Langkah Lyrian terdengar nyaris tanpa gema.
Namun setiap gerakannya membuat akar-akar cahayabergetar lembut,seolah semesta di sekelilingnya ikut menahan napas.Kaelira berdiri membeku.Matanya menatap wajah itu—wajah yang ia hafal bahkan dalam mimpi terburuknya.Wajah yang seharusnya sudah hancur,luruh bersama menara yang runtuh malam itu.Namun kini…Lyrian berdiri hidup di hadapannya,dan tak satu pun dari cahaya dalam matanyamengenali dirinya.Sang Raja bergerak pelan ke sisi Kaelira,tapi tak menyentuhnya.“Dia… itu benar-benar Lyrian?”Kaelira mengangguk.Patah.Tapi teguh.“Itu tubuh Lyrian,” gumamnya pelan,“tapi jiwanya… terikat.”Lyrian berhenti hanya beberapa langkah di depan mereka.Jubahnya berkibar pelan,dan dari balik punggungnyatampak ukiran bercahaya yang terus berdenyut.Simbol Veydran,berpadu dengan sihir paling purba—buSatu tarikan napas.Itu cukup untuk mengubah arah takdir.Sang bayi—yang belum diberi nama oleh dunia—membuka matanya lebar.Tiga warna di matanya tak lagi berdansa lembut.Kini, mereka bersatu dalam pusaran cahaya yang membentuk pola tak dikenal oleh siapa pun.Pola itu hidup. Bernapas.Dan yang paling mengerikan bagi para Pemulih: pola itu mengingat mereka.Pemulih pertama mundur setapak, sebuah tindakan langka bagi entitas yang tak mengenal takut.“Dia… menyimpan Arus Awal dalam pandangan.”Pemulih kedua menggenggam udara, mencoba menahan aliran waktu yang terdistorsi.Namun waktu di sekitar bayi itu tak lagi patuh.Ia membengkokkan siang menjadi senja.Membalik arah jatuh daun.Mengulang bunyi detak jantung Kaelira—dua kali—sebelum kembali normal.Kaelira menahan napas, pelukan pada anaknya menjadi lebih erat.Bayi itu tak menangis. Tak bicara.Namun dari balik tubuh kecilnya, pancaran sihir mema
Tanah Veydran mereda, seolah seluruh lautan sihir menarik diri demi menyimak satu detak jantung yang baru saja tercipta. Pohon Waktu, sebelumnya bagaikan menara luka, kini menyimpan rona lembut di bagian cabang termudanya. Tunas menyala di sana, berpendar dalam tiga warna yang berdansa satu sama lain: emas yang hangat, perak yang tenang, dan ungu pucat yang memantulkan duka masa lampau.Kaelira berdiri di bawah naungan akar bercahaya, napasnya belum kembali stabil. Matanya terasa kering setelah terlalu lama menangis, namun di balik letihnya ia merasakan sesuatu yang nyaris hilang sejak Lyrian pertama kali hilang: rasa lega yang tipis, tipis sekali, seperti embun menetes di ujung daun. Lyrian menahan bahunya, bukan hanya untuk menenangkan, melainkan juga sebagai cara memastikan bahwa tubuh isterinya benar-benar ada di sini, masih hangat, masih nyata. Mereka berdua mengalihkan pandang ke Anara, yang saat itu sedang menjaga jarak, menatap pohon dengan mata setajam bilah pedang
Hening.Tak ada angin.Tak ada suara.Bahkan sihir pun berhenti bergerak,seolah dunia menahan napasnya.Di tengah kehampaan itu,sang anak berdiri sendiri.Tubuh mungilnya tampak ringkih,namun cahaya di sekelilingnya berpendar perlahan,seperti matahari yang sedang memilihapakah ia akan terbit… atau padam.Di kejauhan,Kaelira dan Lyrian membeku dalam waktu yang beku,terbentur batas realitas yang tidak lagi tunduk pada hukum biasa.Mereka bisa melihat sang anak,namun tak bisa bergerak ke arahnya.Tak bisa menyentuh,bahkan tak bisa memanggil.Sang anak menatap ke langit abu-abu,di mana simbol tak dikenal—bentuk rumit dari bahasa semesta—melayang dan berdenyut pelan.“Semuanya menunggu,”bisiknya,suara yang kecil…tapi menggema ke seluruh penjuru ruang.“Menunggu aku memilih.”Dari bayang-bayang waktu,tiga sosok bertudung itu kembali
Langkah kecil itu bergema di tengah sunyi.Tanpa suara angin,tanpa detak jantung dunia yang biasanya hidup,sehingga setiap injakan terdengar seperti lonceng kecilyang membangunkan sesuatu yang lama tertidur.Sang Raja menoleh pertama kali.Di antara akar pohon cahaya yang masih berdenyut samar,muncul sosok mungil—seorang anak lelaki,dengan rambut putih keperakandan mata berwarna perunggu,seolah matahari sore terperangkap di dalamnya.Anara langsung bersiaga,tapi Nerevan mengangkat tangan menghentikannya.“Lihat matanya,” bisiknya.“Dia bukan musuh.”Anak itu melangkah perlahan,pakaiannya terbuat dari jalinan kabut dan cahaya,tapi jejak kakinya nyata.Ia tidak menatap mereka—melainkan langsung pada dua sosok bercahayayang kini berdiri diam di pusat lingkaran sihir:Kaelira dan Lyrian.“Mama…”Suaranya nyaring,jernih,tapi membawa kesedihan yang ter
Langkah Lyrian terdengar nyaris tanpa gema.Namun setiap gerakannya membuat akar-akar cahayabergetar lembut,seolah semesta di sekelilingnya ikut menahan napas.Kaelira berdiri membeku.Matanya menatap wajah itu—wajah yang ia hafal bahkan dalam mimpi terburuknya.Wajah yang seharusnya sudah hancur,luruh bersama menara yang runtuh malam itu.Namun kini…Lyrian berdiri hidup di hadapannya,dan tak satu pun dari cahaya dalam matanyamengenali dirinya.Sang Raja bergerak pelan ke sisi Kaelira,tapi tak menyentuhnya.“Dia… itu benar-benar Lyrian?”Kaelira mengangguk.Patah.Tapi teguh.“Itu tubuh Lyrian,” gumamnya pelan,“tapi jiwanya… terikat.”Lyrian berhenti hanya beberapa langkah di depan mereka.Jubahnya berkibar pelan,dan dari balik punggungnyatampak ukiran bercahaya yang terus berdenyut.Simbol Veydran,berpadu dengan sihir paling purba—bu
Langit bukan lagi langit.Ia seperti cermin cair yang mengalir ke atas,dan dari dalamnya tumbuh akar-akar hitamyang menopang sebuah istana terbalik—penuh pilar bengkok dan dinding yang meneteskan cahaya.Kaelira menatap ke atas,mata menyipit menahan tekanan dari gravitasi aneh di sekitar mereka.Udara di sini berbeda.Lebih padat.Seperti dihirup dan dihembuskan oleh sesuatu yang masih hidup.Anara memutar mata ke segala arah.“Aku tidak tahu mana atas dan bawah lagi.Ini gila.”Nerevan menunduk, menekan satu lutut ke tanah.Tangannya menyentuh permukaan yang terasa seperti batu,tapi berdetak pelan—seperti nadi.“Tanah ini terhubung langsung ke sumber sihir pertama.Setiap langkah yang kita ambil,kita sedang diinjak balik oleh waktu.”Sang Raja mengangkat wajah.“Lalu… bagaimana kita masuk ke sana?”Ia menunjuk ke arah istana yang menggantungdi langit kelabu.