LOGIN
Hujan malam itu turun tanpa ampun, menampar aspal dan membasahi udara Jakarta yang dingin. Aira berdiri di depan pintu kamar apartemen Galang, kekasih yang selama tiga tahun ia percayai sepenuh hati. Jemarinya yang menggenggam kunci cadangan bergetar, bukan karena hawa dingin, tapi karena firasat buruk yang sejak sore tadi membuat dadanya gelisah.
Pintu yang sudah tidak terkunci itu ia dorong perlahan. Suara engsel berderit samar, disusul pemandangan yang membuat dunia Aira seketika berhenti berputar.
Di ranjang sempit dengan sprei kusut, tubuh Galang terlihat memeluk seseorang—Sari, teman seangkatannya. Rambut panjang gadis itu berantakan, bahunya telanjang di bawah selimut tipis. Suara desah bersahutan seolah menjadi luka paling tajam yang menembus dada Aira.
“Galang…” suara Aira nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat kedua orang itu tersentak.
Galang segera bangkit meloncat dari ranjang, meraih boxernya dan memakainya dengan terburu, wajahnya memucat karena begitu panik mendapati kedatangan Aira yang begitu tiba-tiba.
“Aira?! Tunggu, aku bisa jelasin!”
Aira berdiri terpaku. Nafasnya pendek, matanya bergetar menatap lelaki yang selama ini ia cintai.
“Jelasin apa?” tanyanya lirih. “Jelasin kenapa kamu tidur sama teman seangakatan sendiri? Atau jelasin kenapa kamu tega ngelakuin ini? Padahal aku percaya banget kalau kamu bukan cowok berengsek.”
Galang mengacak rambutnya frustrasi. “Kamu enggak ngerti, Ra! Aku cuma… aku butuh pelampiasan. Kamu selalu nahan-nahan semuanya. Tiga tahun kita pacaran, tapi kamu—”
“Cukup, Galang.” suara Aira pecah. Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang dingin. “Kamu bilang cinta sama aku dan kita bakal nikah habis lulus, tapi ternyata kamu enggak sabar nunggu aku. Jadi apa pada akhirnya semua janji kamu itu cuma omong kosong?”
Galang mendengus, menghindari tatapan Aira. “Bukan gitu, Ra. Tapi aku juga manusia dan sebagai cowok aku punya kebutuhan yang harus disalurin. Kamu terlalu jaga diri sampai aku ngerasa kayak cuma teman dan bukan pacar kamu.”
Sari yang sejak tadi hanya diam tiba-tiba terkekeh sambil membenarkan selimut di tubuhnya. “Udahlah, Lang. Buat apa kamu jelasin ke dia? Cewek kayak dia mana ngerti kebutuhan cowok. Sok suci, tapi enggak bisa bikin kamu puas sebagai pacar.”
Aira menatap Sari dengan pandangan kosong. Antara marah, jijik, dan tidak percaya. “Kalian memang pantas buat satu sama lain,” ucapnya pelan, lalu berbalik pergi.
Galang mencoba menahan pergelangan tangan Aira, tetapi Aira menepis kasar tangan lelaki itu.
“Jangan sentuh aku lagi!” tandas Aira tegas bercampur dingin sebelum melangkah keluar di bawah hujan deras.
Rintik air menyambutnya seperti teman lama dan dinginnya udara terasa begitu menusuk tulang. Langkah Aira berat, tapi ia terus berjalan tanpa arah, membiarkan air mata bercampur dengan hujan yang turun dari langit. Segala harapan tentang masa depan, tentang pernikahan yang dulu mereka rencanakan, hancur malam itu juga.
***
Saat sampai di apartemen, tubuh Aira sudah menggigil hebat. Nita yang melihatnya langsung berlari menghampiri, wajahnya panik. “Ya Tuhan, Ra! Kamu kenapa? Basah kuyup kayak gini!”
Aira jatuh terduduk di sofa. Suaranya pecah di sela tangisnya yang tersendar. “Ga—galang selingkuh, Nit…”
Nita terdiam beberapa detik sebelum akhirnya duduk di sebelah Aira, menarik sahabatnya ke dalam pelukan hangat. “Astaga, Ra… aku udah curiga dari dulu cowok itu kelihatannya enggak benar-bener bisa setia sama kamu. Tapi kamu selalu bela dia.”
Aira menangis makin keras, suaranya serak. “Aku bodoh banget, Nit. Tiga tahun aku jaga diri buat dia, tapi ternyata dia malah tidur sama orang lain.”
“Dengerin aku,” Nita menatapnya dalam, tegas tapi lembut. “Kamu enggak salah karena menjaga diri. Justru kamu salah karena percaya sama orang yang enggak pantas dipercaya kayak si Galang bangsat itu. Lagian yang harus disalahin itu si Galang berengsek itu karena enggak bisa menghargai cewek baik-baik kayak kamu, Ra.”
Aira hanya terisak tanpa suara. Hening beberapa saat sebelum Nita kembali berkata pelan, “Udah, kamu enggak boleh terus-terusan terpuruk kayak gini. Malam ini kamu harus keluar sama aku. Kita buang semua hal yang bikin kamu sedih malam ini, oke? Tunjukkin kalau kamu bisa hidup tanpa si begundal Galang itu”
Aira menatap Nita lemah. “Aku capek dan enggak punya tenaga buat ke mana-mana, Nit. Rasanya aku pengin menghilang aja malam ini.”
“Justru itu. Kamu butuh udara segar. Dari pada kamu terus mikirin orang yang udah nyakitin kamu, mending kamu ngelakuin hal-hal yang bisa bikin seneng. Ganti pakai gaun ini, aku tunggu di luar.”
Setengah jam kemudian, Aira keluar dari kamar dengan gaun hitam pinjaman Nita yang membalut tubuh rampingnya. Rambutnya diurai, dan sedikit riasan tipis menutupi wajah yang sembap. Tatapannya masih sendu, tapi ada suatu harapan yang tersimpan di baliknya.
“Gila, cantik banget, Ra” komentar Nita sambil tersenyum puas. “Lihat aja, cowok mana pun bakal nyesel udah nyia-nyiain kamu Terutama Galang bajingan itu. Kalau si cecunguk itu lihat penampilan kamu malam ini, aku jamin seratus persen dia pasti nyesel seumur hidup.”
Aira hanya tersenyum tipis. “Aku enggak mau balas dendam atau buat dia nyesel, Nit. Aku cuma… pengin enggak ngerasa sakit, walau cuma malam ini.”
Nita mengangguk pelan sambil merangkul bahu Aira. Kalau gitu, let’s go kita berangkat sekarang.”
***
Club Euphoria penuh dengan musik berdentum dan cahaya berkelap-kelip. Suara tawa, aroma alkohol, dan lampu neon berpadu jadi satu. Aira melangkah masuk dengan langkah ragu, tapi Nita menggandeng tangannya menuju bar dan langsung memesan dua gelas koktail.
“Ayo kita minum. Aku pesenin ini khusus buat kamu biar bisa ngelupain si berengsek itu malam ini.” Nita menyodorkan segelas koktail pada Aira.
Aira menatap cairan jingga yang kini sudah berada di genggaman tangannya dengan ragu— karena selama ini Aira memang terpaksa menyentuh alkohol hanya saat ada acara penting yang mengharuskannya terpaksa menenggak minuman memabukkan itu.
“Aku enggak terlalu suka minum alkohol, Nit.”
“Tapi sekarang waktu yang tepat buat kamu minum, Ra. Ini minuman yang paling cocok kalau kamu mau sejenak lupa sama di Galang bangsat.” Nita tersenyum menggoda.
Akhirnya Aira meneguk pelan. Rasanya manis dan sedikit pahit, tapi hangat di dada. Gelas pertama habis, lalu disusul yang kedua. Kepalanya mulai ringan, dan di wajahnya perlahan muncul senyum samar yang tak lagi mampu ia rasakan semenjak mengetahui pengkhianatan Galang.
“Gitu dong,” kata Nita. “Kamu tuh cantik banget kalau senyum tahu, Ra.” Aira tertawa kecil.“Aku bahkan lupa gimana rasanya ketawa.”
“Sekarang udah ingat lagi, kan?” jawab Nita sambil menggandengnya ke lantai dansa.
Lampu-lampu berputar di atas kepala. Tubuh-tubuh menari di bawah cahaya neon. Aira menutup mata, membiarkan musik menggantikan pikirannya yang remuk. Untuk sesaat, ia merasa bebas.
Namun euforia itu hanya sebentar. Kepalanya mulai pusing dan terasa ringan.
“Nit… aku ke luar sebentar, ya. Mau cari udara segar.” “Oke, tapi jangan jauh-jauh ya.” Nita mengingatkan.Aira mengangguk. Ia melangkah menembus kerumunan. Bau parfum dan keringat bercampur asap rokok membuat napasnya terasa berat. Lampu neon menari di matanya yang mulai buram, dunia di sekitarnya terasa berputar.
Sebelum sempat mencapai pintu keluar, sebuah tangan kekar tiba-tiba melingkar di pinggangnya. Tubuhnya tertarik mundur, menabrak dada bidang yang terasa hangat meski berbalut kemeja dengan kancing terbuka setengah.
“Maaf… tapi saya butuh bantuanmu,” bisik suara berat di telinganya. Napasnya hangat, nyaris membuat tubuh Aira meremang meski kesadarannya kabur.
Aira menoleh dengan mata berkunang. Wajah lelaki itu samar di bawah cahaya lampu klub, tapi aura dominan dan aroma parfum maskulin yang tajam membuatnya sulit berpikir jernih.
“Lepaskan… aku…” suaranya bergetar, tenggelam dalam dentuman musik yang masih menggelegar. Tangannya berusaha menyingkirkan genggaman di pinggangnya, namun tubuhnya lemah, kehilangan kendali.
Lelaki itu justru semakin mendekat, suaranya parau, terguncang. “Please… hanya malam ini. Saya… sepertinya ada yang memasukkan sesuatu ke minuman saya.”
Napasnya terengah, dada naik turun cepat. Tubuhnya bergetar seperti sedang menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar mabuk. Pandangannya kosong tapi penuh tekanan, membuat Aira ragu—antara takut, iba, dan kehilangan arah.
Kepala Aira makin berputar. Cahaya lampu klub yang semula berwarna-warni kini hanya tinggal semburat kabur di matanya. Suara musik seolah berubah jadi gema jauh yang tenggelam dalam air. Dalam kabut kesadarannya yang menipis, Aira hanya bisa menatap samar wajah lelaki itu—mata tajam, rahang kuat, dan aura dingin yang anehnya membuat dadanya ikut bergetar.
Dan saat tubuhnya terasa kian ringan, napas keduanya yang naik turun tak beraturan, berpadu di udara yang lembap. Musik, cahaya, dan keramaian perlahan seperti tenggelam dalam diam. Yang tersisa hanyalah dua sosok asing yang tenggelam dalam adu pandang.
Udara kampus memang terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari belum terlalu tinggi, menembus kaca jendela koridor fakultas dengan cahaya lembut. Namun bagi Aira, langkah-langkahnya justru terasa dingin dan berat.Sejak undian itu berakhir, dadanya seolah dipenuhi belati yang menusuki. Ia sudah berusaha menolak, tapi keputusan undian bersifat mutlak. Mau tak mau, hari ini ia harus menunaikan tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab mata kuliah yang di ampu oleh Adrian Wiratama.Lorong menuju ruang dosen terasa begitu panjang. Setiap langkah menimbulkan gema yang memantul di dinding, seolah menandai ketegangan yang menumpuk di dadanya. Aira menggenggam buku catatan terlalu erat, sampai ujung jarinya memutih. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus kembali berhadapan dengan pria itu.Ketika sampai di ruang dosen, pintu ruangan sudah terbuka. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang tak juga stabil. Deretan meja kayu tampak tersusun rapi, penuh tumpukan berkas dan
Jam berjalan lambat. Setiap menit di kelas hari ini terasa seperti hukuman bagi Aira.Suara Adrian yang menjelaskan teori dan konsep dasar, entah mengapa terasa terlalu dekat, terlalu familiar. Kadang, Aira bahkan bisa mendengar gema napas berat Adrian di telinganya sendiri, seolah ingatan malam itu menolak pergi.Aira berusaha menulis, tapi ujung penanya hanya mencoret garis tak berarti, sementara pikirannya berlari ke mana-mana. Ia merasa seolah duduk di bawah cahaya yang terlalu terang, dengan seluruh rahasianya tergantung di udara, siap jatuh kapan saja.Ah... lebih sialnya lagi, hari ini Nita izin tidak masuk, jadi tidak ada sosok sahabat yang mampu sedikit menenangkan gelisah hatinya.“Itu saja untuk materi hari ini,” ujar Adrian di penghujung kelas, suaranya tenang dan berat. “Saya ingin kalian menulis esai singkat tentang motivasi kalian menempuh jurusan ini. Kumpulkan minggu depan.”Beberapa mahasiswa berdesis pelan, yang lain mengangguk. Adrian mematikan sambungan proyektor
Aira menghela napas panjang di depan cermin kamarnya. Wajahnya tampak pucat, seolah seluruh darah dalam tubuhnya tersedot keluar bersama rasa sesal yang tak kunjung surut.Matanya sembab, tatapannya kosong, dan kantung hitam menggantung di bawah kelopak—bukti dari malam-malam tanpa tidur yang dihantui campuran ingatan antara pengkhianatan Galang dan malam panjang yang ia habiskan dengan lelaki tak dikenal.Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, tapi setiap kali memejamkan mata, sisa malam itu masih melekat erat di kepalanya. Bayangan tubuh asing, desahan samar, kulit yang bersentuhan dalam kabut alkohol, semuanya seperti fragmen film yang tak mau berhenti diputar. Setiap kali mengingatnya, dadanya terasa sesak, perutnya mual, dan jantungnya berdetak tak karuan.“Lupain, Aira…” gumamnya pada bayangan di cermin. Ia menepuk pipinya pelan. “Itu cuma kesalahan semalam. Cuma sekali dan enggak akan pernah terjadi lagi.”Kata-kata itu seperti mantra yang sudah terlalu sering ia ucapkan. Nam
Setelah beberapa waktu berlalu, tetapi tangan lelaki itu masih melingkari pinggangnya, kuat namun goyah, seolah pria itu tampak berjuang keras untuk tetap sadar. Hangat tubuhnya berpadu dengan dinginnya udara malam, menimbulkan sensasi aneh yang membuat Aira sulit membedakan antara takut dan pasrah.“Dari tadi aku bilang lepaskan…” bisik Aira, nyaris tanpa suara. Ia berusaha mendorong dada lelaki itu, namun tenaganya tak ada. Kepalanya makin pusing, pandangannya kian berkunang.Lelaki itu pun tak memberi jawab, hanya menatapnya dengan mata yang sayu, penuh ketegangan dan kebingungan. Seolah ada sesuatu yang menahan mereka berdua di tempat yang sama — antara sadar dan kehilangan arah.Entah siapa yang memulai, langkah mereka bergeser dari kerumunan. Mereka seperti ditelan arus yang tak terlihat, menembus lorong redup di dalam klub, jauh dari dentuman musik dan lampu neon. Aroma alkohol masih mengudara, bercampur napas hangat yang masih beradu di antara keduanya.Pintu sebuah kamar terb
Hujan malam itu turun tanpa ampun, menampar aspal dan membasahi udara Jakarta yang dingin. Aira berdiri di depan pintu kamar apartemen Galang, kekasih yang selama tiga tahun ia percayai sepenuh hati. Jemarinya yang menggenggam kunci cadangan bergetar, bukan karena hawa dingin, tapi karena firasat buruk yang sejak sore tadi membuat dadanya gelisah.Pintu yang sudah tidak terkunci itu ia dorong perlahan. Suara engsel berderit samar, disusul pemandangan yang membuat dunia Aira seketika berhenti berputar.Di ranjang sempit dengan sprei kusut, tubuh Galang terlihat memeluk seseorang—Sari, teman seangkatannya. Rambut panjang gadis itu berantakan, bahunya telanjang di bawah selimut tipis. Suara desah bersahutan seolah menjadi luka paling tajam yang menembus dada Aira.“Galang…” suara Aira nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat kedua orang itu tersentak.Galang segera bangkit meloncat dari ranjang, meraih boxernya dan memakainya dengan terburu, wajahnya memucat karena begitu panik me







