Malam telah larut, namun ada satu tempat yang justru semakin riuh saat malam semakin pekat. Tempat itu bernama bar. Hingar bingar musik terdengar memekakkan telinga, musik berdentum kencang di salah satu bar yang berada di hotel bintang lima – Bali, tempat dimana para anak muda semangat bergoyang untuk melepas penat.
Musik beat yang menghentak membuat sekumpulan anak muda itu semakin bersemangat untuk mengikuti alunan musik yang dibawakan oleh DJ professional. Namun meski begitu, tidak semua anak muda turun ke area dance floor. Levin, salah satunya, pria tampan yang masih berusia belia itu hanya asyik menikmati musik sambil menikmati alkohol yang tersedia di hadapannya. Sesekali kepalanya bergoyang mengikuti alunan musik yang ada. Tubuhnya bersandar nyaman pada sofa empuk yang ditempatinya sejak tadi, tentu saja dengan ditemani wanita yang bergelayut manja di lengannya. Bagi Levin, wanita, alkohol dan bar adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Hal yang membuatnya senang dan bisa melupakan kekusutan pikirannya akibat tugas kuliah yang menumpuk. Meski usianya masih terbilang belia, yaitu 20 tahun, tapi Levin sudah sering datang ke tempat seperti ini. Tentu saja karena koneksi yang dimilikinya, jika tidak, mungkin dirinya akan dilempar keluar oleh security yang bertampang sangar di depan sana. Levin baru saja melahap makanan ringan yang disuapkan oleh wanita pilihannya malam ini saat temannya yang bernama Joe datang menghampirinya. “Nggak ikut join, Bro?” tanya Joe sambil mengendikkan dagu ke arah dance floor yang kian ramai meski malam telah larut. “Malas. Mending santai disini sama cewek,” balas Levin yang hanya ingin bersantai sambil menikmati alkohol tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Hanya menikmati keramaian tanpa bermaksud terjun ke dalam keramaian itu sendiri. “Abis ini mau lanjut ngamar ya makanya save energy?” goda Joe tanpa filter membuat Levin mendengus mendengar ejekan temannya. “Belum tau. Liat nanti. Kalau lagi pengen main, ya lanjut ke kamar, kalau nggak, kayaknya gue langsung pulang,” balas Levin cuek. “Cowok brengsek kayak lo rasanya nggak mungkin nggak pengen deh. Lo kan paling nggak bisa dikasih liat cewek seksi langsung tegang!” ejek Joe sambil terbahak. “Sialan lo! Bisanya ngeledek aja!” maki Levin pada Joe, teman kampus yang jarang dirinya temui. Terlebih setelah Joe memutuskan berhenti kuliah karena otaknya tidak sanggup menanggung beban kuliah yang membuatnya stress. Begitulah Joe, tipe anak muda yang enggan memikirkan masa depan dan hidup hanya untuk bersenang-senang. Tidak heran kalau orangtuanya stress memiliki anak seperti Joe! Levin dan Joe memang memiliki kesamaan, yaitu suka bersenang-senang dan tidak bisa lepas dari dunia malam, tidak heran kalau mereka lebih sering bertemu di bar daripada di tempat lain! Namun meski begitu, Levin tidak segila Joe. Setidaknya dirinya masih tetap kuliah karena harus meneruskan bisnis keluarganya setelah lulus. Joe tergelak, mengabaikan umpatan Levin dan kembali ke dance floor. Sementara Levin terus menenggak alkohol di tangannya, meski bar ini dipenuhi dengan musik yang menggema dan asyik didengar, dipenuhi dengan orang yang asyik bergoyang, tapi Levin merasa hatinya hampa. Seolah ada celah besar yang menganga di dalam hatinya. Celah yang membuat hatinya terasa dingin, sepi dan kosong. Tidak heran kalau Levin mencari keramaian di tempat seperti ini, berharap bar yang hiruk pikuk bisa membuat hatinya yang sepi menjadi ceria, tapi ternyata dirinya salah karena rasa kosong di hatinya semakin menganga lebar, tidak terobati sama sekali. “Pergilah, aku sedang ingin sendiri,” usir Levin pada wanita yang sejak tadi bergelayut manja di lengannya, tidak lupa tangannya membuka dompet dan mengeluarkan beberapa lembaran uang yang membuat mata sang wanita berbinar. ‘Tidak masalah diusir yang penting sudah dapat tips banyak! Meski sangat disayangkan karena aku belum dapat menikmati keperkasaan pria setampan ini,’ pikir sang wanita dan berlalu pergi, hendak mencari mangsa lain yang bisa dimanfaatkannya. Kini, Levin hanya seorang diri di ruang VIP ini karena Joe sudah asyik dengan kegiatannya sendiri, asyik bergoyang dengan para wanita yang sibuk meliukkan tubuhnya dengan sensual hingga Joe terlihat kian semangat merapatkan tubuh pada wanita seksi di hadapannya. Tak urung tingkah Joe membuat Levin tersenyum tipis. Meski ada jarak yang memisahkan, tapi Levin tetap dapat melihat tingkah temannya dengan jelas melalui kaca jendela ruangannya yang berada di lantai atas, tepat diatas area dance floor yang semakin meriah meski malam kian pekat. Temannya memang brengsek, tidak heran kalau dirinya juga ikutan brengsek kan? Apalagi Joe lah yang memperkenalkan Levin dengan dunia malam, saat pria itu masih kuliah, meski secara tidak sengaja karena saat itu Levin sedang merasa terpuruk dan Joe, yang melihat Levin begitu frustasi, langsung berinisiatif membawanya ke bar ini dan mengajaknya bersenang-senang dengan cara yang biasa dilakukannya. Dan sejak hari itu, Levin menjadi terbiasa dengan dunia malam, hingga saat ini. Terbiasa mempermainkan wanita sesuka hatinya. Terbiasa meniduri wanita yang berbeda hampir setiap malam hanya untuk kesenangan semata. Terbiasa menyakiti hati wanita karena kelakuan brengseknya. Bisa dibilang pertemanannya dengan Joe lebih banyak membawa dampak buruk bagi Levin, tapi siapa yang peduli? Yang penting Levin bisa melampiaskan rasa frustasinya kan? Levin tidak peduli meski kebrengsekannya sudah tersebar luas di seluruh kampus. Lagipula menjadi pria brengsek juga tidak sepenuhnya buruk. Malah semakin banyak wanita yang giat mendekatinya, terobsesi pada ketampanannya, seolah mereka berpikir bisa membuat Levin menjadi miliknya. Pikiran yang menyesatkan karena Levin tidak memikirkan hal yang sama. Bagi Levin, wanita ada hanya untuk dipermainkan, tidak lebih dari itu. Levin menggeleng melihat kelakuan Joe saat pandangannya tiba-tiba saja tertumbuk pada satu sosok gadis yang ikut memeriahkan area dance floor. Bergoyang dengan sensual hingga lekuk tubuhnya yang menggoda menarik perhatian banyak pria. Saat itulah Levin merasakan desakan kuat untuk mendekati gadis tersebut, bahkan kakinya sudah melangkah sebelum otaknya sempat memberi perintah!Nick memutuskan pulang ke rumah Claire. Ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh wanita itu. Lebih tepatnya Nick ingin memastikan kondisi Claire. “Hei,” sapa Nick saat melihat Claire sedang menemani Revel mengerjakan PR. “Uncle!” Panggilan bernada riang itu muncul dari bibir Revel yang belum memahami kegalauan hati yang sedang melingkupi hati sang mommy dan sang uncle, karena nyatanya, bukan hanya Claire yang galau, tapi Nick juga! Setelah bercanda dengan Revel sebentar, Nick kembali memusatkan perhatiannya pada Claire. Beruntung tidak lama kemudian Revel sudah selesai mengerjakan PR dan bersiap untuk tidur siang bersama Susan. Setidaknya dengan begitu Nick memiliki waktu luang untuk bicara berdua dengan Claire. “Apa yang kamu pikirkan sekarang?”“Entahlah, terlalu banyak hal yang aku pikirkan membuatku bingung sendiri,” keluh Claire dengan nada lelah. Bukan hanya nadanya yang lelah, tapi raut wajah dan gesture tubuhnya juga terlihat lelah hingga wanita
Levin baru saja ingin menunjukkan semangat juangnya saat ucapan Nick selanjutnya membuat beban Levin terasa lebih berat hingga kalimat motivasi yang sempat muncul di benaknya langsung raib! Berganti dengan kekhawatiran! Nick sialan! Siapa sangka pria itu pandai membuat Levin merasa kalah sebelum bertanding?“Aku yakin tidak akan mudah untuk membujuk daddy Alex karena beliau melihat sendiri bagaimana kesulitan dan perjuangan Claire selama beberapa tahun terakhir ini. Meski Claire tidak pernah mengatakan apapun, tapi sebagai seorang daddy, daddy Alex pasti ikut merasakan beban mental yang Claire rasakan meski wanita itu berusaha keras bersikap ceria jika di depan beliau.”“Jika bisa, aku juga tidak ingin Claire melalui kesulitan itu seorang diri. Aku ingin ikut menemaninya melewati masa sulit itu. Aku juga tidak ingin Revel tumbuh besar tanpa kasih sayang daddy kandungnya, tapi masalahnya, Claire lah yang enggan memberiku kesempatan untuk berada di sisinya dulu. Aku bukannya m
Claire menyentuh dagu bagian bawah, area yang disebutkan oleh Nick. Salah satu tempat dimana Levin menyematkan kissmark.“Lebih baik sekarang kamu pulang. Habiskan waktu bersama Revel. Jangan hanya menghabiskan waktu dengan si brengsek ini saja!” ketus Nick.Claire mengangguk. Ya, ucapan Nick benar, lebih baik menghabiskan waktu bersama Revel. Siapa tau dengan begitu bisa menyegarkan otaknya yang kusut kan? Bukankah selama ini Revel selalu bisa membuat suasana hati Claire menjadi lebih baik? Semoga saja kali ini putranya juga bisa menghapus rasa gundah yang menggelayuti hatinya! “Aku akan mengantarmu pulang.”“Tidak perlu, Levin. Tolong beri aku waktu untuk sendiri, okay?”“Tapi…”“Tolong hormati permintaan Claire, Levin. Dan lagi masih ada hal lain yang harus aku bahas denganmu. Berdua saja.” Levin mendesah kesal. Ucapan Nick mengingatkan dirinya bahwa masih ada hal penting yang harus mereka bahas berdua. Oh, padahal tadi pagi Levin yang menelepon pria
Kini, setelah makan siang usai. Setelah mengantar Revel pulang dan menitipkannya pada Susan. Setelah Claire memberitahu Jane kalau dirinya ada urusan mendesak diluar kantor yang tentu saja langsung disetujui oleh Levin karena pria itu juga memiliki andil dan harus menemaninya, mereka bertiga memutuskan pergi ke salah satu café yang memiliki ruang tertutup. Tidak ingin pembicaraan mereka didengar oleh orang lain. “Jadi?”Hanya itu pertanyaan pembuka dari Nick. “Aku tau kamu pasti marah dengan apa yang kami lakukan.”“Tentu saja aku marah, Claire. Kenapa kamu mau ditiduri oleh pria brengsek ini dengan begitu mudahnya? Padahal dulu kamu paling anti dengan yang namanya seks sebelum menikah, tapi sekarang kamu malah melakukannya tanpa berpikir!” “Aku…”“Apakah kamu sudah memutuskan untuk menerima lamaran Levin?” sela Nick, mengabaikan penjelasan apapun yang ingin Claire berikan karena menurutnya itu semua pasti hanya sekedar alasan. “Untuk saat ini ak
“Kamu memang gila, Levin! Selalu melakukannya berkali-kali hingga membuatku lelah!” omel Claire dengan nafas terengah membuat pria itu tersenyum puas. Puas karena berhasil membuat wanitanya tergeletak lemas karena ulahnya.Puas karena berhasil memanjakan juniornya sebelum disibukkan dengan pekerjaan.“Aku memang gila dan itu semua karena kamu, Sayang! Kamu yang membuatku tergila-gila dan bertekuk lutut sampai seperti ini,” balas Levin tanpa dosa.Ucapan yang menimbulkan rona merah di pipi Claire. Tidak bisa dipungkiri kalau ucapan Levin membuatnya bangga karena dirinya sanggup membuat pria itu tergila-gila padanya. Semoga saja bukan hanya tergila-gila pada tubuhnya! Levin menatap Claire yang terbaring dengan mata terpejam, seolah masih ingin meresapi betapa nikmatnya percintaan mereka barusan, hingga satu kesadaran merasuk ke dalam benak Claire. Kesadaran yang membuat wanita itu membuka mata dengan panik dan menatap liar ke arah jam yang berada di sisi kiri rua
Claire melenguh pelan saat Levin kembali menguasai tubuhnya. Kembali menyatukan diri meski Claire berusaha menolak. Tapi sejak dulu Levin memang pantang ditolak, pria itu sengaja mengabaikan penolakan Claire dan terus melanjutkan niatnya! “Hentikan, Levin! Kita sedang di kantor!” pinta Claire dengan nada lirih, suaranya terdengar putus-putus karena hentakan Levin membuat tubuh mungil Claire terguncang. Ya, kali ini, Levin melakukan kegilaannya di sofa yang biasa digunakan saat pria itu ingin beristirahat, namun kali ini, Levin menjadikannya sebagai arena tempur untuk menggempur tubuh mungil Claire! Dengan posisi favorit Levin, dimana Claire berada di atas tubuhnya, namun bedanya kali ini Levin lah yang bergerak karena sejak awal Claire sulit diajak bekerjasama. Takut ada yang memergoki kegilaan mereka. Well, kegilaan Levin sebenarnya karena Claire sudah berusaha menolak cumbuan pria itu meski hasilnya nol besar! “Biarkan saja. Aku tidak peduli!” desis Levin tanpa berh