Hari pertama setelah dunia tanpa bayangan dimulai
tidak diawali dengan cahaya dramatisatau suara langit yang bergemuruh.Ia dimulai dari keheningan.Bukan keheningan yang mencekam,tapi keheningan yang terasa seperti undangan.Seseorang bangun di tengah padang rumput kecil.Seorang gadis muda,rambutnya belum pernah digunting,matanya belum pernah melihat darah.Ia tidak tahu siapa lima orang yang membentuk dunia ini.Ia bahkan belum tahu nama tempat ia berdiri.Yang ia tahu…adalah bahwa angin yang menyentuh pipinya terasa hangat.Dan ada suara dari dalam dirinyayang seperti baru lahir.Ia berjalan.Tanpa arah.Tanpa tujuan.Tapi tidak tersesat.Langkah kakinya menuntunnya ke tanah kosong,tempat sebatang pohon muda tumbuh sendirian.Di sana, angin seolah berubah jadi bisikan.Bukan suara manusia,tapi rasa.Ia duduk di dekat pohon itu.Mengusap batangnFajar menyelinap perlahan ke atas tanah yang masih lembap.Kabut belum sepenuhnya pergi,tapi suara langkah kaki sudah terdengar di antara semak dan akar.Renai membawa pot kecil berisi tanah baru.Di dalamnya,bibit dari tanaman yang tidak diketahui namanya.Ia menaruhnya di samping pohon muda yang dulu nyaris mati.Tak ada upacara,tak ada kata-kata,hanya desahan lembut,seperti doa yang tidak perlu Tuhan untuk dikabulkan.Firen berdiri beberapa langkah di belakangnya,membawa lembaran kayu yang sudah diukir rapi.Isinya bukan hukum,bukan peringatan.Tapi cerita.Satu paragraf dari seorang anak yang kehilangan ibunya,satu kalimat dari perempuan tua yang duduk di sisi sungai,dan satu catatan kecil dari seorang pemuda yang berkata:“Kalau aku pernah membuat dunia ini sedikit lebih hangat,aku tak butuh dikenang sebagai siapa-siapa.”Mereka menggantungkan kayu itu di sebuah tia
Firen duduk di tepi kolam pagi itu,tatapannya kosong ke arah permukaan air yang tenang.Di sekelilingnya,daun-daun jatuh tanpa suara,seolah dunia pun tak ingin mengganggunya.Sudah tiga hari ia tidak menulis.Bukan karena kehabisan kata,melainkan karena satu kalimat di kepalanya terus berputar:"Bagaimana jika apa yang aku tulis tidak berarti apa-apa?"Kalimat itu sederhana.Tapi ia menekan dada Firen lebih keras dari luka perang manapun.Dan ia bukan satu-satunya.Renai, yang dulu naik panggung dengan keberanian polos,mulai menghindari tempat itu.Ia merasa suaranya terlalu kecil.Terlalu biasa.“Kenapa aku yang bicara,kalau yang lain bisa jauh lebih bijak?”Dan anak laki-laki yang dulu menulis pertanyaan di buku kosong,mulai merobek halaman-halaman yang ia tulis sendiri.“Pertanyaan-pertanyaan ini tidak penting,”katanya.“Tak satu pun membuat dunia berubah.”
Hari pertama setelah dunia tanpa bayangan dimulaitidak diawali dengan cahaya dramatisatau suara langit yang bergemuruh.Ia dimulai dari keheningan.Bukan keheningan yang mencekam,tapi keheningan yang terasa seperti undangan.Seseorang bangun di tengah padang rumput kecil.Seorang gadis muda,rambutnya belum pernah digunting,matanya belum pernah melihat darah.Ia tidak tahu siapa lima orang yang membentuk dunia ini.Ia bahkan belum tahu nama tempat ia berdiri.Yang ia tahu…adalah bahwa angin yang menyentuh pipinya terasa hangat.Dan ada suara dari dalam dirinyayang seperti baru lahir.Ia berjalan.Tanpa arah.Tanpa tujuan.Tapi tidak tersesat.Langkah kakinya menuntunnya ke tanah kosong,tempat sebatang pohon muda tumbuh sendirian.Di sana, angin seolah berubah jadi bisikan.Bukan suara manusia,tapi rasa.Ia duduk di dekat pohon itu.Mengusap batangn
Tanah yang mereka injak terasa aneh.Bukan karena asing,tapi karena untuk pertama kalinya…tidak ada satu pun yang mengancam dari bawahnya.Udara tidak membawa sihir liar,tidak ada kilat di langit,tidak ada suara langkah yang mengendap di semak.Sunyi,tapi bukan kesepian.Lebih seperti dunia yang akhirnya belajar mendengarkan.Kaelira menghela napas panjang.“Ini pertama kalinya aku berdiri tanpa armor,dan tidak merasa terancam.”Anara menyeringai tipis.“Pertama kalinya aku tidak ingin membunuh sesuatu hanya karena tenang itu terasa mencurigakan.”Nerevan mendongak ke langit.Burung-burung kecil terbang melintasi awan pucat.Tak satu pun membawa pesan gelap,tak satu pun meledak jadi makhluk kutukan.Mereka hanya… terbang.“Apakah kita benar-benar sudah keluar dari siklus?” tanyanya pelan.Lyrian menunduk, menggenggam tanah.Tidak ada racun.Tidak ada mantr
Mereka berdiri di tengah lingkaran.Tak ada yang berkata-kata.Namun semua tahu:ini bukan titik akhir.Juga bukan titik awal.Ini adalah ruang kosongdi mana satu kalimat akan menentukan arah segalanya.Langit di atas mereka bukan biru.Tanah di bawah mereka bukan coklat.Semua telah kehilangan warna karena belum dipilih.Bahkan waktu…berhenti berdetak.Kaelira membuka mulut lebih dulu.“Sesuatu terasa salah.”Nadanya tenang.Tapi tidak hampa.Seperti nada seseorang yang baru menyadari bahwa diam…tidak selalu damai.Anara mengangguk.“Karena kita berdiri di tempat yang tidak punya sejarah.”Ia menatap tanah di bawah.“Di mana tidak ada satu pun yang pernah terjadi.”Nerevan menyusul,“Tempat seperti ini seharusnya memberi kebebasan.Tapi kenapa rasanya malah seperti kita ditelanjangi?”Lyrian menatap ke udara yang tidak bergerak.“Karena tidak ada
Langkah pertama terasa… hampa.Tanah yang mereka injak tidak keras,tidak lembut,tidak ada rasa sama sekali.Seperti melangkah di atas udara yang enggan memberi respons.Namun tidak menolak.Mereka berjalan tanpa arah,karena dunia tak lagi menunjukkan utara.Tapi tidak ada yang panik.Karena mereka tahu—mereka tidak sedang mencari tempat.Mereka sedang menuju pengakuan.Kaelira menatap lurus ke depan.Tapi tak ada apa-apa.Hanya kabut.Putih.Diam.Bukan kabut yang menutupi,melainkan kabut yang… menunggu.Anara akhirnya bicara,“Tempat ini sepi dengan cara yang berbeda.”Nerevan menambahkan,“Karena di sini tidak ada masa lalu.”Lyrian menggenggam jubahnya.“Dan belum ada masa depan.”Sang anak berdiri di depan mereka semua.Ia mengangkat tangan,dan dari udara kosong,muncul satu cermin tinggiyang tidak menampilkan pantulan.