LOGINSetelah beberapa waktu berlalu, tetapi tangan lelaki itu masih melingkari pinggangnya, kuat namun goyah, seolah pria itu tampak berjuang keras untuk tetap sadar. Hangat tubuhnya berpadu dengan dinginnya udara malam, menimbulkan sensasi aneh yang membuat Aira sulit membedakan antara takut dan pasrah.
“Dari tadi aku bilang lepaskan…” bisik Aira, nyaris tanpa suara. Ia berusaha mendorong dada lelaki itu, namun tenaganya tak ada. Kepalanya makin pusing, pandangannya kian berkunang.
Lelaki itu pun tak memberi jawab, hanya menatapnya dengan mata yang sayu, penuh ketegangan dan kebingungan. Seolah ada sesuatu yang menahan mereka berdua di tempat yang sama — antara sadar dan kehilangan arah.
Entah siapa yang memulai, langkah mereka bergeser dari kerumunan. Mereka seperti ditelan arus yang tak terlihat, menembus lorong redup di dalam klub, jauh dari dentuman musik dan lampu neon. Aroma alkohol masih mengudara, bercampur napas hangat yang masih beradu di antara keduanya.
Pintu sebuah kamar terbuka di ujung lorong. Lelaki itu menuntun Aira masuk dengan langkah limbung, lalu menutup pintu di belakang mereka. Hening menyergap.
Aira bersandar di dinding, napasnya berar, cepat, dan tak beraturan. Lelaki itu berdiri menjulang di depannya, wajahnya setengah tersembunyi bayangan lampu temaram. Di antara keduanya, udara terasa begitu padat, seolah waktu ikut menahan napas.
“Saya tidak tahu mengapa panas begini…” ucapnya pelan, suaranya serak dan terputus. “Tapi saya sepertinya… benar-benar membutuhkanmu untuk meredam sensasi panas di tubuh saya. Please…”
Aira lagi-lagi menatap lelaki itu, sama seperti sebelumnya antara iba dan takut. Akalnya berteriak bahwa ini salah, tapi sisi lain dirinya—sisi yang baru saja dihancurkan oleh pengkhianatan—membisiki hal berbeda. Luka di hatinya masih terbuka, dan rasa sepi yang menelannya membuat semua pertahanan runtuh satu per satu.
Lelaki itu melangkah mendekat. Ia menatap Aira dalam-dalam, seperti mencari sesuatu di balik matanya. Jemarinya terulur ragu, menyentuh pipi Aira perlahan. Sentuhan itu membuat Aira menahan napas—dingin di kulit, tapi menyalakan panas yang entah datang dari mana.
“Saya tidak akan menyakiti kamu,” suaranya pelan, seperti janji yang diucap tanpa adanya keyakinan. “Saya janji akan melakukannya selembut mungkin”
Ketika wajahnya semakin dekat, Aira memejamkan mata. Mungkin karena lelah, atau karena sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Dan ketika bibir lelaki itu akhirnya menyentuh bibirnya, air mata Aira jatuh.
Bukan karena cinta, tapi karena perih yang menerjang hatinya berpadu dengan sensasi aneh yang merambat pelan dalam dirinya.
Bukan karena bahagia, tapi karena akhirnya ia menyerah dan membiarkan dirinya tenggelam dalam arus yang tak lagi bisa ia lawan kendalinya.
Pelukan lelaki itu membelitnya dengan erat tapi juga mengalirkan sensasi hangat. Belaian jari jemarinya seakan menjalarkan perasaan bercampur aduk dalam benak Aira—kehilangan, penyesalan, juga sensasi aneh yang mampu membuatnya merasa seolah ingin kembali hidup walau hanya sejenak.
Aira menutup mata rapat-rapat. Ia tahu ini tidak benar. Seharusnya ia melawan sampai titik darah penghabisan dan bergegas pergi. Namun, rasa sakit akibat pengkhianatan Galang masih menusuk, membuat hatinya rapuh. Dan di saat rapuh itulah, entah mengapa pelukan dari lelaki asing ini malah mampu menyalurkan rasa melayang yang sejenak mengaburkan dari pikiran tentang Galang.
Oleh karena itu, untuk sesaat, Aira membiarkan dirinya melupakan semuanya—Galang, luka di hatinya akibat pengkhianatan, dan air matanya yang belum kering—ia pasrahkan saja dirinya untuk tenggelam dalam dekapan hangat dari lelaki yang sejak beberapa waktu lalu telah bergerak tak karuan di atas tubuhnya.
Pada akhirnya, dalam kesamaran lampu temaram, sepasang insan—satu diliputi luka, satu terjebak dalam pengaruh obat yang tak pernah ia sadari kapan berada di minumannya—larut dalam momen yang tak pernah mereka rencanakan. Tidak ada nama, tidak ada perkenalan. Hanya bisikan samar, napas terengah, dan rasa sesak yang tercampur dengan kelegaan sesaat.
***
Pagi datang tanpa aba-aba. Sinar matahari menembus tirai kamar, jatuh di wajah Aira yang terbaring letih di atas seprai putih.
Perlahan, matanya terbuka. Kepalanya berat, tubuhnya lemah, dan setiap helaan napas terasa menyesakkan. Ia menatap langit-langit kamar, berusaha memahami di mana dirinya berada. Aroma parfum pria itu masih melekat di kulitnya.
Ketika ia memindahkan pandangan ke arah samping, jantungnya berdetak cepat tatkala mendapati di sebelahnya tampak seorang lelaki masih terlelap. Rahangnya tegas, alisnya tebal, dan wajahnya tampak tenang di bawah cahaya pagi. Kontras sekali dengan kegelisahan yang bergemuruh di dada Aira.
Aira menatapnya cukup lama. Ada sesuatu di dada yang sulit dijelaskan—antara rasa ingin tahu dan rasa ingin lari. Ia mengangkat selimut, menatap dirinya sendiri dengan campuran syok dan penyesalan. Semalam terasa seperti mimpi buruk yang nyata.
“Aku harus pergi sebelum dia bangun…” bisiknya, hampir tanpa suara.
Ia bangkit perlahan, mengenakan kembali pakaiannya yang tercecer di lantai. Jemarinya gemetar saat merapikan gaunnya yang sedikit robek dan kusut sambil berusaha keras menahan air matanya yang nyaris jatuh.
Sebelum melangkah pergi, ia sempat menoleh. Lelaki itu masih tidur, napasnya teratur, seolah malam tadi tak meninggalkan bekas apa pun untuknya.
Tapi bagi Aira, malam itu akan menorehkan bekas yang tak akan pernah hilang. Bagaimana pun satu-satunya hal berharga, yang selalu ia jaga sebagai kehormatan wanita, telah terhempas darinya tadi malam.
Aira keluar dari kamar dengan langkah pelan. Udara pagi menyambutnya begitu pintu klub terbuka. Hembusan angin dingin menyapu wajahnya, membuat seluruh tubuhnya merinding. Ia berjalan cepat, menunduk, seolah ingin bersembunyi dari dunia.
Setiap langkah yang Aira ambil terasa berat. Setiap helaan napas yang ia tarik terasa seperti membawa kembali kilasan malam tadi—tatapan lelaki itu, suara napasnya, dan kehangatan yang menakutkan karena terasa begitu nyata dalam benaknya.
“Aku harus lupain semua ini,” gumamnya pada diri sendiri.
Namun semakin Aira mencoba melupakan, semakin bayangan itu menempel di pikirannya.
Wajah lelaki itu, suaranya, bahkan caranya memeluk—semuanya masih terasa di kulitnya, di dadanya, di ingatannya.
Ia tidak tahu siapa lelaki itu, dari mana asalnya, atau bahkan namanya. Yang ia tahu hanya satu—malam itu akan menjadi rahasia yang akan ia kubur dalam-dalam, bersama seluruh kepingan dirinya yang hancur.
Udara kampus memang terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari belum terlalu tinggi, menembus kaca jendela koridor fakultas dengan cahaya lembut. Namun bagi Aira, langkah-langkahnya justru terasa dingin dan berat.Sejak undian itu berakhir, dadanya seolah dipenuhi belati yang menusuki. Ia sudah berusaha menolak, tapi keputusan undian bersifat mutlak. Mau tak mau, hari ini ia harus menunaikan tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab mata kuliah yang di ampu oleh Adrian Wiratama.Lorong menuju ruang dosen terasa begitu panjang. Setiap langkah menimbulkan gema yang memantul di dinding, seolah menandai ketegangan yang menumpuk di dadanya. Aira menggenggam buku catatan terlalu erat, sampai ujung jarinya memutih. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus kembali berhadapan dengan pria itu.Ketika sampai di ruang dosen, pintu ruangan sudah terbuka. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang tak juga stabil. Deretan meja kayu tampak tersusun rapi, penuh tumpukan berkas dan
Jam berjalan lambat. Setiap menit di kelas hari ini terasa seperti hukuman bagi Aira.Suara Adrian yang menjelaskan teori dan konsep dasar, entah mengapa terasa terlalu dekat, terlalu familiar. Kadang, Aira bahkan bisa mendengar gema napas berat Adrian di telinganya sendiri, seolah ingatan malam itu menolak pergi.Aira berusaha menulis, tapi ujung penanya hanya mencoret garis tak berarti, sementara pikirannya berlari ke mana-mana. Ia merasa seolah duduk di bawah cahaya yang terlalu terang, dengan seluruh rahasianya tergantung di udara, siap jatuh kapan saja.Ah... lebih sialnya lagi, hari ini Nita izin tidak masuk, jadi tidak ada sosok sahabat yang mampu sedikit menenangkan gelisah hatinya.“Itu saja untuk materi hari ini,” ujar Adrian di penghujung kelas, suaranya tenang dan berat. “Saya ingin kalian menulis esai singkat tentang motivasi kalian menempuh jurusan ini. Kumpulkan minggu depan.”Beberapa mahasiswa berdesis pelan, yang lain mengangguk. Adrian mematikan sambungan proyektor
Aira menghela napas panjang di depan cermin kamarnya. Wajahnya tampak pucat, seolah seluruh darah dalam tubuhnya tersedot keluar bersama rasa sesal yang tak kunjung surut.Matanya sembab, tatapannya kosong, dan kantung hitam menggantung di bawah kelopak—bukti dari malam-malam tanpa tidur yang dihantui campuran ingatan antara pengkhianatan Galang dan malam panjang yang ia habiskan dengan lelaki tak dikenal.Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, tapi setiap kali memejamkan mata, sisa malam itu masih melekat erat di kepalanya. Bayangan tubuh asing, desahan samar, kulit yang bersentuhan dalam kabut alkohol, semuanya seperti fragmen film yang tak mau berhenti diputar. Setiap kali mengingatnya, dadanya terasa sesak, perutnya mual, dan jantungnya berdetak tak karuan.“Lupain, Aira…” gumamnya pada bayangan di cermin. Ia menepuk pipinya pelan. “Itu cuma kesalahan semalam. Cuma sekali dan enggak akan pernah terjadi lagi.”Kata-kata itu seperti mantra yang sudah terlalu sering ia ucapkan. Nam
Setelah beberapa waktu berlalu, tetapi tangan lelaki itu masih melingkari pinggangnya, kuat namun goyah, seolah pria itu tampak berjuang keras untuk tetap sadar. Hangat tubuhnya berpadu dengan dinginnya udara malam, menimbulkan sensasi aneh yang membuat Aira sulit membedakan antara takut dan pasrah.“Dari tadi aku bilang lepaskan…” bisik Aira, nyaris tanpa suara. Ia berusaha mendorong dada lelaki itu, namun tenaganya tak ada. Kepalanya makin pusing, pandangannya kian berkunang.Lelaki itu pun tak memberi jawab, hanya menatapnya dengan mata yang sayu, penuh ketegangan dan kebingungan. Seolah ada sesuatu yang menahan mereka berdua di tempat yang sama — antara sadar dan kehilangan arah.Entah siapa yang memulai, langkah mereka bergeser dari kerumunan. Mereka seperti ditelan arus yang tak terlihat, menembus lorong redup di dalam klub, jauh dari dentuman musik dan lampu neon. Aroma alkohol masih mengudara, bercampur napas hangat yang masih beradu di antara keduanya.Pintu sebuah kamar terb
Hujan malam itu turun tanpa ampun, menampar aspal dan membasahi udara Jakarta yang dingin. Aira berdiri di depan pintu kamar apartemen Galang, kekasih yang selama tiga tahun ia percayai sepenuh hati. Jemarinya yang menggenggam kunci cadangan bergetar, bukan karena hawa dingin, tapi karena firasat buruk yang sejak sore tadi membuat dadanya gelisah.Pintu yang sudah tidak terkunci itu ia dorong perlahan. Suara engsel berderit samar, disusul pemandangan yang membuat dunia Aira seketika berhenti berputar.Di ranjang sempit dengan sprei kusut, tubuh Galang terlihat memeluk seseorang—Sari, teman seangkatannya. Rambut panjang gadis itu berantakan, bahunya telanjang di bawah selimut tipis. Suara desah bersahutan seolah menjadi luka paling tajam yang menembus dada Aira.“Galang…” suara Aira nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat kedua orang itu tersentak.Galang segera bangkit meloncat dari ranjang, meraih boxernya dan memakainya dengan terburu, wajahnya memucat karena begitu panik me







