Claire terdiam. Otaknya bertanya-tanya, namun Claire menepis pertanyaan apapun yang ada dibenaknya. Tidak ingin memaksa otaknya yang menyedihkan untuk berpikir.
“Apapun itu jangan pernah menyapaku karena aku tidak mengenalmu. Sekarang lebih baik kamu keluar dan tinggalkan aku sendiri!” usir Claire lagi. Levin terpaku sejenak, dirinya ingin membantah tapi mengurungkan niatnya. Melihat ekspresi wajah Claire, Levin pikir lebih baik diam untuk saat ini. Gadis, ralat, semalam Levin telah merenggut kegadisan Claire dan menjadikannya sebagai wanita seutuhnya jadi rasanya kurang tepat jika masih memanggil Claire dengan sebutan gadis. Wanita, itu kata yang lebih tepat. Ya, wanita itu pasti sedang kacau pikirannya jadi lebih baik jangan membantah atau mengusiknya. Biarkan Claire tenang dulu, toh cepat atau lambat mereka berdua akan kembali bertemu! Levin segera berpakaian, pria itu meraih kenop pintu dan berkata lirih, “I’ll be back, Claire.” Sepeninggalan Levin, Claire menangis dalam diam. Rasa sakit di tubuhnya tidak seberapa. Jauh lebih menyakitkan rasa sakit yang mendera hatinya membuat Claire tidak bisa membendung tangisnya lagi. Bukan hanya tubuhnya yang terasa remuk, tapi hatinya juga! Apa yang telah Claire jaga selama ini hancur seketika hanya karena ulah seorang pria brengsek yang bernama Levin! Claire ingin memaki, mengumpat, mengeluarkan seluruh kata-kata kasar yang dirinya ketahui, tapi Claire juga tau kalau Levin tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya. Dirinya juga memiliki andil atas kejadian semalam! Andai Claire tidak mabuk, mungkin hal buruk itu masih bisa dirinya hindari. Andai Claire lebih peka, mungkin dirinya tidak akan masuk ke dalam jebakan. Dan masih banyak kata andai lainnya yang berputar di dalam benaknya, tapi Claire sadar percuma berandai-andai karena semuanya sudah terlanjur terjadi. Kata ‘andai’ hanya membuat hatinya semakin merana karena mengharapkan hal yang tidak mungkin terjadi! Tidak mungkin terulang! Tidak mungkin kembali! Cukup lama Claire menangis, merenung, meratapi nasibnya yang berubah drastis. Otaknya sibuk memikirkan hal yang mungkin terjadi ke depannya. ‘Sudahlah, dipikirkanpun percuma karena tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi.’ Meski berat, tapi Claire harus bisa menerima kenyataan kalau dirinya bukan lagi seorang gadis. Kegadisannya sudah direnggut oleh pria brengsek yang bernama Levin! Claire menghela nafas dan bergerak pelan menuju kamar mandi. Setiap langkah yang dirinya ambil terasa menyakitkan membuat Claire meringis karena area sensitifnya masih terasa perih dan nyeri. Entah berapa lama Levin melakukan hal terkutuk itu padanya semalam hingga dirinya kesulitan berjalan seperti ini. ‘Dasar brengsek!’ Lagi, kata makian terlontar untuk Levin meski pria itu sudah pergi dari hadapannya. Claire berkaca, matanya menatap jejak kepemilikan alias kissmark yang Levin berikan padanya semalam. Leher, dada, lengan, tidak ada yang luput dari cumbuan pria itu. Saat itu juga Claire merasa jijik pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa Claire menyerahkan keperawanannya pada pria asing dalam keadaan tidak sadar? Bagaimana bisa Claire begitu ceroboh hingga tidak menyadari kalau ada orang yang berniat menjebaknya? Bagaimana bisa hal buruk ini terjadi kepadanya? Lagi, pertanyaan yang sama kembali berputar di kepalanya. “Sebenarnya siapa yang tega menjebakku? Apa aku mengenalnya? Dan apa alasannya?” gumam Claire, masih merasa penasaran. Ingin tau siapa yang begitu membencinya hingga tega melakukan hal seburuk ini padanya. Sayangnya, itu semua pertanyaan tanpa jawaban, setidaknya untuk saat ini. Dan pertanyaan itu hanya membuat Claire bertambah pusing dan frustasi! *** Levin pulang ke rumah mewahnya yang terasa sepi dan dingin. Sejak dulu selalu seperti ini, orangtuanya sibuk dengan perusahaan hingga jarang berada di rumah. Levin bahkan tidak tau apakah orangtuanya sedang berada di Bali atau tidak karena sebagai seorang pengusaha, tidak jarang orangtuanya dituntut untuk bepergian ke kota atau bahkan negara lain jika diperlukan, membahas satu project dengan perusahaan asing yang memiliki target serta visi yang sama. Tidak heran kalau Levin mencari kebebasan di luar untuk mengusir rasa sepi di hatinya. Caranya memang tidak sepenuhnya berhasil, tapi setidaknya Levin bisa bersenang-senang dengan caranya sendiri. Meski hanya sementara, tapi rasa sepi itu bisa terlupakan sejenak saat dirinya berada di bar yang ramai atau di kamar hotel saat sedang bergumul dengan wanita bayaran yang dipilihnya. Contohnya seperti semalam saat dirinya sedang bergumul dengan Claire, sibuk mereguk rasa nikmat. Levin sama sekali lupa dengan rasa sepi yang ada di hatinya. Semalam, yang Levin rasakan hanyalah kenikmatan tiada tara hingga membuatnya ingin mengulang hal itu lagi dan lagi. Terus dan terus, tanpa henti. Oh, andai saja tubuhnya seperti robot yang baterainya terisi penuh, mungkin Levin bisa melakukan hal itu lebih lama lagi. Sayangnya sekuat apapun stamina yang dimilikinya, tapi keperkasaannya tetap ada batasnya, tidak unlimited! Levin menggeleng, tidak ingin gairahnya terpancing lagi. Jika otaknya memutar adegan semalam, bisa saja juniornya minta jatah lagi. Padahal tubuhnya sudah lelah setelah mengeksplor Claire semalaman, jadi Levin harus istirahat agar staminanya pulih. Tangan Levin terulur ingin membuka pintu kamar saat satu suara tegas muncul dari belakang tubuhnya membuat pria itu terlonjak kaget. Detik itu juga Levin sadar kalau niatnya untuk istirahat harus tertunda sejenak karena dirinya masih harus menghadapi interogasi dari pria yang menjadi pembersih untuk setiap masalah yang Levin timbulkan. Damn!Nick mengerang lirih. Sekujur tubuhnya terasa ngilu. Lidahnya pun terasa pahit. Tenggorokannya sakit. Hidungnya pun tersumbat. Oh, sakit sungguh menyebalkan!Nick benci jika harus merasa tidak berdaya seperti ini. Dengan rasa malas, Nick mencoba mendudukkan tubuhnya yang masih lemas. Tapi Nick sadar kalau dirinya tidak mungkin berbaring seharian. Dirinya tetap harus makan sesuatu, meski lidahnya sedang tidak dapat berfungsi normal hingga membuat segala makanan yang dicicipinya terasa hambar, dan kembali minum obat agar kondisi tubuhnya segera pulih. Nick tidak ingin sakit lama-lama. Tanpa sengaja matanya tertuju ke arah nakas di sebelah kanan ranjangnya. Kemana mangkuk kotor berisi bubur yang disantapnya tadi pagi? Dan kenapa bungkus obat yang awalnya berserakan kini malah lenyap? Padahal Nick yakin kalau tadi sebelum tidur, saking lemahnya, dirinya sampai tidak memiliki tenaga untuk membersihkannya meski itu adalah hal yang terlihat sederhana. Rasa was-was mengha
Claire menekan tombol intercom, menunggu respon Nick, tapi meski telah menunggu hingga satu menit lebih, tidak ada jawaban apapun. Jangankan membuka pintu, pria itu bahkan tidak merespon panggilan intercom! Apakah Nick sedang tidak di rumah?“Sepertinya Nick tidak ada di apartemen. Mungkin dia sedang jalan-jalan melepas suntuk makanya mengajukan cuti hari ini,” ucap Levin, menyuarakan hal yang juga sempat terlintas di benak Claire. Tapi entah kenapa Claire tidak yakin dengan dugaan itu. Nick bukan orang yang suka mengabaikan pekerjaan dengan jalan-jalan, pasti karena ada hal lain. Claire lebih yakin kalau sahabatnya itu sedang sakit hingga terpaksa cuti! Terpaksa, Claire mengulurkan tangan dan menekan 6 digit angka, berharap Nick tidak mengubah password pintunya. Suara ‘klik’, yang menandakan kalau pintu telah terbuka, terdengar membuat Claire menghela nafas lega. “Bagaimana kamu bisa tau password apartemen Nick?”“Kami sudah bersahabat selama lebih dari 20 ta
Levin terlonjak kaget saat mendengar pekikan Claire. “Ada apa, Claire?” “Kita belum memberitahu daddy Alex dan orangtua kamu, Levin. Nick juga belum aku beritahu, mereka pasti kaget dan senang mendengar kabar ini.”“Well, aku rasa khusus untuk Nick, dia tidak akan kaget karena aku sempat mengungkapkan kecurigaanku mengenai dugaan kehamilanmu beberapa waktu lalu.”“Oh ya? Kapan?”“Saat pria itu menolak berbicara denganmu, mau tidak mau aku membujuknya sambil mengungkapkan dugaanku berharap dengan begitu rasa kesalnya melunak. Aku juga bilang padanya agar tidak membuatmu stress dan rencanaku berhasil,” aku Levin jujur. “Ahh, jadi begitu! Pantas saja setelah itu dia langsung bersikap seperti biasa seolah tidak ada masalah apapun dan mengatakan sudah memaafkanku saat aku minta maaf padanya!” gumam Claire paham.“Hmm, aku bilang padanya kalau kamu terlihat murung dan frustasi, hal yang tidak baik bagi ibu hamil. Dan aku tidak bohong, saat itu kamu memang mu
Rena menoleh saat mendengar pertanyaan Claire yang dipenuhi nada khawatir. “Oh, tidak, kondisi bayi kalian baik-baik saja. Hanya saja kemungkinan besar bayi kalian kembar karena rahim terlihat merenggang lebih jauh,” ucap Rena menenangkan.Nafas Claire dan Levin tercekat. Pasangan itu saling berpandangan. “Kembar, Dok?”“Iya, ini memang baru sekedar dugaan saya. Tapi saya lihat, perut anda terlihat lebih besar dibanding usia 6 minggu kehamilan tunggal. Namun untuk lebih pastinya kita bisa periksa kembali saat check up rutin di bulan depan. Apalagi umumnya saat kehamilan kembar akan disertai oleh rasa mual yang lebih intens daripada biasanya serta lebih sering merasa lelah, tapi tadi anda bilang tidak merasakan mual kan?”“Betul, Dok. Sampai saat ini, saya tidak merasa mual atau pusing, hanya saja saya memang sering merasa lelah, enggan melakukan aktivitas apapun. Yang saya inginkan hanyalah tidur seharian,” jelas Claire. “Lalu apa lagi yang anda rasakan?”
Setelah memastikan kehamilan istrinya melalui testpack, Levin bersikeras mengantarkan Claire ke dokter kandungan di hari itu juga. Tidak ingin menunda-nunda. Levin akan memastikan kalau di kehamilan kedua ini dirinya akan selalu mendampingi Claire sejak awal, tanpa melewatkan satu hari pun! Claire memutuskan untuk pergi ke dokter kandungan yang sama seperti saat kehamilan pertamanya dulu, saat Claire belum melarikan diri ke Melbourne.Rena, sang dokter, menatap wajah Claire yang tampak familiar di matanya. “Ini kehamilan kedua anda?” tanya Rena sambil membaca laporan data pasien di tangannya. Laporan yang baru saja diserahkan oleh suster. “Iya betul, Dok.”“Sepertinya saya merasa familiar dengan wajah anda, apakah saat kehamilan pertama anda juga menemui saya?” tanya Rena.Sejujurnya Rena tau kalau pertanyaan itu tidak layak ditanyakan mengingat dirinya harus bersikap professional, tapi entah kenapa semakin bertambahnya usia, Rena semakin tidak bisa menaha
Claire masuk ke kamar mandi dengan membawa beberapa testpack di tangan kanannya. Menunggu dengan harap-harap cemas. Rasa cemasnya sama seperti saat kehamilan pertama dulu meski dengan alasan yang berbeda. Jika dulu Claire cemas karena hamil diluar nikah, tapi sekarang Claire cemas karena takut membuat Levin kecewa jika hasilnya tidak seperti yang diharapkan mengingat pria itu sangat menginginkan anak kedua darinya. Claire tidak tega jika harus melihat kekecewaan di wajah pria itu. Itulah salah satu alasan yang membuat Claire tidak berani menyuarakan dugaannya. Tapi kini, Claire tidak bisa menghindar lagi karena Levin pun memiliki dugaan yang sama sepertinya. Beberapa menit kemudian, testpack yang digunakannya mulai memperlihatkan hasil. Hasil yang membuat hatinya terasa mencelos. Hasil yang membuat matanya langsung berkaca-kaca. “Bagaimana hasilnya, Claire?” sambut Levin dengan nada tegang saat Claire membuka pintu kamar mandi namun enggan beranjak dari sana