DIPTA
Mobil dinas yang biasa ditumpangi bersama tim pengawal lainnya sudah ditarik oleh Pak Hendra seiring dengan kepulangan keluarga bosnya itu kembali ke kediamannya.
Dipta melihat Ela yang menunduk malu saat mereka melewati lobi hotel bintang lima ini tempat semalam Ela menggelar pesta pertunangannya.
Dia tak bisa diam saja melihat betapa menyedihkannya sikap Ela sekarang. Menunduk dan membiarkan surai rambut hitamnya yang setengah basah menutupi wajah cantik pucatnya tanpa make-up.
Gaun bertali tipis yang melekat sempurna di tubuh indahnya pun siang ini membuat sang empunya merasa tak nyaman. Gelagat dan suasana muram ini tersampaikan kepadanya–seorang pria yang berjalan bersisian di sampingnya.
Dengan cekatan Dipta membuka jas hitamnya dan menyampirkan ke bahu Ela.
Gadis itu menoleh dan menatapnya dengan nanar. Elaina berusaha menutupi kesedihan di balik senyumnya yang cantik.
“Terima kasih,” ujarnya pelan.
The ever polite princess. Bahkan di tengah keadaan brutal seperti ini, gadis itu selalu ingat akan perfect manner yang melekat sempurna dalam tindak-tanduk dan ucapannya.
A pure class.
Begitu Dipta menyebut putri jelita ini.
Dipta tak berani bersuara dalam beberapa saat, dia tak ingin gadis itu mendengar bagaimana serak dan emosionalnya dia saat ini.
Keheningan melingkupi mereka selama mereka berdua berdiri di depan lobi, menunggu taksi tiba. Tak tahan dengan suasana sedih yang tercipta, Dipta memberanikan diri
“Jangan menunduk, Bu. Anda tidak salah.” Dipta menggumamkan ucapannya.
“Ucapan mereka tak perlu dihiraukan. Mereka bukan orang yang signifikan dalam hidup Bu Ela.”
Ucapannya membuahkan satu tatapan panjang dari Elaina. Dan tak lama kemudian dia tersenyum kecil.
“Iya juga, ya.” Jawaban dengan suara lembut keluar dari bibir cantik dan penuh milik gadis itu.
Akhirnya Dipta memutuskan akan mengantar Elaina kembali ke rumahnya dengan menggunakan taksi.
Sampai di rumah mewah Hendra Dharmawan yang merupakan mantan ketua DPR periode sebelumnya membuat Dipta secara refleks menghembuskan nafasnya.
“Bu Ela dan Dipta ditunggu Bapak di ruang kerjanya.”
Ketika pintu utama terbuka, mereka sudah disambut oleh Pak Ridho yang merupakan ajudan utama Pak Hendra. Atasannya.
Well, kini statusnya adalah mantan atasannya Dipta.
Pak Ridho menggelengkan kepalanya penuh kekecewaan saat pandangan mata mereka bertemu satu sama lain.
“Kacau kamu, Dipta!” bisiknya pelan saat mereka melangkah menyusuri foyer dan masuk ke dalam ruang tamu.
Ruang kerja Pak Hendra ada di lantai dua, mereka melewati tangga marmer mewah dan suara sepatu hak tinggi Ela menggema di setiap langkahnya. Seakan menjadi latar belakang yang pas untuk eksekusi Dipta kelak di hadapan Pak Hendra.
Di depan pintu, Ela berdiri gamang dan beberapa kali terlihat mengatur napasnya.
“Saya yang akan bertanggung jawab, Bu.” Dipta refleks memegang lengan atasannya itu dengan lembut.
Mencoba meyakinkan gadis itu jika dia tak sendiri dan Dipta siap menanggung semuanya.
Ela hanya melemparkan senyum sedih ke arahnya sebelum akhirnya membuka pintu dan berjalan terlebih dahulu masuk ke dalam.
Kedua orang tua Ela dan kakak perempuannya sudah tiba di ruang itu. Saat pintu terbuka dan mereka berdua masuk, ayah dan ibu Ela duduk lebih tegap. Sedangkan kakak perempuannya berdiri di belakang kursi sang ibu dan menatap Ela dengan tatapan datar.
"Duduk," perintah Pak Hendra kepada anak perempuannya.
Ela menuruti dan duduk di single sofa. Berhadapan langsung dengan ketiga anggota keluarganya yang lain. Sebuah pernyataan implisit yang menerangkan posisi saling berlawanan dengan keluarganya sendiri.
Dipta melirik ke arah Ela dan jantungnya berdetak kencang.
Ikut bersedih karena Ela sepertinya juga menyadari di mana posisinya kini dalam keluarga Dharmawan.
“Papa tak menerima permintaan maaf kalian!” ujar bosnya itu dengan lantang.
Nyonya Dharmawan terlihat menyeka air matanya dan menggelengkan kepala berulang kali. Kecewa berat dengan kejadian yang menimpa putrinya.
“Dhanu dan Pak Rahmat juga sudah bulat untuk membatalkan pertunangan kalian,” tambalnya dengan geram.
“Kamu tahu berapa besar kerugian yang harus Papa tanggung atas tindakan murahan kalian, hah?”
Hendra Dharmawan akhirnya menggebrak meja kayunya dengan kencang. Melampiaskan seluruh kemarahan yang bercokol dalam hatinya.
“Kalian pikir menjadi menantu Pak Rahmat itu gratis? Tidak! Papa harus menjadi sponsor pria itu untuk pemilu mendatang!”
Kini seluruh dokumen yang berada di atas meja disapu bersih oleh gerakan agresif Hendra Dharmawan.
Ela berjengit melihat bagaimana murkanya sang ayah atas musibah yang menimpa dirinya. Mungkin karena air matanya telah terkuras tadi pagi bersama Dipta di dalam kamar hotel sialan itu, kini gadis itu hanya melihat ayahnya dengan tatapan kosong tanpa ada air mata yang jatuh setetes pun.
Dipta ingin sekali membantah ucapan bebal bosnya–atau mantan bosnya yang kini tak kenal lelah merendahkan dirinya dan putrinya sendiri.
“Terus sekarang gimana, Pa? Nggak bisa kita begini! Mau ditaruh di mana muka Mama?” Suara Nyonya Dharmawan meraung-raung di tengah-tengah gempuran teriakan murka Hendra Dharmawan.
Fokus Dipta hanyalah tertuju pada Elaina.
Gadis itu diam seribu bahasa dan hanya menatap kedua orang tuanya dengan datar.
“Kita harus bertanggung jawab, Pa! Nggak mungkin kita mencoreng nama baik kedua keluarga besar dengan skandal ini!” Tiba-tiba suara kakak perempuan Ela terdengar menimpali.
Deshinta Puspa Dharmawan. Kakak Ela yang terpaut dua tahun di atas Ela memberikan pendapatnya. Perempuan itu bersidekap sambil menatap Ela dengan tatapan tajam.
“Gimana caranya mau bertanggung jawab? Bahkan Dhanu saja tidak sudi bertemu dengan adikmu! Dia jijik dan mual katanya melihat Ela yang begitu–begitu–Hah!” Pria itu tak bisa berkata-kata saking marahnya dengan keadaan tersebut.
“Memalukan!” gelegar Hendra Dharmawan dalam menanggapi ucapan barusan.
Prang!
Hendra Dharmawan kembali mengamuk, dan kali ini dia melemparkan gelas kaca whiskey tepat ke dinding yang berada di belakang Ela.
Dipta dengan refleks cepatnya bangkit dari duduk dan melindungi gadis itu dengan cara membawa tubuh Ela dalam dekapannya. Memastikan sisa pecahan kaca tak ada yang melukai wajah maupun tubuh gadis itu.
“Kamu baik-baik saja? Ada yang terluka?” Dipta berbisik di telinga Ela.
Sebisa mungkin tak ingin mengejutkan Elaina.
“Papa!” Kali ini, Ibu Clara berteriak histeris setelah melihat bagaimana suaminya lepas kendali.
Suasana sempat sunyi dan mencekam beberapa saat.
Sampai akhirnya gadis yang berada dalam dekapannya mendorong tubuh Dipta dan berdiri dari kursinya. Masih mengenakan gaun pertunangannya, dengan cincin berlian yang melingkar indah di jari manisnya.
Layaknya seorang putri, Ela berjalan dengan penuh keanggunan dan ketenangan luar biasa untuk mencapai meja kerja ayahnya yang kini berantakan.
Ela melepas cincin yang tersemat di jari manisnya dan meletakkannya di atas meja.
“Sepertinya apapun yang Ela katakan, tak akan pernah kalian percaya.” Suaranya yang serak terdengar tenang.
“Kamu itu mabuk, bisa-bisanya tidur sama pria lain padahal tunanganmu tersenyum sepanjang malam menjamu tamu, huh?!” Deshinta kini mencicit, seperti mengguyur bensin di atas api yang berkobar.
“Ada yang memberiku obat,” balas Ela tanpa terprovokasi.
“Cih!” desis kakak perempuan Ela dengan pelan.
Begitu jelas ketidakpercayaan mereka kepada Elaina. Keluarga mereka sendiri.
“Aku nggak bisa membayar semua kerugian yang telah diciptakan, Pa.” Ela kembali melanjutkan pembicaraannya.
Tapi kali ini suaranya sedikit bergetar. Kesulitan menjaga ritme dan emosi yang menekan batinnya.
“Papa, biarkan aku bicara dengan Dhanu dan Om Rahmat.” Deshinta menyelak pembicaraan Ela.
Semua mata tertuju pada Deshinta.
“Aku yang akan gantikan posisi Ela sebagai tunangan Dhanu. Dengan demikian Papa nggak perlu memikirkan kerugian, dan keluarga besar kita tak akan didera rasa malu karena kelakuan satu orang,” ujar Deshinta yang membuat kedua orang tuanya kaget.
Sedangkan Ela, dia hanya menatap kakak perempuannya dengan perasaan sakit yang tak bisa ditutupi lagi.
“Tega kamu, Mbak!” hanya itu yang Ela ucapkan sebelum dia keluar dari ruangan ini.
Dipta mengikuti arah gerak Ela dan hampir saja mengekor di belakangnya sebelum Pak Hendra menghentikannya.
“Berhenti, Dipta. Kita belum selesai berbicara.”
ELAEla melepas gaun yang melekat pada tubuhnya sesaat setelah dia tiba di kamarnya. Dia mematut dirinya di depan cermin besar, melihat refleksi wajah dan tubuhnya yang terlihat menyedihkan sembari termenung. Gerakannya mengganti pakaian kemudian menyisir rambutnya terasa seperti autopilot. Rasa sakit hatinya mengalahkan semua pemikiran yang sedang bercokol hebat di dalam otaknya. Ela tak menyangka bagaimana keluarganya menolak mentah-mentah tentang fakta yang dialaminya dan memilih untuk membicarakan kelanjutan nasib keluarga mereka dibandingkan mengecek keadaannya. Belum lagi Dhanu. Pria yang dia anggap sebagai salah satu orang yang akan membelanya justru memilih untuk mencampakkannya dan dengan tegas mengutarakan penolakannya atas pertunangan mereka. Tak lama Ela tertawa sendiri, seperti orang gila. Ya, dia memang jadi gila! Ternyata ini adalah wajah asli keluarga Dharmawan. Ela ternyata hidup dalam keluarga semu dan semua persepsinya tentang kehangatan keluarga hanyalah ilusi
Lihat, betapa terkejutnya wajah kedua orang tuanya serta kakaknya ketika Ela berbicara seperti itu!Mereka semua menganggap Ela gila!Memang benar! Dia sudah gila, dan dia tak akan melepas semua kungkungan yang memenjarakan dirinya dan akan bertindak bebas sesuai keinginan hatinya. “Jangan gila kamu!” Papa mengalihkan pandanganya dari Pradipta kepada dirinya. Ela menyadari jika wajahnya refleks tersenyum. Mungkin ini senyum pertamanya sejak kejadian malam itu. Deshinta sang kakak pun menatapnya seperti Ela seorang pesakitan yang baru saja kabur dari rumah sakit khusus pasien jiwa. “Apa mau pria lain bertanggung jawab dengan ini semua dan membesarkan anakku kelak, Pa? Bukankah itu malah menjadi skandal yang lebih besar?” Ela bertanya langsung kepada papanya. Dia tahu Hendra Dharmawan mementingkan nama baik di atas segalanya. Tentu saja ucapannya tadi langsung mendapatkan perhatian penuh papanya. “Pasti ada pria terhormat lainnya yang bisa menikahimu,” balas sang papa dengan nada
DIPTADipta melihat bagaimana bosnya–atau mantan bosnya, memperlakukan putrinya sendiri terhadap musibah yang menimpa gadis itu.Setelah naik turunnya emosi seperti roller coaster sejak tadi, Dipta menghela napasnya dan menatap Ela sekali lagi. “Mau saya temani?” tanyanya pelan. Gadis itu terlihat rapuh dan wajahnya pias. Apalagi setelah pertengkaran hebat dengan kedua orang tuanya dan tuntutannya agar dia menikah dengan Dipta, jika ada kehidupan baru–Jantung Dipta kembali berpacu kencang. “Uh… kapan kita bisa tahu kalau, kamu mengandung?” tanya Dipta dengan tenang, meskipun kini jantungnya kebat-kebit.Ela mengedikkan bahunya. “Sekitar dua minggu? Tunggu apa aku terlambat datang bulan atau nggak,” jawab Ela pelan. Wajah gadis pun memerah ketika menjelaskan perihal tersebut. Dipta mengangguk. “Saya akan selalu mendukung keputusan Ibu kelak. Mau,uh dilanjutkan atau–” Belum sempat Dipta menjelaskan opsi terakhir yang begitu pahit di mulutnya, Elaina sudah menggelengkan kepalany
“Saya khawatir dengan ucapan buruk orang terhadapmu,” ujarnya jujur. “Saya nggak pernah merasa malu dengan profesi saya sebagai pengawal. Saya mendapatkan nafkah dengan cara halal. Tapi… saya tidak bisa tutup mata tentang dunia kamu.” Dipta menambahkan dengan serius. Dunia Elaina dari sudut pandang Dipta penuh dengan persaingan, intrik, saling sikut dan jegal. Perang opini hingga cara-cara kotor dilakukan demi status, kekayaan, kekuatan dan power merupakan cara lumrah dalam dunia elit milik Elaina. Dia tahu Ela pasti akan menjadi sasaran empuk dan target point blank dari para hyena yang menunggu kejatuhan Ela. Belum lagi musuh politik Pak Hendra Dharmawan yang akan mencari celah menjatuhkan pria itu lewat Elaina. “Maksud kamu duniaku kotor, begitu?” tanya Ela sambil mengernyitkan dahi. Dengan gelagapan Dipta mengoreksi asumsi Ela. “Bukan begitu, Ela!” bantahnya. “Maksud saya, duniamu itu ‘kan begitu keras. Saya khawatir jika kamu bersama dengan saya… nanti kamu akan menjadi tar
ELA Percakapannya dengan Dipta berakhir sebelum petang datang. Setidaknya Ela mendapatkan kepastiannya dan dia mulai berani merajut sendiri masa depannya kelak. Mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak. Kini pikirannya tercurah pada masalah baru yang timbul akibat dari satu malam panas itu bersama pengawalnya. Di tengah lamunannya, Ela mendapati Dipta berdiri dari kursinya dan memegang gagang kursi yang menopang kepalanya. Sontak Ela menengadah dan menatap Dipta dengan serius. “Saya akan kembali lagi dan berbicara jika semua sudah lebih tenang.” Dipta mengulas senyum tipis ke arahnya. Aneh sekali, biasanya hanya Dhanu yang mampu membuatnya salah tingkah. Tapi kini senyum
“Bukannya kamu sendiri yang ngotot mau menikah dengan Dipta tadi? Why do you think that you are the victim here?” Sindiran demi sindiran dilontarkan Deshinta tanpa henti kepadanya. Ela mengerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa panas yang beresonansi dengan denyut sakit di hatinya. Dia sudah terbiasa beradu pendapat dengan sang kakak. Terutama sejak kejadian Harsya beberapa tahun lalu. Hubungan yang semakin menjauh, ditambah dengan bibit kebencian yang disebar oleh Deshinta secara sadar kini mulai bertumbuh layaknya duri di hati Elaina. “All of the people, the real victims are Dhanu, Papa and Om Rahmat!” desis Deshinta penuh penghakiman. Ela tak terima disudutkan dan selalu dianggap sebagai penjahat di mata kakaknya. “Kamu malah playing victim di sini!” Semakin Ela diam, semakin nyalang kebencian yang kakaknya tunjukkan secara gamblang kepadanya. “Mbak, aku nggak mau berdebat dengan kamu. Semua yang aku katakan pasti selalu saja dicari pembenarannya sama kamu,” ujarnya l
Rasanya seperti ditampar keras oleh papanya sendiri. Elaina tak menyangka jika ucapan serendah itu diucapkan oleh papanya sendiri kepada dirinya.“Papa ngomong gitu ke aku?” bisik Ela tak percaya. Papanya bisa mengeluarkan statement menyakitkan seperti itu tanpa beban. Justru tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepadanya.“Itu fakta bukan? Kamu sudah tidur dengan pengawal itu semalam. Siapa yang bisa jamin kamu nggak akan hamil setelahnya.” Ela mereguk salivanya.“Ini gila, Pa! Papa tega bicara seperti itu sama anak sendiri?” Pikirannya tiba-tiba blank. Tak tahu harus bagaimana bersikap setelah papanya sukses menyakiti hatinya bertubi-tubi sejak semalam.
DIPTA “Maaf Pak, tapi kami tidak bisa membuka data CCTV sembarangan. Apalagi kepada pihak yang tidak berwenang dan berkepentingan.” Penolakan dari resepsionis hotel tempat mereka semalam dijebak menjawab dengan nada simpatik penuh profesionalitas. “Tapi kemarin di lantai dua puluh terjadi tindak kriminal! Ada penyekapan dan–” Dipta berkata menunjukkan nada frustrasi. “Mohon maaf Bapak Pradipta. Tak ada yang bisa kami lakukan untuk itu.” Kali ini rekan resepsionis pria yang menanggapi permintaannya. “Tapi saya menjadi korbannya!” ujar Dipta setengah mati menahan emosinya. “Kami sarankan Anda berkoordinasi dahulu dari pihak kepolisian,” tambal sang resepsionis yang masih bersikukuh dibalik senyumnya. “Tidak mungkin kalian tidak bisa membuka kalau ada tindak kriminal yang terjadi di hotel kalian.” Dipta berkilah. “Bapak Pradipta, kami tetap berpegang teguh pada SOP kami. Silakan koordinasikan dahulu dari pihak yang berwajib agar kami memiliki basis yang kuat membuka CCTV.” “Privac