Ryn menatap Aria lama, matanya mencari jawaban yang tidak terucap. Sorot ungu samar di mata Aria memang sudah menghilang, tapi kesan dingin yang tertinggal membuat punggung Ryn merinding.
“Ada sesuatu yang ingin kau jelaskan?” tanya Ryn akhirnya, suaranya tenang tapi penuh tekanan.Aria hanya mengangkat bahu. “Tidak ada. Aku hanya… keluar untuk menenangkan pikiran.”Ryn mendengus pelan. “Menangkan pikiran atau bicara dengan sesuatu yang bukan manusia?”Aria menghentikan langkahnya, menatap Ryn tajam. “Kau mulai terdengar seperti mereka,” ucapnya pelan, nyaris berbisik, tapi tajam seperti pisau yang menyentuh kulit.Mereka saling diam beberapa detik. Hanya suara angin yang merayap di sela pepohonan. Ryn akhirnya menghela napas panjang. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu bicara sekarang. Tapi Aria… jika kau melewati batas, aku akan menghentikanmu. Apa pun yang harus kulakukan.”Aria tidak menjawab. Ia hanya berjalan melewati Ryn, mUdara malam berubah panas, seakan api yang melahap perkemahan ikut menghisap oksigen di sekitarnya. Aria berdiri di tengah lingkaran cahaya ungu yang berdenyut dari tubuhnya, sementara makhluk bertanduk itu menatapnya penuh kebencian.Ryn, dengan napas terengah, memimpin sekelompok prajurit menahan pasukan makhluk lain agar tidak mendekat. Pedangnya terus bergerak, menghalau setiap serangan, tapi matanya tak pernah lepas dari Aria. Ia tahu, jika makhluk bertanduk itu tak dilumpuhkan, mereka semua akan binasa.Makhluk itu mengangkat kedua tangannya, dan langit seolah retak. Dari celah retakan hitam, tangan-tangan raksasa yang terbuat dari asap pekat muncul, berusaha meraih Aria.Aria merasakan bisikan itu kembali, kali ini lebih jelas. Lepaskan semua… kalau kau ingin hidup. Dadanya bergemuruh, pikirannya terombang-ambing antara ketakutan dan dorongan untuk melepaskan kekuatan yang bahkan ia sendiri tak mengerti.Tiba-tiba, sebuah anak panah melesat
Ryn menatap Aria lama, matanya mencari jawaban yang tidak terucap. Sorot ungu samar di mata Aria memang sudah menghilang, tapi kesan dingin yang tertinggal membuat punggung Ryn merinding.“Ada sesuatu yang ingin kau jelaskan?” tanya Ryn akhirnya, suaranya tenang tapi penuh tekanan.Aria hanya mengangkat bahu. “Tidak ada. Aku hanya… keluar untuk menenangkan pikiran.”Ryn mendengus pelan. “Menangkan pikiran atau bicara dengan sesuatu yang bukan manusia?”Aria menghentikan langkahnya, menatap Ryn tajam. “Kau mulai terdengar seperti mereka,” ucapnya pelan, nyaris berbisik, tapi tajam seperti pisau yang menyentuh kulit.Mereka saling diam beberapa detik. Hanya suara angin yang merayap di sela pepohonan. Ryn akhirnya menghela napas panjang. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu bicara sekarang. Tapi Aria… jika kau melewati batas, aku akan menghentikanmu. Apa pun yang harus kulakukan.”Aria tidak menjawab. Ia hanya berjalan melewati Ryn, m
Udara sore di luar gua terasa lebih dingin daripada biasanya, meskipun langit terbakar merah oleh sinar matahari yang hampir tenggelam. Aria melangkah keluar dengan langkah berat, ujung pedangnya masih meneteskan darah hitam yang pekat. Setiap tetes jatuh, tanah di bawahnya seperti menghisapnya dengan rakus, menyisakan noda gelap yang tak mau hilang.Beberapa sosok berdiri di kejauhan, menunggu dengan tegang. Ryn yang pertama melihatnya, matanya melebar, antara lega dan waspada. “Aria! Kau selamat!” serunya, berlari mendekat. Namun saat jaraknya tinggal beberapa langkah, langkahnya melambat. Ada sesuatu yang aneh di wajah Aria… terutama matanya yang kini memantulkan cahaya ungu samar, meski matahari sudah hampir terbenam.“Dia berhasil mengalahkan penjagal langit…” ujar Kael, muncul dari balik batu besar sambil membawa tombaknya. Tapi nadanya ragu, seolah ia sendiri tak yakin itu kabar baik.Aria mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. “Semua
Udara di dalam gua terasa semakin berat. Debu batu berterbangan, bercampur dengan hawa panas yang keluar dari mulut penjagal langit. Aria memegang pedangnya erat, ujung jari-jarinya memutih. Jantungnya berdegup begitu cepat hingga ia hampir tidak bisa mendengar pikirannya sendiri.Raja Bayangan berdiri hanya beberapa langkah di depannya, matanya berkilat seperti bara yang siap meledak. Senyumannya tipis, namun mengandung keyakinan bahwa jawabannya akan ia menangkan. “Kau tahu,” ujarnya perlahan, “tidak ada lagi jalan keluar kecuali melaluiku. Dan jika kau memilih melawanku, dia,” ia melirik pada makhluk raksasa itu, “akan mengoyakmu sebelum kau sempat mengayunkan pedang.”Aria menelan ludah. Ia benci mengakui bahwa sebagian dari ucapannya benar. Penjagal langit itu tidak seperti musuh-musuh yang pernah ia hadapi. Tubuhnya menjulang, sisiknya tebal bagai baja, dan tatapan matanya penuh kelaparan. Bahkan dari jarak beberapa langkah saja, Aria bisa mencium bau darah y
Getaran itu makin kuat, membuat debu dan batu kecil berjatuhan dari langit-langit gua. Aria mundur selangkah, tapi permata hitam di tangannya seperti menempel erat, tak bisa ia lepaskan. Semakin ia mencoba melemparkannya, semakin erat pula permata itu menempel di kulitnya, seperti bagian dari tubuhnya sendiri.Cahaya dari kristal di sekeliling altar meredup, seolah tersedot ke dalam permata. Dari dalam bayangan yang membesar di lantai gua, muncul siluet tinggi dengan mata merah menyala. Suara langkahnya berat, menggema di udara yang dingin.“Aku… bebas,” suara itu serak namun penuh kegembiraan. Bayangan itu mulai membentuk wujud yang lebih jelas—kulit gelap seperti asap pekat, tanduk melengkung, dan senyum yang terlalu lebar untuk disebut manusia.Aria mundur, pedangnya terangkat. “Siapa kau?”Makhluk itu menunduk, seolah ingin melihat wajah Aria lebih dekat. “Aku adalah mereka yang dibuang. Mereka menyebutku Raja dari Bayangan.”Dingin m
Suara derap kaki terdengar samar dari balik lorong batu yang gelap. Aria menahan napas, tubuhnya menempel pada dinding dingin yang terasa lembap. Udara di dalam ruang bawah tanah itu berbau logam dan darah kering, membuat tenggorokannya terasa kering. Setiap langkah yang mendekat membuat detak jantungnya semakin kencang. Ia tahu, apa pun yang bergerak di dalam kegelapan itu bukan manusia biasa.Dari arah depan, sepasang mata berwarna merah menyala muncul perlahan, seakan menggantung di udara. Cahaya itu tidak berasal dari obor atau pantulan logam, melainkan dari tatapan makhluk yang sedang mengamati mangsanya. Aria menggenggam gagang pedangnya lebih erat, mencoba mengatur napas agar tidak terburu-buru. Satu langkah salah, dan ia mungkin tak akan sempat menjerit sebelum darahnya mengalir di lantai batu ini.“Aku tahu kau di sana…” suara berat dan serak itu merambat di udara, membuat bulu kuduk Aria berdiri. Bukan teriakan, melainkan bisikan yang begitu dekat, seakan