Revel terdiam, matanya menatap bergantian ke arah Claire dan Levin. Masih enggan percaya. Mungkin takut dibohongi untuk yang kedua kalinya.
“Kali ini mommy tidak bohong kan?”Itulah pertanyaan Revel. Ingin meyakinkan diri kalau apa yang telinganya dengar kali ini memang kenyataan, bukan lagi kebohongan seperti dulu.“Tidak, Sayang. Kali ini mommy tidak bohong. Uncle Levin memang daddy kamu.”Mata polos itu kini menatap Levin lekat-lekat. Seolah sedang menimbang-nimbang apakah dirinya bisa menerima kehadiran Levin atau tidak. Tatapan yang membuat Levin panas dingin. Demi Tuhan, tatapan Revel seolah ingin menguliti isi hatinya.“Apa benar uncle adalah daddy kandungku?”“Benar, Revel. Maaf karena da… uncle baru hadir saat kamu sudah sebesar ini.”Levin hampir saja keceplosan mengucap kata ‘daddy’, namun untung dirinya masih sempat meralat ucapannya. Levin tidak ingin terkesan memaksa Revel. Meski dirinya sangat ingin mendengar Revel memanggilnya dengan seRevel terdiam, matanya menatap bergantian ke arah Claire dan Levin. Masih enggan percaya. Mungkin takut dibohongi untuk yang kedua kalinya. “Kali ini mommy tidak bohong kan?”Itulah pertanyaan Revel. Ingin meyakinkan diri kalau apa yang telinganya dengar kali ini memang kenyataan, bukan lagi kebohongan seperti dulu. “Tidak, Sayang. Kali ini mommy tidak bohong. Uncle Levin memang daddy kamu.”Mata polos itu kini menatap Levin lekat-lekat. Seolah sedang menimbang-nimbang apakah dirinya bisa menerima kehadiran Levin atau tidak. Tatapan yang membuat Levin panas dingin. Demi Tuhan, tatapan Revel seolah ingin menguliti isi hatinya. “Apa benar uncle adalah daddy kandungku?”“Benar, Revel. Maaf karena da… uncle baru hadir saat kamu sudah sebesar ini.”Levin hampir saja keceplosan mengucap kata ‘daddy’, namun untung dirinya masih sempat meralat ucapannya. Levin tidak ingin terkesan memaksa Revel. Meski dirinya sangat ingin mendengar Revel memanggilnya dengan se
Satu jam kemudian…Claire menoleh saat langkah kaki Revel terdengar menuruni tangga dan wajah putranya, yang terlihat sembab akibat menangis tadi, muncul di hadapannya. Dengan malas Revel mengucek mata dan berjalan menuju sang mommy.“Halo, anak mommy sudah bangun? Bagaimana tidurnya? Nyenyak?”Tidak ada jawaban. Hanya anggukan kecil. Wajah Revel pun masih tampak murung.Claire menghela nafas pelan. Wanita itu mendekati putranya, mengajaknya duduk di ruang tamu dan memeluknya dengan penuh sayang. “Apa kamu masih memikirkan ucapan Andrew tadi?”“Apa benar aku anak haram, Mom?” tanya Revel lirih, tanpa menjawab pertanyaan Claire sebelumnya. Nada suara putranya sarat akan rasa kecewa dan sakit hati. Claire tertegun, biasanya Revel tidak pernah mengabaikan pertanyaannya. Tak urung pertanyaan Revel membuat Claire gelisah karena dirinya sadar kalau beberapa menit lagi Claire harus berani mengungkap kenyataan pada putranya. Tidak mungkin ditunda lagi atau
Levin melangkah mantap menuju mobil sambil tangan kanannya tetap menggandeng Claire, sedangkan tangan kirinya menggendong Revel dengan mudah. Di dalam mobil, Revel masih terdiam. Isak tangisnya sudah tidak terdengar, hanya wajahnya saja yang terlihat sembab dan murung membuat Levin merasa trenyuh! Tidak tega melihat putranya sedih seperti ini. Namun di sisi lain, ada satu hal yang membuat hati Levin menghangat yaitu karena Revel tidak melepaskan pelukannya sejak tadi hingga Levin harus menunggu. Dirinya tidak mungkin mengemudi dengan Revel di dalam pelukannya kan? Sedangkan Claire hanya bisa melihat pemandangan di hadapannya dengan hati perih. Baru kali ini Revel terlihat sesedih dan semurung ini di hadapannya, padahal biasanya putranya selalu terlihat ceria dan penuh tawa. Kenyataan itu menunjukkan bahwa ejekan Andrew tadi benar-benar membuat hati Revel merasa terluka! Luka yang terjadi akibat kebodohan dan keegoisannya di masa lalu! Lihatlah apa yang terja
Levin mengumpat kesal saat Claire turun begitu saja dari mobilnya dan melesat pergi, tanpa menunggu Levin. Wanita itu seolah tidak sadar kalau yang mengantarnya adalah Levin, calon suaminya, bukan supirnya! Damn! Padahal Levin tidak mengetahui seluk beluk ruangan di sekolah Revel. Levin bahkan belum mendapatkan petunjuk tentang keberadaan putranya karena sepanjang perjalanan tadi hanya didominasi oleh keheningan dan kegelisahan! Tidak heran kalau Levin perlu waktu cukup lama untuk mencari keberadaan Claire serta Revel. Langkah kaki Levin terhenti saat telinganya mendengar suara Claire yang menyiratkan rasa kesal yang teramat sangat. Saat itu juga Levin tau dimana keberadaan calon istri dan putranya! Namun gerakan tangan Levin yang hendak membuka pintu terhenti saat ada suara lain mengucapkan kalimat yang membuat amarahnya seketika menggelegak! “Anda sendiri pun tidak bisa memberi contoh yang baik! Buktinya anda memberi contoh buruk karena hamil diluar nikah
Claire masih sibuk berdebat dengan hatinya. Sibuk memikirkan jawaban atas pertanyaan Revel saat satu suara ikut meramaikan suasana.“Kamu memang tidak punya daddy! Apa kamu pernah melihat daddymu? Tidak pernah kan? Dipanggil Tuhan? Itu hanya sebuah kebohongan! Bahkan seluruh anak dan orangtua disini tau kalau kamu memang anak haram!” balas Andrew sadis.Ya Tuhan! Bagaimana mungkin anak kecil seperti Andrew bisa mengucapkan kalimat sekasar itu pada anak lain yang seusia dengannya? Bagaimana bisa seorang anak kecil mengatakan kalimat seburuk itu pada teman sekelasnya? “Andrew bohong kan, Mom? Aku punya daddy kan, Mom?”Pertanyaan Revel yang bernada mendesak membuat Claire dilema. Bingung harus menjawab apa atas pertanyaan Revel barusan? Apakah Claire harus mengiyakannya? Tapi jika begitu, Revel pasti akan bingung saat Claire memberi penjelasan tentang status Levin yang sesungguhnya kan? Astaga! Kepala Claire langsung berdenyut pusing seperti mau pecah hanya karena keb
Jawaban Claire sempat membuat Levin terpaku sejenak. Berkelahi? Sejak kapan putranya yang cerdas dan penurut berubah jadi berandalan? Bukankah selama ini Revel selalu menjadi anak baik dan penurut? Apa yang menyebabkan putranya jadi seliar ini? Apakah sifat buruk Levin perlahan menurun pada putranya? Semoga tidak! Namun Levin tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam rasa kagetnya karena Claire sudah melesat pergi hendak meninggalkannya. “Aku akan antar kamu, Claire!” Sepanjang perjalanan hanya ada hening. Claire terlihat gelisah. Jari jemarinya saling bertaut erat. Claire pun tidak berhenti menggigiti bibirnya, kebiasaan yang selalu wanita itu lakukan saat rasa gelisah melanda hatinya.Pelan tapi pasti, salah satu tangan Levin menggenggam tangan Claire, hendak menenangkan wanitanya dalam diam. Meski rasa penasaran sedang menggerogoti hatinya, tapi Levin tau kalau ini bukanlah saat yang tepat untuk bertanya pada Claire, jadi lebih baik bersabar. Toh, sebentar lagi m