminimalisir rasa bersalah di hati karena memilih tinggal dengan ayah.

 

Langkahku terhenti karena mendengar suara seseorang, dari cemprengnya dapat kutebak jika itu suara Tante Miranda.

 

Aku jadi deg-degan takut ia melakukan sesuatu terhadap bunda.

 

"Kamu masih ngarep 'kan sama Mas Damar, makanya kamu nyuruh anakmu itu untuk tinggal sama kami." Tak salah lagi itu suara Tante Miranda.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
pingin jitak tu pala miranda
goodnovel comment avatar
Fahmi
Aku jadi deg degan takut
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   TAMAT

    Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   46.B

    Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 46.A

    (POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 45

    (POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 44

    (POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 43

    "Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status