Lisa tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini Ares bertingkah menjijikkan; cemburu tidak jelas.
Sehari yang lalu Ares cemburu hanya karena Lisa satu kelompok diskusi dengan Dimas. Tadi, sebelum ke kantin, Ares sebal karena Lisa selalu sibuk chatting dengan Vian---padahal tidak se-alay itu. Dan sekarang, saat Lisa dan Kak Bayu keluar dari perpustakaan kemudian berbincang-bincang sebentar, tiba-tiba pemuda Reigara itu datang, merangkul pundak Lisa lalu menariknya pergi dari sana.
"Eh?" Lisa yang kaget segera berhenti melangkah, membuat pemuda di sebelahya ikut berhenti.
"Mau kemana?" tanyanya.
"Ayo balik ke kelas," kata Ares datar.
Kak Bayu di belakang sana langsung terkekeh. "Udah sana pergi, Sa. Lagian sebentar lagi bel masuk," ujar kakak kelasnya itu.
Lisa mengangguk, berucap, "Yaudah, duluan ya, Kak."
Kak kelasnya itu tersenyum.
Setelahnya Ares kemb
Lisa menutup laptop, menyenderkan tubuh pada kursi belajar di belakangnya. Ia baru saja menyelesaikan tugas makalah Sejarah. Di sisinya, beberapa buku referensi menumpuk.Lisa tidak pernah main-main dengan tugas. Jika diberi, ia akan menyelesaikannya sebaik mungkin. Tidak hanya men-copy paste seperti murid-murid kebanyakan. Menurutnya itu kurang memuaskan. Ia ingin menciptakan sesuatu, bukan hanya meminjam milik orang.Lisa suka Sejarah. Baginya mempelajari sesuatu yang terjadi di masa lampau itu menyenangkan. Ia bisa mengambil pelajaran, memahami bahwa kehidupan itu tidak selalu berada di atas satu titik.Seperti bagaimana manusia dahulu hidup. Jatuh, kembali bangkit, lalu berada di puncak kejayaan, untuk kemudian hancur dan lenyap. Hal itu menyadarkan Lisa bahwa kesenangan itu sementara. Ada kalanya kesedihan mengambil alih. Dan manusia tidak tahu kapan hal itu terjadi.Lisa menoleh ketika handphone-nya yang berad
"Kapan sampai sini?" Lisa bertanya setelah bertemu Arvin."Sejam yang lalu," jawab pemuda itu. "Harusnya kemarin, tapi penerbangan nya di-delay. Cuaca Sydney ekstrim banget."Lisa ber-oh ria, mengangguk mengerti. "Yaudah, ayo. Mau kemana? Serius nggak ke rumah dulu? Nggak capek? Tidur bentar gitu? Terus bawaanmu gimana?" tanya Lisa, celingak-celinguk mencari koper Arvin."Aku nggak bawa apa-apa. Cuma tas satu." Arvin berkata, menunjukkan tas hitam selempang yang ia bawa."Serius?" Lisa menatap tak percaya. Arvin itu anti ribet sekali. Pergi Australia-Indonesia yang dibawa hanya satu barang. Oleh-oleh saja tidak ada. Dasar."Seriuslah. Makanya ayo jalan-jalan." Arvin bangkit berdiri, merangkul pundak Lisa. "Udah enam bulan nggak pulang. I miss everything in this country," ujarnya."Makannya jangan sok sibuk. Perasaan baru kuliah tahun kedua." Lisa mencebik."Justru i
My location unknowntryna find a way back home to you againGotta get back to you gotta gotta get back to youI don't want to be wasting time without youDon't want to throw away my life I need youSomething tells me we'll be alright***Jalanan ramai. Lampu-lampu kota menyala terang.Ares berjalan tidak terarah, menendang kencang-kencang apapun barang yang ia temui di jalan. Hampir enam jam ia berjalan mengelilingi kota. Berjalan, garis bawahi. Ia sudah seperti orang gila melihat rute perjalanannya yang benar-benar panjang. Lebih parahnya, ini hampir pukul sebelas malam dan ia masih tidak tahu akan kemana."Lagian, aku tanya, hubungan kita apa?"Ares tersenyum pahit. Perkataan Lisa terngiang-ngiang di otaknya. Ia tidak pernah merasa semenyedihkan ini. Jatuh cinta sendiri, dan tersakiti sendiri.Tidak... Ares tidak akan menyerah. Ia hanya sed
Lisa melirik sekilas jam dinding di kamarnya. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari.Di luar sana masih hujan deras, belum berhenti sejak pukul sebelas tadi. Lisa menaruh kain kompres di dahi Ares, mengecek sebentar suhu badan pemuda yang sedang terlelap di depannya dengan punggung tangan. Suhu tubuh Ares lumayan turun, tidak setinggi tadi, membuat Lisa bernapas lega. Padahal tadinya ia berencana menghubungi bundanya jika panas pemuda Reigara itu tidak turun juga.Masalahnya Lisa tidak berpengalaman. Ia tidak pernah menangani orang demam sendiri sebelumnya.Tadi Ares sempat bangun, makan roti sedikit, lalu minum obat. Setelahnya pemuda itu tidur. Bukan di kamarnya sendiri, tetapi di kamar Lisa. Ares terlalu lemas meskipun hanya untuk berpindah kamar.Dan yang membuat Lisa heran, tidak ada motor Ares di depan rumah saat Lisa mengeceknya. Pemuda itu pulang dengan apa? Berjalan kaki? Astaga... Yang benar saja?
Keesokan harinya.Lisa mengerjapkan mata, mengernyit ketika menyadari tubuhnya tertutup selimut sampai leher. Ia masih berada di posisi yang sama. Yang berbeda hanyalah ia terselimuti dan tidak ada Ares di hadapannya. Hanya ada IPhone pemuda itu yang tergeletak asal di atas ranjang.Lisa bangkit, mengumpulkan nyawa. Ia menatap jam dinding di kamarnya lalu melotot. Astaga... Baru kali ini ia bangun telat sekali. Bayangkan saja. Setengah delapan?Lisa tidak tahu mengapa. Tapi imbas begadang tadi malam, suasana luar yang masih mendung, efek malas karena datang bulan sepertinya mempengaruhi.Meskipun hari libur, Lisa itu jarang sekali bangun melebihi pukul enam. Kalaupun belum bangun, bundanya atau Bi Inah pasti langsung membangunkannya. Dan bundanya maupun Bi Inah sedang tidak ada di sini sekarang. Hanya ada Ares yang kadang saja susah dibangunkan.Ngomong-ngomong, pemuda Reigara itu dimana?
Matahari condong ke arah barat. Waktu menunjukkan pukul dua siang. Setelah perjalanan 20 menit, Lisa dan Ares akhirnya sampai di rumah Bunda.Lisa turun dari motor, begitu juga dengan Ares di di depannya. Arvin yang sedang bermain game di teras rumah berdiri, berteriak saat melihat kehadirannya, "Bunda... Anak sama menantunya udah dateng!"Rasanya Lisa ingin menjitak dahi Arvin sekarang juga."Hai, adik ipar," sapa Arvin setelah Lisa dan Ares sampai teras. Tentu saja kakaknya itu menyapa pemuda Reigara di sebelah Lisa."Kayaknya kita harus kenalan yang bener, bukan tonjok-tonjokam kayak kemarin," ujar Arvin, membuat Ares terdiam, mengangkat sebelah alis.Tips perbaikan mudah ala Arvin Adhitama; memberi alasan klise dan to the point. Tidak tahu malu memang."Arvin." Kakak Lisa itu mengulurkan tangan pada Ares.Ares segera menjabat uluran tangan pemuda di depannya. "A
Lisa mengambil cemilan dalam toples, berkali-kali memasukkannya dalam mulut. Di depannya, layar televisi berukuran besar sedang memutarkan film adventure favoritnya; Jurassic Park.Lisa tidak tahu sudah berapa kali menonton film lumayan jadul ini. Yang pasti rasanya ia tidak pernah bosan. Lisa tetap tertarik menonton meskipun sudah tahu akhirnya anak T-Rex dan induknya dikembalikan ke Isla nublar dan hidup bahagia di sana.Ngomong-ngomong, itu baru ending satu film. Jurassic Park punya tiga sekuel ditambah Jurassic World yang sudah rilis sekuel keduanya. Mungkin beberapa tahun lagi akan ada sekuel ketiganya."Minta itu, Sa." Ares yang duduk di sofa di sebelah Lisa berkata, meraih camilan di dalam toples yang ia bawa. "Nah ini kan enak. Micinnya banyak," lanjutnya.Lisa geleng-geleng kepala. Meskipun rumor micin membuat bodoh itu hoax, tetap saja jika mengonsumsinya secara berlebihan juga tidak baik bagi kesehatas. M
"Jangan lupa pulang, Vin. Jangan lupa kabar-kabar. Jaga kesehatan juga. Pokoknya sebulan sekali harus pulang ke Indonesia. Bunda nggak mau tahu."Arvin tersenyum, melepaskan pelukan wanita di depannya. "Iya deh, Bun, iya. Kemarin kan khilaf. Lupa nggak pulang enam bulan."Lisa yang berdiri di sebelah Ares menyeringai. Arvin itu ngaco sekali. Mana ada lupa pulang ke rumah sampai enam bulan lamanya."Jangan kelahi. Tahan diri. Ayah nggak akan bantu kalau kamu ketangkap polisi di luar negeri sana."Kali ini menyengir, "Tenang, Yah. SKCK-ku bakal bersih di negara orang. Aku nggak mau jelek-jelekin Indonesia."Lisa kembali menyeringai, mencibir dalam hati. Dasar, Arvin sok. Bilang saja jago kandang. Berani rusuhnya hanya di negara sendiri.Arvin berpamitan pada Ayah Bunda, ganti memeluk Lisa dan Ares sebentar. "Goodbye. Kalian jangan suka berantem. Belajar yang rajin. Jangan pacara