Share

Bab 2 - Konsekuensi

DIPTA

Dipta seketika membuka matanya ketika dia terbangun dari tidurnya.

Matanya mengernyit tatkala melihat lampu kamar terang benderang. Napasnya terhenti seketika tatkala dia menyadari di dadanya bersandar seorang perempuan yang tertidur pulas dalam pelukannya.

“Ah, sial!” rutuknya pelan.

Dia tak ingat kalau dia membawa perempuan ke dalam kamarnya tadi malam.

Dalam memorinya yang terpecah dan blur, hal terakhir yang dia ingat adalah dia berkoordinasi dengan tim keamanan hotel dalam acara pertunangan putri bosnya–Elaina Gauri Dharmawan dengan Dhanu Anggara Trihadi. Putra pertama pemilik partai politik Pembangunan Indonesia Raya–Pak Rahmat Trihadi yang sedang mencalonkan diri sebagai calon presiden dalam kontestasi pemilu mendatang.

Dipta mengerjapkan matanya sekali lagi, dia benci one night stand saat dia dalam keadaan standby bekerja. Menunjukkan secara gamblang penurunan profesionalitas yang dijunjung tinggi olehnya.

Pagi ini seharusnya dia mengecek keadaan Elaina, putri sang bos yang merupakan pekerjaan utamanya setelah sang bos–Hendra Dharmawan memintanya secara pribadi untuk menjaga Elaina 24 jam 7 hari seminggu selama masa pertunangan hingga menuju hari pernikahan putrinya tersebut.

“Hey, bangun! Gue harus cabut–” Ucapannya terhenti ketika Dipta dengan samar dapat mencium sisa parfum sang perempuan yang wajahnya masih tertutupi rambut hitam lebat sang partner one night stand-nya yang menjuntai indah di dada bidangnya.

Dadanya bergemuruh kencang.

Dipta hafal wangi parfum ini.

Wangi khas vanilla hangat yang begitu seksi dan menggoda. Wangi yang selalu mampir ke hidungnya setiap dia berjalan di belakang sosok yang selalu dijaga olehnya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Dipta menyibakkan helaian rambut yang menutupi wajah perempuan di dalam pelukannya, dan ketakutannya kini menjadi kenyataan.

Double damn!

Di dalam pelukannya, Elaina Gauri Dharmawan tertidur pulas tanpa beban setelah semalaman mereka bercinta dengan liar. Tubuh mereka yang masih polos bersentuhan satu sama lain di balik selimut yang menutupi tubuh mereka berdua dari dinginnya air conditioner.

Kepingan-kepingan ingatan kembali menyeruak dari alam bawah sadarnya.

Potongan baju yang berserakan.

Ciuman dalam, panas penuh gairah yang diberikan olehnya.

Bagaimana Ela memekik kesakitan ketika miliknya melesak masuk pertama kali. Pengakuan singkat bahwa ini adalah kali pertama Ela melakukan penyatuan tubuh bersama pria.

Desahan, lenguhan nikmat, erangan panjang yang tercipta dari mulut mereka masing-masing saat kenikmatan dari tiap sentuhan dan gerakan intim mereka terjadi detik-demi detik, jam berganti jam, hingga malam berganti fajar.

“Sial, sial, sial!”

Dipta merutuki kebodohan kolosalnya pagi ini.

Tapi kemudian, dia teringat… ada yang salah dari dirinya dan Ela tadi malam.

Dipta hampir yakin jika dirinya semalam berada dalam pengaruh obat afrodisiak.

Yang perlu dipastikan sekarang adalah keadaan Elaina.

Namun bagaimana itu bisa terjadi? Dia tak bisa mengingat secara utuh kecuali ketika mereka berdua mulai bercinta.

Ada ingatan yang hilang tatkala dia mengecek sistem keamanan lobi hotel dan penyisiran kamar milik bosnya hingga terjadinya kejadian panas di kamar ini bersama Ela.

“Elaina?” Dipta mengguncang bahu perempuan itu dengan lembut.

Dia pantas dihukum yang seberat-beratnya karena telah menghancurkan hidup Elaina.

“Elaina, tolong bangun.” Suara Dipta semakin berat disela tarikan napasnya.

Dia mencoba bangkit untuk duduk, dan membawa Elaina dalam pelukannya.

“Hey, wake up sleepyhead.” Sekali lagi Dipta mengguncangkan bahu Elaina sebelum akhirnya memencet hidung bangir Ela agar gadis itu segera terbangun.

Benar saja, karena tak bisa bernapas, Ela bangun dan menarik napas dengan sedikit panik.

“Hey… hey… Ela, it’s okay. Maaf saya harus membangunkanmu seperti ini,” ujar Dipta dengan suara pelan.

Wajah Ela akhirnya terangkat dan dia mengerjapkan mata indahnya saat menatap Dipta. Raut wajah gadis itu menyiratkan kebingungan, sebelum akhirnya berubah menjadi ketakutan.

“Pa–Pak Pradipta?” ujar Ela penuh kengerian.

“Ya ampun, apa yang terjadi?”

Dengan penuh kepanikan, Elaina mencoba melompat dari ranjang menjauhi tubuh Dipta. Tapi selimut tebal yang menutupi tubuh polos mereka menghentikan gerak sembrono Ela dan menyebabkan gadis itu hampir terjerembab jatuh jika Dipta tak menahan tubuh mungilnya di dalam dekapannya.

“Hati-hati!” pungkasnya spontan.

“Aaargh!”

Ela yang membawa selimut untuk menutupi tubuhnya berteriak kaget ketika melihat tubuh Dipta yang polos.

Dipta melihat ‘kerusakan’ yang dia ciptakan di sekujur tubuh mulus Ela. Dia menutup matanya sekali lagi dan ingin berteriak marah.

“Maafkan saya, Bu. Jika Ibu bisa membalikkan badan sebentar saya akan bergegas memakai–” Dipta bangkit dari ranjang dan menutup bagian paling privatnya dengan bantal persegi panjang saksi percintaan liar mereka semalam.

“Saya yang ke kamar mandi, sebentar! Jangan ke mana-mana!” Gadis itu memerintahkan Dipta untuk tetap di tempat sebelum Ela berlari menuju kamar mandi.

Pakaian mereka masih berserakan di karpet beludru yang menutupi lantai sekitar ranjang king size mereka.

Dengan cekatan Dipta memakai kembali kemeja dan celana panjangnya. Di dalam kamar mandi, Dipta mendengar suara percikan air dan dia menggelengkan kepalanya.

Bagaimana caranya dia mengurai semuanya.

Di tengah rasa pengar dan disorientasi yang muncul akibat efek obat yang masuk ke dalam tubuhnya, Dipta mengamati keadaan seluruh kamar. Mencari sesuatu yang mencurigakan di sekeliling ruangan. Mulai dari sofa, nakas di samping ranjang hingga akhirnya lemari besar yang terletak di depan ranjang. Dipta hampir menutup lemari pakaian sebelum akhirnya berhenti sejenak.

Ada yang aneh, Dipta mendekat dan, ah sial!

Kamera tersembunyi!

Ada upaya jahat kepada mereka berdua. Dipta yakin akan hal tersebut.

Buru-buru Dipta mencabut kamera kecil tersebut dan bergegas mencari ponselnya untuk menghubungi anak buahnya.

Ponselnya berada di nakas samping ranjang, dan dia melihat puluhan missed call dari rekan kerjanya.

Namun sebelum dia menghubungi salah seorang anak buah kepercayaannya, pintu kamar mandi terbuka dan Ela keluar dari kamar mandi dengan bathrobe membalut tubuhnya.

“Pak Pradipta,” ujarnya dengan suara yang lembut.

Jantungnya berdesir mendengar suara tersebut. Ingatannya sontak melayang pada malam panas dan dia mendengar bagaimana Ela bersuara ketika dia menikmati–

Dipta kembali menggelengkan kepalanya, mencoba menjernihkan pikirannya kembali dan fokus pada seseorang yang berdiri di hadapannya sekarang.

Dipta menunjukkan kamera tersembunyi yang berhasil diamankan.

“Biarkan saya menyisir ruangan ini sekali lagi. Saya khawatir masih ada beberapa kamera yang tersembunyi di seluruh ruangan,” ujarnya dengan tegas.

Tanpa menunggu jawaban Ela, Dipta kembal memutari seluruh ruangan. Kali ini dia menyusuri setiap sudut dengan teliti. Memastikan semua telah dicek secara sempurna.

Dari sudut matanya, Dipta melihat Ela menggigit bibir bawahnya seraya memerhatikan gerak Dipta dengan saksama.

Di tangannya, total ada 3 kamera tersembunyi dengan sound system yang tertanam di-device tersebut.

“Ada yang menyabotase kita, Bu,” ujar Dipta kepada Ela seraya menunjukkan hasil inspeksinya.

Dipta melihat Ela masih kebingungan dan gadis itu juga tak tahu bagaimana menanggapi hal yang terjadi di antara mereka.

Ela menatap jari manisnya tempat cincin berlian yang disematkan tunangan gadis itu malam tadi.

“Aku harus gimana sekarang?” tanya Ela dengan lemah.

“Kalau Dhanu sama Papa tahu gimana?” ujarnya menambahkan.

Dipta berdeham.

“Saya akan bertanggungjawab, dan saya akan bicara kepada Pak Hendra dan Pak Dhanu jika diperlukan.”

Dipta Bagaskara siap menanggung konsekuensinya. Konsekuensi tidur bersama putri atasannya.

Dipecat adalah hukuman teringan yang akan siap dia terima.

“Gimana caranya tanggung jawab?” Ela mengernyitkan dahinya.

Dia melihat tangan gadis itu gemetar.

“Saya akan menjelaskan semuanya, dan saya ingin meminta maaf semalam–”

Permintaan maaf Dipta terinterupsi dengan bel yang berulang kali berbunyi.

Ela beranjak ingin mengecek siapa orang di balik pintu tersebut, namun Dipta menahannya dan menggelengkan kepalanya.

“Biar saya yang cek,” ujarnya sambil menempelkan telunjuk di bibirnya. Mengisyaratkan agar mereka berdua tak perlu berbicara.

Lewat lubang intip, Dipta mengecek siapa yang menggedor pintu kamar ini secara paksa.

Dan dari balik lensa terlihat siapa yang tak sabaran memencet bel sekaligus menggerakkan gagang pintu otomatis kamar ini.

“Elaina! Keluar sekarang!”

Ela terkesiap kaget saat mendengar suara di luar.

“Ada Pak Hendra Dharmawan dan Pak Dhanu di depan, Bu Elaina.”

“Papa?” Elaina bertanya dengan pelan.

Dipta menganggukkan kepalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status