Udara sore di luar gua terasa lebih dingin daripada biasanya, meskipun langit terbakar merah oleh sinar matahari yang hampir tenggelam. Aria melangkah keluar dengan langkah berat, ujung pedangnya masih meneteskan darah hitam yang pekat. Setiap tetes jatuh, tanah di bawahnya seperti menghisapnya dengan rakus, menyisakan noda gelap yang tak mau hilang.
Beberapa sosok berdiri di kejauhan, menunggu dengan tegang. Ryn yang pertama melihatnya, matanya melebar, antara lega dan waspada. “Aria! Kau selamat!” serunya, berlari mendekat. Namun saat jaraknya tinggal beberapa langkah, langkahnya melambat. Ada sesuatu yang aneh di wajah Aria… terutama matanya yang kini memantulkan cahaya ungu samar, meski matahari sudah hampir terbenam.“Dia berhasil mengalahkan penjagal langit…” ujar Kael, muncul dari balik batu besar sambil membawa tombaknya. Tapi nadanya ragu, seolah ia sendiri tak yakin itu kabar baik.Aria mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. “SemuaUdara sore di luar gua terasa lebih dingin daripada biasanya, meskipun langit terbakar merah oleh sinar matahari yang hampir tenggelam. Aria melangkah keluar dengan langkah berat, ujung pedangnya masih meneteskan darah hitam yang pekat. Setiap tetes jatuh, tanah di bawahnya seperti menghisapnya dengan rakus, menyisakan noda gelap yang tak mau hilang.Beberapa sosok berdiri di kejauhan, menunggu dengan tegang. Ryn yang pertama melihatnya, matanya melebar, antara lega dan waspada. “Aria! Kau selamat!” serunya, berlari mendekat. Namun saat jaraknya tinggal beberapa langkah, langkahnya melambat. Ada sesuatu yang aneh di wajah Aria… terutama matanya yang kini memantulkan cahaya ungu samar, meski matahari sudah hampir terbenam.“Dia berhasil mengalahkan penjagal langit…” ujar Kael, muncul dari balik batu besar sambil membawa tombaknya. Tapi nadanya ragu, seolah ia sendiri tak yakin itu kabar baik.Aria mencoba tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. “Semua
Udara di dalam gua terasa semakin berat. Debu batu berterbangan, bercampur dengan hawa panas yang keluar dari mulut penjagal langit. Aria memegang pedangnya erat, ujung jari-jarinya memutih. Jantungnya berdegup begitu cepat hingga ia hampir tidak bisa mendengar pikirannya sendiri.Raja Bayangan berdiri hanya beberapa langkah di depannya, matanya berkilat seperti bara yang siap meledak. Senyumannya tipis, namun mengandung keyakinan bahwa jawabannya akan ia menangkan. “Kau tahu,” ujarnya perlahan, “tidak ada lagi jalan keluar kecuali melaluiku. Dan jika kau memilih melawanku, dia,” ia melirik pada makhluk raksasa itu, “akan mengoyakmu sebelum kau sempat mengayunkan pedang.”Aria menelan ludah. Ia benci mengakui bahwa sebagian dari ucapannya benar. Penjagal langit itu tidak seperti musuh-musuh yang pernah ia hadapi. Tubuhnya menjulang, sisiknya tebal bagai baja, dan tatapan matanya penuh kelaparan. Bahkan dari jarak beberapa langkah saja, Aria bisa mencium bau darah y
Getaran itu makin kuat, membuat debu dan batu kecil berjatuhan dari langit-langit gua. Aria mundur selangkah, tapi permata hitam di tangannya seperti menempel erat, tak bisa ia lepaskan. Semakin ia mencoba melemparkannya, semakin erat pula permata itu menempel di kulitnya, seperti bagian dari tubuhnya sendiri.Cahaya dari kristal di sekeliling altar meredup, seolah tersedot ke dalam permata. Dari dalam bayangan yang membesar di lantai gua, muncul siluet tinggi dengan mata merah menyala. Suara langkahnya berat, menggema di udara yang dingin.“Aku… bebas,” suara itu serak namun penuh kegembiraan. Bayangan itu mulai membentuk wujud yang lebih jelas—kulit gelap seperti asap pekat, tanduk melengkung, dan senyum yang terlalu lebar untuk disebut manusia.Aria mundur, pedangnya terangkat. “Siapa kau?”Makhluk itu menunduk, seolah ingin melihat wajah Aria lebih dekat. “Aku adalah mereka yang dibuang. Mereka menyebutku Raja dari Bayangan.”Dingin m
Suara derap kaki terdengar samar dari balik lorong batu yang gelap. Aria menahan napas, tubuhnya menempel pada dinding dingin yang terasa lembap. Udara di dalam ruang bawah tanah itu berbau logam dan darah kering, membuat tenggorokannya terasa kering. Setiap langkah yang mendekat membuat detak jantungnya semakin kencang. Ia tahu, apa pun yang bergerak di dalam kegelapan itu bukan manusia biasa.Dari arah depan, sepasang mata berwarna merah menyala muncul perlahan, seakan menggantung di udara. Cahaya itu tidak berasal dari obor atau pantulan logam, melainkan dari tatapan makhluk yang sedang mengamati mangsanya. Aria menggenggam gagang pedangnya lebih erat, mencoba mengatur napas agar tidak terburu-buru. Satu langkah salah, dan ia mungkin tak akan sempat menjerit sebelum darahnya mengalir di lantai batu ini.“Aku tahu kau di sana…” suara berat dan serak itu merambat di udara, membuat bulu kuduk Aria berdiri. Bukan teriakan, melainkan bisikan yang begitu dekat, seakan
Tangan raksasa bersisik hitam itu terus merangkak keluar dari gerbang, setiap jarinya setebal menara batu. Udara menjadi berat, seolah seluruh dunia menahan napas.Di bawah, pasukan Kael berusaha bertahan. Nyara masih menahan dua makhluk bayangan yang membelah diri tadi. Setiap kali ia menebas, tubuh mereka terpecah dan kembali bersatu seperti asap.“Elira! Seberapa lama lagi?” teriak Lysira sambil mengayunkan tombaknya untuk mengusir gelombang bayangan.Elira menggertakkan gigi. “Segel ini tidak akan bertahan kalau tangan itu keluar sepenuhnya. Kita butuh sesuatu yang menghancurkan inti pusaran.”Arven melompat dari batu ke batu, mengincar makhluk-makhluk bayangan yang mencoba menembus lingkar perlindungan Kael. Ia menembakkan panah berujung sihir, tapi efeknya hanya memperlambat, bukan menghancurkan.Kael menatap gerbang. Di balik celahnya, ia melihat mata raksasa yang bersinar merah darah. Sosok itu lebih besar dari naga mana pun yang
Kabut gelap merayap di tepi Pegunungan Elyra, menelan puncak-puncak batu yang biasanya memantulkan cahaya matahari pagi. Kael berdiri di tebing paling tinggi, memandang ke arah awan hitam yang berputar di kejauhan. Di belakangnya, pasukan bersenjata lengkap berbaris rapi, namun tatapan mereka menyiratkan ketegangan yang sama.“Aku tak suka ini,” gumam Arven yang ikut berdiri di sisi Kael. “Udara di sini terlalu... berat. Seperti ada sesuatu yang mengintai.”Kael menarik napas panjang. “Bukan ‘seperti’, Arven. Memang ada.”Tiba-tiba, angin menderu membawa suara serak yang seperti berasal dari ribuan mulut sekaligus. Suara itu berbisik dalam bahasa kuno yang bahkan Kael sulit mengerti, namun maknanya jelas: Gerbang akan terbuka.Di sisi lain, Elira dan Lysira memimpin kafilah menuju Lembah Nirva. Jalanan di sana lebih tenang, tapi kesunyian itu justru terasa memancing waspada. Burung-burung tak berkicau, pohon-pohon tidak bergoyang meski angin lewat