Angin di dunia nyata terasa berbeda ketika Arven menginjakkan kakinya kembali.
Langit terlihat lebih gelap, bukan karena malam, tapi karena keseimbangan dimensi sedang goyah. Udara berdenyut pelan, seperti dunia sendiri sedang menahan napas. Setiap langkah Arven meninggalkan jejak energi samar di tanah. Ia tidak lagi hanya seorang pewaris naga. Ia kini adalah entitas penuh, lepas dari kendali sistem, dengan kehendak yang tak bisa lagi ditentukan siapa pun kecuali dirinya sendiri.Saira adalah yang pertama mendekat."Aku tidak tahu harus lega atau takut melihatmu lagi," katanya dengan mata masih berkaca. "Kau… kau terasa seperti Arven, tapi juga tidak."Arven menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak ia kembali, ia bicara."Aku masih Arven. Tapi kini aku tahu siapa yang sebenarnya memegang rantai kita selama ini."Elma, yang sedang membaca celah retakan dimensi di udara, mendekat sambil mengetuk udara dengan jarinya."SPerjalanan menuju selatan dimulai saat matahari belum benar-benar naik. Langit terlihat seperti arang yang dilumuri abu—tidak gelap, tapi juga tidak memberi harapan. Liora menaiki naga penjaga yang disiapkan khusus untuknya, seekor betina bersisik keemasan dengan nama "Sereth". Meski belum sepenuhnya terbiasa, kini tubuhnya mulai menyatu lebih baik dengan gerakan sang naga. Seperti sepasang entitas yang perlahan belajar berdansa.Di belakangnya, Raja Naga menaiki Drakhan, naga hitam legam bermata biru. Tidak ada pelindung, tidak ada pasukan. Hanya mereka berdua. Sebuah pilihan yang mengejutkan, tapi juga penuh makna. Perjalanan ini bukan ekspedisi militer. Ini perjalanan darah.“Mereka akan mengawasi langit utara sementara kita pergi,” ujar Raja Naga saat terbang sejajar dengan Liora. Suaranya terdengar jelas meski angin mengamuk di sekeliling mereka.Liora mengangguk. “Dan kau yakin tempat itu… masih bisa ditemukan?”“Tanah di Bawah Api tidak per
Kabut turun lebih tebal dari biasanya pagi itu. Langit tak memperlihatkan matahari sedikit pun, seolah semesta ikut menyembunyikan niat buruk yang datang dari arah utara. Para penjaga naga berjaga di sepanjang menara istana, mata mereka tajam menatap cakrawala yang perlahan berubah menjadi abu-abu pekat.Di ruang pelatihan bawah tanah, Liora berdiri diam, tubuhnya diselimuti keringat dan bekas luka ringan. Sejak fajar, Raja Naga tak memberinya jeda istirahat. Latihan demi latihan terus dilalui, sebagian terasa seperti penyiksaan, sebagian lagi seperti perjalanan ke dalam dirinya sendiri.“Lawanmu hari ini bukan aku,” ujar Raja Naga sambil melemparkan gulungan kayu ke tengah lingkaran pelatihan.Gulungan itu terbuka dan membentuk proyeksi ilusi: sosok bayangan besar dengan sayap sobek dan mata merah darah. Bentuknya menyerupai naga, tapi lebih menyeramkan, lebih bengkok. Makhluk itu bukan naga biasa. Energinya... rusak.“Ini adalah salah satu ‘peng
Langkah kaki Raja Naga terasa berat saat ia meninggalkan tanah suci bersama Liora. Udara di sekitar mereka masih menyisakan getaran dari ritual sebelumnya, seperti debu sihir yang belum benar-benar mengendap. Liora berjalan di sampingnya, tubuhnya tampak lelah, tapi matanya menyala—bukan karena cahaya, tapi karena sesuatu yang baru terbangun di dalam dirinya.Di balik langit malam yang muram, kabut mulai turun perlahan. Awan-awan hitam menggumpal di atas bukit-bukit batu. Sesekali terdengar suara samar, seperti bisikan angin yang membawa kabar buruk. Raungan panjang yang mereka dengar sebelumnya tak lagi terdengar, tapi keheningan yang datang setelahnya justru lebih mengancam.“Kita harus kembali ke istana,” kata Raja Naga akhirnya. “Tempat ini tak lagi aman.”Liora hanya mengangguk. Ia ingin bertanya banyak hal, tapi pikirannya belum sepenuhnya bisa merangkai logika. Ia baru saja melewati sesuatu yang melampaui nalar manusia—melihat masa lalu, mewarisi ke
Suasana di aula utama istana Naga terasa jauh lebih mencekam dibanding biasanya. Obor yang menempel di dinding menyala redup, seperti merunduk dalam bayang-bayang ketegangan yang menggantung. Di tengah ruangan, meja batu besar menjadi tempat berkumpulnya para tetua naga, duduk dalam lingkaran dengan sorot mata tajam dan curiga.Liora berdiri di tengah, sendirian. Keringat dingin menetes di pelipisnya, namun dagunya terangkat tegak. Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa di tempat ini. Seorang manusia. Seorang penyusup di dunia naga. Tapi untuk pertama kalinya, dia tidak peduli. Dia punya alasan untuk berdiri di sini, dan itu cukup.Salah satu tetua naga bersuara, suaranya parau dan menggema. “Apa kau benar-benar yakin dengan keputusanmu, manusia?”“Aku yakin,” jawab Liora, tanpa ragu. “Aku tidak datang ke sini hanya untuk diselamatkan. Aku ingin menjadi bagian dari perjuangan ini.”Sebagian tetua bersungut-sungut, yang lain menyeringai sinis. “Kau tida
Retakan langit perlahan menutup,bukan karena dunia menerima hasil,tapi karena dunia menahan napasnya—seperti menunggu akhir dari kalimat yang belum selesai ditulis.Di bawahnya, Arven masih berdiri.Tubuhnya goyah,mata kosong,tapi langkahnya nyata.Tanpa ingatan, tanpa sihir,ia berjalan.Satu langkah lagi.Dan lagi.Saira meneteskan air mata.Itu bukan air mata takut.Bukan pula sedih.Itu adalah air mata kagum.Karena lelaki yang pernah menyulut petir dengan satu gerakan tangan,kini mengguncang dunia hanya dengan cara…tidak jatuh.Elma membisik,“Dia sedang bicara dengan dunia melalui pilihan kecilnya.Dan dunia sedang mendengarkan.”Namun di antara percikan cahaya yang masih menyisakan pantulan kehendak,terdapat satu bayanganyang tidak muncul dari langit,tidak pula dari tanah.Ia muncul… dari sisi yang bahkan dunia tak beri nama.Rena
Lembah itu bukan lagi sekadar tempat.Ia telah berubah menjadi ruang transisi,sebuah jalur di antara dunia lama dan yang belum sepenuhnya lahir.Namun dari dalam perut tanah yang selama ini diam,terdengar suara dalam ritme lambat—seperti napas makhluk raksasayang baru saja sadar bahwa ia telah tidur terlalu lama.Saira menoleh ke Elma.“Kau dengar itu?”Elma mengangguk.Tapi kali ini, wajahnya tidak menunjukkan ketakutan.Melainkan… harapan.“Aku dengar.Dan aku tahu apa itu.”Renai memicingkan mata,suaranya menegang.“Apa maksudmu?”Elma menatap lembah yang kini mengangkat debu tipis ke udara.“Dulu, sebelum naga pertama muncul,dunia ini pernah memiliki penjaga.Bukan sistem.Bukan kekuatan.Tapi… kesadaran murni yang menjaga keseimbangan bentuk dan kehendak.Itu bukan legenda.Itu bukan cerita nenek moyang.Itu nyata.Dan aku yakin,makhlu