ELA
Belum hilang kebingungannya pagi ini ketika dia mendapati dirinya berada di pelukan ajudannya–dengan telanjang pula! Kini dia dikagetkan dengan gedoran pintu serta panggilan marah papanya yang membuatnya semakin khawatir.Elaina tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Otaknya masih buntu. Tubuhnya masih terasa nyeri, dan kepalanya masih begitu berat.Sosok Pradipta yang terlihat tenang setidaknya membuat kepanikannya sedikit berkurang meskipun tangannya masih terasa kebas dan begitu dingin.Pradipta membuka pintunya dan kamar hotel ini langsung diserbu dengan kedatangan papanya beserta tunangannya, Dhanu.“Jelaskan arti semua ini Pradipta!” Suara papa yang begitu menggelegar membuat Elaina berjungkit kaget.Di samping papa, Dhanu hanya membisu dan menatap Ela dengan tatapan tajam yang membuat Ela semakin merasa kecil.Di tubuhnya hanya terbalut bathrobe putih hotel, rambutnya basah sehabis shower. Sedangkan ajudannya yang berada dalam satu kamar bersamanya berdiri dengan kemeja kusut yang dimasukkan asal ke dalam celana hitamnya. Rambut hitam legamnya berantakan.Dan kamar ini–kamar ini begitu berantakan. Sukses menegaskan kegiatan panas mereka semalam dengan gamblang.“Kurang ajar kamu! Berani-beraninya menyentuh anak saya!” Tanpa tedeng aling-aling, papa langsung meninju wajah Pradipta.Ela berteriak keras.“Papa!” Suara Ela bergetar menahan tangis.“Murahan sekali kamu, Nak! Semalam kamu baru saja menukar cincin dengan Dhanu dan secepat itu juga kamu melebarkan kaki untuk pria rendahan seperti Pradipta, hah!”“Bapak! Ini tidak seperti yang Anda pikirkan!” Pradipta menyela dengan cepat ketika papa menghardik dirinya dengan kata-kata yang menyakitkan.“Shut up, bajingan lo ya! Cewek gue itu! Jangan-jangan lo perkosa ya! Mana mau Ela sama cowok kayak lo!”“Dhanu! Aku dan Pak Pradipta nggak seperti itu!” Ela mencoba membela dirinya.Tapi tunangannya itu terlanjur gelap mata. Menolak mentah-mentah pembelaan jujur yang diucapkan dirinya dan Pradipta sejak awal.Kali ini Dhanu meluapkan emosinya dan mendorong Pradipta dengan segenap kekuatannya. Tapi Pradipta tetap bergeming dan tak goyah dari tempatnya berdiri meskipun diserang oleh papa dan Dhanu.Ajudannya hanya diam saja menerima caci maki serta tuduhan jahat yang diucapkan kedua pria yang paling Ela percaya.“Papa, Dhanu–ini nggak seperti yang kalian pikirkan!” Ela mencoba membela diri serta menyelamatkan Pradipta dari amukan mereka.“Pak, tolong dengarkan penjelasan kami dahulu,” ujar ajudannya tersebut dengan nada genting.Tubuhnya bergerak mendekati sang papa dan mencoba menatap atasannya tersebut secara langsung. Mencoba memastikan jika papanya–Hendra Dharmawan mendengarkan secara utuh penjelasan Pradipta.Namun papanya kepalang murka.Dia menepis tangan Pradipta dan menolak mendengar penjelasan lebih lanjut Pradipta secara terbuka. Alih-alih, papanya justru mencengkram tangan Ela dengan kuat hingga dirinya mengernyit kesakitan.“Papa, hentikan. Ini sakit,” ujar Elaina sambil menahan nyeri di pergelangan tangannya.“Pulang sekarang! Kamu telah mencoreng nama baik keluarga dengan tindakan menjijikkan seperti ini, Ela!” Papanya seperti tak mengacuhkan rintihan sakit Ela dan tetap menyeret Ela untuk mengikutinya keluar dari kamar ini.Pradipta melihatnya dan mengeratkan rahangnya. Sedetik kemudian pria itu bereaksi dengan menahan papanya dan berusaha melepaskan cengkraman yang menyakiti pergelangan tangan Ela.“Pak Hendra, tolong. Ela tak bersalah. Jangan menyentuhnya seperti ini.” Ajudannya menggelengkan kepala dan membawa Ela berdiri di belakang tubuhnya.Membuat tubuh tegapnya sebagai perisai agar Ela tak lagi diserang oleh papa dan Dhanu.“Om, saya nggak bisa begini! I don’t accept broken goods like her. Saya nggak bisa! Nggak ada pernikahan antara saya dan Ela.” Dhanu meraup wajahnya dengan kesal dan tak lama dia meninggalkan kamar hotel ini.Meninggalkan Ela yang pucat pasi setelah dihina serendah-rendahnya oleh tunangannya itu.Broken goods?Setega itukah tunangannya menilai Ela? Barang yang cacat?“Pak, kami dijebak.” Pradipta mengucapkan fakta tersebut secara lantang di hadapan ayahnya.Wajah ayah memerah.“Jangan berbohong! Pasti kalian mencari alasan untuk menutupi kegiatan busuk kalian!” Ayah menggelengkan kepalanya.Masih tak percaya dengan pembelaan yang diutarakan barusan.“Papa, please percaya sama aku,” pinta Ela dengan suara bergetar.Pengawalnya maju ke depan dan menyerahkan kamera tersembunyi yang berhasil Pradipta amankan."Ini buktinya, Pak. Ada orang sudah menyetting tempat ini sebagai tempat penjebakan Ibu Ela dengan saya," tukas Pradipta dengan tegas."Pa, aku sama Pak Pradipta diberikan obat nggak jelas, aku nggak tahu apa yang terjadi," ujar Ela menambahkan.Dia menggenggam tangan papanya, mencoba meyakinkan orang tuanya apa yang sebenarnya terjadi.Tatapan ayahnya semakin menajam. Hendra Dharmawan menatap Pradipta dengan tatapan benci."Tapi itu tak menutupi fakta bahwa kalian telah tidur bersama. Bahkan dengan statusmu sebagai tunangan Dhanu!" tepis papanya yang kini pandangannya beralih kepadanya.Hati Ela hancur berkeping-keping.Satu orang yang diharapkan untuk mengerti akan keadaannya ini justru membalikkan punggungnya dan bersikeras menyalahkan Elaina tanpa ampun."Sikapmu murahan. Tak bisa menjaga nama baik Dharmawan. Entah bagaimana Papa menghadapi kemarahan keluarga Pak Rahmat Trihadi jika dia mengetahui kejadian memalukan ini!"Bahkan, hingga detik ini–hanya satu hal yang dipikirkan oleh seorang Hendra Dharmawan.Reputasi dan nama baik keluarga.Persetan dengan perasaan Ela yang babak belur dengan kemalangan yang diterimanya hari ini.“Pak Hendra, tolong. Jangan seperti itu kepada Bu Ela. Saya akan bertanggung jawab atas semua kejadian ini.”Satu-satunya orang yang teguh membelanya sejak awal hingga akhir hanyalah Pradipta Bagaskara.Pengawalnya.Pria berumur 35 tahun yang bersikap datar, dingin, namun profesional setiap dia melaksanakan tugasnya menjaga Ela. Pradipta Bagaskara selalu menjaga jarak dengannya dalam enam bulan terakhir penugasannya sebagai pengawal pribadi Elaina.Namun, di malam tadi Elaina akhirnya melihat bagaimana wajah pria itu jika diliputi gairah yang membara di atas tubuhnya.Papanya tertawa mengejek usai Pradipta mengucapkan janjinya.“Bertanggung jawab? Hah!” Papa menggelengkan kepalanya tak percaya.“Kau bahkan tak bisa menjaga nafsumu dalam bertugas, dan kini jumawa mengatakan akan bertanggung jawab? Lancang sekali kamu!” hardik papa keras-keras.Pradipta mereguk salivanya dengan kasar. Tapi dia diam tak membantah ketika bosnya tersebut memberikan sindiran tajam kepadanya.“Saya memecatmu, Pradipta. Jangan pernah menginjakkan kaki di kediaman kami lagi. Tidak ada surat referensi dari kami. Ini kesalahan fatal dan tak akan saya maafkan sepanjang hidup saya!”Hati Ela mencelos mendengar hukuman yang dijatuhkan ayahnya kepada sang ajudan.“Ela, pulang. Sekarang Papa tidak mau melihat wajah kalian berdua. Temui Papa di rumah nanti!”Setelah itu papanya pergi dari kamar hotel yang menjadi saksi bisu hancurnya kebahagiaan Ela.Tunangannya menolak dirinya mentah-mentah.Dirinya dijebak dengan brutal malam tadi, dan hasilnya adalah dia kehilangan hal yang dia jaga sepanjang hidupnya, harga dirinya, tunangannya yang Ela cintai, dan juga kepercayaan sang papa.Semuanya hilang dan runtuh dalam sekejap.Tak tahan, Ela akhirnya luruh ke lantai–menangis tanpa suara.“Oh, Bu Ela,” ujar Pak Pradipta yang segera bersimpuh di sampingnya.Pria itu mencoba menenangkan hati Ela yang hancur berkeping-keping. Pradipta merangkul tubuh Ela yang berlutut di lantai. Kedua tangannya menutupi wajahnya Tapi tangisnya justru semakin kencang, dan sesak di dadanya semakin menghimpit.“Bu… please jangan menangis. Saya akan lakukan apapun yang Bu Ela minta, apa pun.” Suara Pak Pradipta menjadi serak.“Elaina… maafkan saya.” Pradipta kembali mengutarakan maaf kepadanya.Dua insan yang terjebak dalam kemalangan terencana oleh orang jahat yang menghendaki kejatuhan mereka.“Kita akan urai satu persatu, ya? Saya akan usut sampai tuntas dan mencari dalangnya bahkan hingga ke ujung dunia!”“Tapi gimana caranya? Bahkan Papa dan Dhanu nggak percaya sama sekali denganku!” ujarnya tergugu di sela tangisannya.Meskipun dadanya masih sesak, air matanya telah berhenti mengalir. Mungkin karena hatinya sudah kebas. Terlalu sakit hingga tak lagi berfungsi dengan wajar.Ela menengadahkan wajahnya dan mendapati sosok pengawalnya yang setia menjaga dan menemaninya di dalam ruangan ini.Pradipta mengusap pelan pipi Ela yang masih basah karena jejak air mata yang meluncur sedari tadi.“Saya yang akan cari caranya, okay? Jangan menangis lagi. Ada saya di sini.”DIPTAMobil dinas yang biasa ditumpangi bersama tim pengawal lainnya sudah ditarik oleh Pak Hendra seiring dengan kepulangan keluarga bosnya itu kembali ke kediamannya. Dipta melihat Ela yang menunduk malu saat mereka melewati lobi hotel bintang lima ini tempat semalam Ela menggelar pesta pertunangannya. Dia tak bisa diam saja melihat betapa menyedihkannya sikap Ela sekarang. Menunduk dan membiarkan surai rambut hitamnya yang setengah basah menutupi wajah cantik pucatnya tanpa make-up. Gaun bertali tipis yang melekat sempurna di tubuh indahnya pun siang ini membuat sang empunya merasa tak nyaman. Gelagat dan suasana muram ini tersampaikan kepadanya–seorang pria yang berjalan bersisian di sampingnya. Dengan cekatan Dipta membuka jas hitamnya dan menyampirkan ke bahu Ela. Gadis itu menoleh dan menatapnya dengan nanar. Elaina berusaha menutupi kesedihan di balik senyumnya yang cantik. “Terima kasih,” ujarnya pelan. The ever polite princess. Bahkan di tengah keadaan brutal seperti
ELAEla melepas gaun yang melekat pada tubuhnya sesaat setelah dia tiba di kamarnya. Dia mematut dirinya di depan cermin besar, melihat refleksi wajah dan tubuhnya yang terlihat menyedihkan sembari termenung. Gerakannya mengganti pakaian kemudian menyisir rambutnya terasa seperti autopilot. Rasa sakit hatinya mengalahkan semua pemikiran yang sedang bercokol hebat di dalam otaknya. Ela tak menyangka bagaimana keluarganya menolak mentah-mentah tentang fakta yang dialaminya dan memilih untuk membicarakan kelanjutan nasib keluarga mereka dibandingkan mengecek keadaannya. Belum lagi Dhanu. Pria yang dia anggap sebagai salah satu orang yang akan membelanya justru memilih untuk mencampakkannya dan dengan tegas mengutarakan penolakannya atas pertunangan mereka. Tak lama Ela tertawa sendiri, seperti orang gila. Ya, dia memang jadi gila! Ternyata ini adalah wajah asli keluarga Dharmawan. Ela ternyata hidup dalam keluarga semu dan semua persepsinya tentang kehangatan keluarga hanyalah ilusi
Lihat, betapa terkejutnya wajah kedua orang tuanya serta kakaknya ketika Ela berbicara seperti itu!Mereka semua menganggap Ela gila!Memang benar! Dia sudah gila, dan dia tak akan melepas semua kungkungan yang memenjarakan dirinya dan akan bertindak bebas sesuai keinginan hatinya. “Jangan gila kamu!” Papa mengalihkan pandanganya dari Pradipta kepada dirinya. Ela menyadari jika wajahnya refleks tersenyum. Mungkin ini senyum pertamanya sejak kejadian malam itu. Deshinta sang kakak pun menatapnya seperti Ela seorang pesakitan yang baru saja kabur dari rumah sakit khusus pasien jiwa. “Apa mau pria lain bertanggung jawab dengan ini semua dan membesarkan anakku kelak, Pa? Bukankah itu malah menjadi skandal yang lebih besar?” Ela bertanya langsung kepada papanya. Dia tahu Hendra Dharmawan mementingkan nama baik di atas segalanya. Tentu saja ucapannya tadi langsung mendapatkan perhatian penuh papanya. “Pasti ada pria terhormat lainnya yang bisa menikahimu,” balas sang papa dengan nada
DIPTADipta melihat bagaimana bosnya–atau mantan bosnya, memperlakukan putrinya sendiri terhadap musibah yang menimpa gadis itu.Setelah naik turunnya emosi seperti roller coaster sejak tadi, Dipta menghela napasnya dan menatap Ela sekali lagi. “Mau saya temani?” tanyanya pelan. Gadis itu terlihat rapuh dan wajahnya pias. Apalagi setelah pertengkaran hebat dengan kedua orang tuanya dan tuntutannya agar dia menikah dengan Dipta, jika ada kehidupan baru–Jantung Dipta kembali berpacu kencang. “Uh… kapan kita bisa tahu kalau, kamu mengandung?” tanya Dipta dengan tenang, meskipun kini jantungnya kebat-kebit.Ela mengedikkan bahunya. “Sekitar dua minggu? Tunggu apa aku terlambat datang bulan atau nggak,” jawab Ela pelan. Wajah gadis pun memerah ketika menjelaskan perihal tersebut. Dipta mengangguk. “Saya akan selalu mendukung keputusan Ibu kelak. Mau,uh dilanjutkan atau–” Belum sempat Dipta menjelaskan opsi terakhir yang begitu pahit di mulutnya, Elaina sudah menggelengkan kepalany
“Saya khawatir dengan ucapan buruk orang terhadapmu,” ujarnya jujur. “Saya nggak pernah merasa malu dengan profesi saya sebagai pengawal. Saya mendapatkan nafkah dengan cara halal. Tapi… saya tidak bisa tutup mata tentang dunia kamu.” Dipta menambahkan dengan serius. Dunia Elaina dari sudut pandang Dipta penuh dengan persaingan, intrik, saling sikut dan jegal. Perang opini hingga cara-cara kotor dilakukan demi status, kekayaan, kekuatan dan power merupakan cara lumrah dalam dunia elit milik Elaina. Dia tahu Ela pasti akan menjadi sasaran empuk dan target point blank dari para hyena yang menunggu kejatuhan Ela. Belum lagi musuh politik Pak Hendra Dharmawan yang akan mencari celah menjatuhkan pria itu lewat Elaina. “Maksud kamu duniaku kotor, begitu?” tanya Ela sambil mengernyitkan dahi. Dengan gelagapan Dipta mengoreksi asumsi Ela. “Bukan begitu, Ela!” bantahnya. “Maksud saya, duniamu itu ‘kan begitu keras. Saya khawatir jika kamu bersama dengan saya… nanti kamu akan menjadi tar
ELA Percakapannya dengan Dipta berakhir sebelum petang datang. Setidaknya Ela mendapatkan kepastiannya dan dia mulai berani merajut sendiri masa depannya kelak. Mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak. Kini pikirannya tercurah pada masalah baru yang timbul akibat dari satu malam panas itu bersama pengawalnya. Di tengah lamunannya, Ela mendapati Dipta berdiri dari kursinya dan memegang gagang kursi yang menopang kepalanya. Sontak Ela menengadah dan menatap Dipta dengan serius. “Saya akan kembali lagi dan berbicara jika semua sudah lebih tenang.” Dipta mengulas senyum tipis ke arahnya. Aneh sekali, biasanya hanya Dhanu yang mampu membuatnya salah tingkah. Tapi kini senyum
“Bukannya kamu sendiri yang ngotot mau menikah dengan Dipta tadi? Why do you think that you are the victim here?” Sindiran demi sindiran dilontarkan Deshinta tanpa henti kepadanya. Ela mengerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa panas yang beresonansi dengan denyut sakit di hatinya. Dia sudah terbiasa beradu pendapat dengan sang kakak. Terutama sejak kejadian Harsya beberapa tahun lalu. Hubungan yang semakin menjauh, ditambah dengan bibit kebencian yang disebar oleh Deshinta secara sadar kini mulai bertumbuh layaknya duri di hati Elaina. “All of the people, the real victims are Dhanu, Papa and Om Rahmat!” desis Deshinta penuh penghakiman. Ela tak terima disudutkan dan selalu dianggap sebagai penjahat di mata kakaknya. “Kamu malah playing victim di sini!” Semakin Ela diam, semakin nyalang kebencian yang kakaknya tunjukkan secara gamblang kepadanya. “Mbak, aku nggak mau berdebat dengan kamu. Semua yang aku katakan pasti selalu saja dicari pembenarannya sama kamu,” ujarnya l
Rasanya seperti ditampar keras oleh papanya sendiri. Elaina tak menyangka jika ucapan serendah itu diucapkan oleh papanya sendiri kepada dirinya.“Papa ngomong gitu ke aku?” bisik Ela tak percaya. Papanya bisa mengeluarkan statement menyakitkan seperti itu tanpa beban. Justru tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepadanya.“Itu fakta bukan? Kamu sudah tidur dengan pengawal itu semalam. Siapa yang bisa jamin kamu nggak akan hamil setelahnya.” Ela mereguk salivanya.“Ini gila, Pa! Papa tega bicara seperti itu sama anak sendiri?” Pikirannya tiba-tiba blank. Tak tahu harus bagaimana bersikap setelah papanya sukses menyakiti hatinya bertubi-tubi sejak semalam.