Lidah Claire terasa kelu saat mendengar kata-kata Levin, terdengar jelas kalau pria itu begitu memujanya. Kenyataan yang membuat Claire merasa bangga karena ada pria yang begitu menginginkan dirinya dan bersedia menerimanya meski Claire telah melakukan kesalahan besar pada pria itu.
Kesalahan yang belum tentu dapat dimaafkan jika pria itu bukan Levin.Levin menarik nafas panjang, dengan lembut pria itu menggenggam tangan Claire dan berucap pelan,“Kamu dengar ucapan Nick tadi kan? Sahabatmu saja menyarankan agar kita menikah secepatnya. Bisa dibilang Revel juga menerima kehadiranku dengan tangan terbuka meski baru sebatas ‘Uncle’, tapi aku yakin Revel tidak akan keberatan untuk menerimaku menjadi daddynya. Kita buka lembaran baru bersama, beri kesempatan agar kita, aku, kamu dan Revel, bisa hidup bersama dengan status sebagai keluarga resmi, dimana aku menjadi suamimu dan juga daddy dari Revel. Bagaimana?”“Aku…”“Jika kamu masih ragu akan perasaanku, percayaLevin meraih tangan Claire yang sibuk memukuli dada bidangnya dan menggenggamnya erat-erat. “Iya, maaf. Aku yang salah karena asal tuduh. Kamu mau maafin aku kan?”Tidak ada jawaban. Wajah Claire masih memberengut kesal. “Kamu mau maafin aku kan?” desak Levin lagi.“Berisik!” sentak Claire.Kali ini, Levin terbahak. Demi Tuhan! Istrinya terlihat menggemaskan jika sedang merajuk seperti ini! Persis anak kecil! Padahal sudah bisa melahirkan anak kecil!Levin kembali merengkuh Claire ke dalam pelukannya. Kali ini Claire tidak berontak, menikmati pelukan hangat suaminya yang membuatnya merasa nyaman.Hening sejenak sebelum suara Claire kembali terdengar.“Aku juga minta maaf. Aku tau kalau setelah menikah, seharusnya aku lebih menjaga jarak dari pria manapun, tidak lagi terlalu dekat. Tadi Nick juga sudah menasehatiku, hanya saja aku perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Sama seperti dulu saat kamu memintaku untuk memprioritaskan kamu dibanding Nick. Jad
Levin menarik nafas panjang, mencoba menetralkan emosinya. Sayangnya pria itu gagal dan kembali melontarkan kalimat yang membuat Claire kian naik pitam! “Aku hanya tidak ingin kamu terlalu dekat dengan Nick. Hanya itu. Tolong jangan menyalahartikan maksudku. Dan tolong hargai aku sebagai suamimu!” “Apa aku pernah tidak menghargaimu? Aku selalu menuruti ucapanmu. Aku berusaha melayanimu dengan baik. Sejak kita menikah, apa pernah aku membantah ucapanmu? Di bagian mana yang aku tidak menghargaimu sebagai suamiku?” cecar Claire. Levin terdiam. Ucapan Claire memang benar. Sejak mereka menikah, Claire selalu menuruti permintaannya. Selalu melayani hasratnya yang menggebu dan tidak kenal waktu. Selalu melayani keperluannya dengan baik, entah itu menyiapkan sarapan, menyiapkan pakaian kerja, meluangkan waktu untuk mendengar keluh kesahnya di kala suntuk dan masih banyak hal lainnya yang telah Claire lakukan untuknya. Tapi tetap saja, Levin tidak bisa mengusir rasa cembu
Levin masuk ke dalam rumah dengan langkah lebar, lelah rasanya setelah bekerja seharian. Yang dirinya inginkan sekarang hanyalah mandi air hangat, makan malam dan menikmati waktu santainya berdua dengan Claire. Jika dirinya beruntung, mungkin bisa bermain sebentar dengan Revel, meski untuk hal yang satu itu Levin tidak yakin karena hari ini dirinya harus lembur hingga pulang lebih larut dari biasanya. Dan setau Levin, biasanya jam segini putranya sudah terlelap. Namun semuanya pupus saat matanya menangkap kehadiran Nick. Rasa cemburu seketika merasuk ke dalam hatinya saat melihat kedekatan Claire dengan Nick. Dadanya bergemuruh dipenuhi rasa kesal. Hatinya panas terbakar api cemburu yang seolah sanggup membakar habis apa yang ada di sekitarnya. “Claire!”Panggilan Levin membuat Claire menoleh. Wanita itu menghampiri suaminya dengan senyum lebar, belum menyadari kalau Levin sedang dibakar api cemburu! “Hei, akhirnya kamu pulang juga. Aku sudah menunggumu sejak
Nick mengerling saat mendengar ucapan Revel, detik itu juga pria itu sadar ada hal yang belum sempat Claire ceritakan padanya karena raut wajah wanita itu terlihat kesal. Ya, bagaimana tidak kesal? Claire merasa Levin terlalu memanjakan Revel. Selalu menuruti permintaan putra mereka. Hal yang menurut Claire tidak bijak.Sedangkan pola didik Claire adalah menanamkan kemandirian pada Revel sejak kecil. Nick hanya tersenyum saat mendengar keantusiasan Revel, tidak mungkin menanyakan hal itu pada Claire sekarang karena itu adalah hal yang harus dibahas oleh sesama orang dewasa saja. Dan sepanjang perjalanan, Revel tidak berhenti cerita, mendominasi waktu Nick hampir seharian, bahkan setelah mereka sampai di rumah, Revel masih asyik dengan ceritanya! Nick pun tidak terlihat keberatan, malah senang mendengar celotehan Revel. Setidaknya celotehan Revel membuat hidupnya tidak lagi sepi. Setelah lelah bercerita, Revel mengajak Nick bermain. Entah bermain bola di halaman be
Nick meringis saat Claire mengucap kata ‘mencari jodoh’, hal yang belum Nick pikirkan hingga detik ini karena hatinya masih tertutup rapat. Enggan menerima wanita baru setelah dirinya berhasil mengikhlaskan Claire. Karena meski telah berhasil membalut luka di hatinya, tapi luka itu masih belum mengering sepenuhnya. Nick masih perlu waktu untuk memulihkan luka hatinya agar dapat sembuh total. Ya, tanpa sepengetahuan siapapun, sebenarnya kepergian Nick ke Singapura bukan untuk urusan pekerjaan, tapi untuk menjauhkan diri sementara waktu dari Claire. Nick sadar kalau dirinya perlu waktu untuk menetralkan perasaannya agar tidak terus tertuju pada Claire. Dirinya perlu waktu untuk membalut luka hatinya yang berdarah. Dan berjauhan dengan Claire adalah cara terbaik. Claire’s detoxification. Well, itu hanyalah istilah yang Nick buat sendiri karena dirinya harus mendetoksifikasi hati dan pikirannya dari Claire. Ralat, yang mengetahui tentang alasan kepergiannya ke S
Claire bersenandung riang sambil menyiapkan sarapan untuk Levin dan Revel. Rutinitas yang selalu dilakukan semenjak Claire resmi menyandang status sebagai istri. Sejak minggu kemarin, Revel sudah mulai sekolah dan Levin kembali disibukkan dengan urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Sekarang, saat siang hari, rumah terasa sepi dan baru akan kembali ramai saat Revel pulang sekolah. Ya, Claire tidak ingin membuang waktu dan memutuskan untuk menyekolahkan Revel di salah satu International School bergengsi agar pelajaran yang didapatkannya lebih berkualitas. Meski usia Revel belum genap 5 tahun dan masih menjalani pre-school, tapi Claire ingin Revel mendapatkan pendidikan terbaik. Menurutnya, seorang anak harus dibekali pendidikan sebaik mungkin mengingat persaingan kini semakin ketat. “Morning, Mom!” “Morning, Boy!” sapa Claire sambil mengecup pipi Revel dengan sayang. “Susan, tolong ambilkan piring untuk omelet,” pinta Claire yang sibuk berjibaku di d