Kini Wisnu sudah tiba di rumah, pria berkemeja putih itu berjalan menghampiri istrinya yang tengah sibuk membuka barang belanjaan yang baru saja ia beli. Wisnu mengernyitkan keningnya, sejak kapan istrinya itu gemar membeli barang mewah, apa pagi sampai menghabiskan uang sampai ratusan juta.
"Sri, apa-apaan ini. Maksud kamu apa beli barang-barang seperti ini?" tanya Wisnu."Namaku Astri, bukan Sri. Tolong jangan merubah nama sembarangan seperti itu." Astri berucap tanpa menoleh ke arah suaminya.Wisnu menghela napas. "Ok, Astri untuk apa kamu membeli barang seperti ini. Sejak kapan kamu suka beli barang mewah.""Memangnya kenapa, Mas? Nggak boleh aku beli barang mewah seperti ini?" tanya Astri."Kamu tahu, uang di ATM aku ludes gara-gara kamu. Lagi pula kamu tidak pantas memakai barang mewah seperti itu. Lihat wajahmu itu, lihat baik-baik, Astri." Dengan angkuhnya Wisnu menunjuk wajah Astri yang rusak, dan itu semua karena ulahnya.Astri bangkit dan menatap tajam suaminya. "Wajahku rusak karena siapa?! Sekarang aku tanya, wajah aku seperti ini karena siapa! Karena kamu kan, Mas."Wisnu mengangkat tangan kanannya hendak menampar Astri. "Kalau bukan perempuan, sudah ku tampar kamu.""Ingat, setelah ini tidak ada jatah bulanan untuk kamu," ucap Wisnu lalu beranjak meninggalkan Astri di ruang tengah."Kapan kamu pernah memberikan jatah bulanan untukku." Ucapan Astri mampu membuat Wisnu menghentikan langkahnya."Apa maksud dari ucapanmu itu." Wisnu menatap tajam istrinya."Apa kurang jelas. Kapan kamu memberiku jatah bulanan, Mas Wisnu yang terhormat," ucap Astri.Detik itu juga Wisnu memalingkan wajahnya, pria berkemeja putih itu nampak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bukan itu saja, Wisnu juga mengusap wajahnya dengan gusar, mungkin pria itu merasa, jika selama ini ia tidak pernah memberikan Astri uang bulanan."Kenapa diam," ujar Astri."Minggir." Wisnu menyingkirkan tubuh Astri yang berdiri di hadapannya itu."Kamu kena batunya kan, Mas. Setelah ini, jangan harap bisa bersenang-senang dengan istri mudamu itu," batin Astri. Setelah itu ia membawa barang-barang miliknya masuk ke dalam kamar.Sesampainya di kamar, Astri menyimpan barang miliknya, mulai dari baju, perhiasan, tas bermerek, dan masih banyak lagi. Wisnu terus memperhatikan istrinya yang tengah menyimpan barang-barang miliknya itu. Jujur, Wisnu merasa heran dengan perubahan istrinya itu, karena biasanya Astri hanya berbelanja kebutuhan dapur dan pribadi tidak mencapai ratusan juta."Sri, baju yang akan aku bawa udah kamu siapin apa belum?" tanya Wisnu. Astri hanya diam, sekarang ia tidak akan menjawab jika dipanggil dengan nama 'Sri'.Wisnu menghela napas. "Astri, baju yang akan aku bawa udah kamu siapin apa belum.""Sudah, Mas." Astri menjawab tanpa menoleh, ia terus sibuk dengan kegiatannya sendiri.Setelah itu Wisnu beranjak masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Astri mulai menjalankan rencananya, ia tidak akan membiarkan suaminya serta istri mudanya itu bersenang-senang. Astri tahu jika Wisnu bukan pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, tetapi akan pergi ke rumah istri mudanya.Selang beberapa menit Wisnu keluar dari kamar mandi, ia melihat istrinya yang sedang melepas pakaian dan menggantinya dengan handuk. Wajah boleh rusak, tetapi tubuh selalu membuat Wisnu merasa gerah. Entah rencana apa yang sedang Astri jalankan, Wisnu memang tidak bisa menolak tentang urusan ranjang.Wisnu berjalan menghampiri Astri dan memeluknya dari belakang. "Kenapa menggantinya di sini, kamu sengaja ingin membuatku mandi lagi iya.""Dasar laki-laki, yang beginian aja langsung diserbu. Di mana-mana laki-laki memang sama, pecinta .... " ucap Astri dalam hati."Aku mau mandi dulu, Mas. Soalnya ada janji sama teman kuliah mau ketemu," ujar Astri seraya melepas kedua tangan kekar Wisnu yang melingkar di perutnya."Apa, Astri mau pergi. Ini tidak bisa dibiarkan, mereka tidak boleh melihat wajah Astri," batin Wisnu. Ia tidak rela orang lain melihat wajah Astri yang sekarang. Karena akan sangat memalukan."Temani aku saja, kamu tidak boleh pergi." Wisnu mengangkat tubuh Astri, lalu direbahkan di atas ranjang."Mas mau ngapain?" tanya Astri."Kamu pasti tahu apa yang aku inginkan." Wisnu tersenyum, setelah itu ia beranjak menuju laci. Entah apa yang sedang Wisnu lakukan."Ayo cepat diminum, Mas." Astri tersenyum jahat saat melihat suaminya sedang menelan obat yang diambil dari laci.Selang beberapa menit Wisnu kembali, ia tersenyum lalu naik ke atas tempat tidur. Wisnu mulai bersiap untuk bertempur, tetapi sedetik kemudian tubuhnya ambruk. Tenaganya seperti hilang seketika, bukan itu saja, saraf di tubuhnya terasa lemas. Wisnu sama sekali tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya."Mas kamu kenapa?" tanya Astri yang pura-pura panik. Sementara Wisnu hanya diam, jangan untuk menggerakkan tubuhnya, bicara saja tidak mampu."Sial, obat apa yang aku minum. Bukankah itu obat yang biasa aku minum saat bersama dengan Lirna. Tapi kenapa reaksinya seperti ini," batin Wisnu, ia terus mengumpat kesal.***Hari telah berganti, dari semalam ponsel Wisnu terus berdering, Astri sudah dapat menduga jika itu pasti gundik suaminya yang menelpon. Rasanya Astri puas bisa menjalankan rencananya dengan mulus, diam-diam ia menukar obat kuat milik suaminya dengan obat pelemah saraf. Astri tahu jika obat itu akan Wisnu gunakan saat bersama dengan gundiknya."Mas bangun." Astri mengguncang tubuh suaminya."Mas kamu nggak apa-apa kan?" tanya Astri. Sementara Wisnu hanya menggelengkan kepalanya. Wisnu sangat bersyukur lantaran mulai bisa menggerakkan anggota tubuhnya."Ya sudah aku mandi dulu." Astri beranjak meninggalkan Wisnu yang masih berbaring di atas tempat tidur."Huh, untung saraf di tubuhku mulai bisa digerakkan," batin Wisnu. Ia mulai menggerakkan jemari tangannya.Tiga puluh menit telah berlalu, kini Wisnu tengah duduk di atas ranjang. Ia hendak memeriksa ponselnya yang sedari semalam terus berbunyi. Wisnu tahu, itu pasti Lirna yang terus menghubungi nomornya. Wisnu menghela napas setelah membaca isi pesan yang Lirna kirim untuknya."Mas sarapannya sudah siap, mau sarapan di sini atau turun." Astri berjalan menghampiri suaminya yang tengah duduk di atas ranjang."Di bawah saja." Wisnu beranjak turun dari tempat tidur. Dengan perlahan ia berjalan menghampiri istrinya. Rasanya Astri ingin terawat melihat suaminya yang berjalan seperti siput."Sini, Mas aku bantu." Astri mengapit lengan kekar suaminya, lalu membawanya keluar dari kamar."Lain kali hati-hati ya, Mas kalau beli obat," ucap Astri yang seperti sindiran untuk Wisnu. Sementara pria itu hanya tersenyum, menanggapinya.Setibanya di ruang makan, Astri langsung menarik kursi untuk duduk suaminya. Setelah itu, ia mulai mengambil piring lalu diisi dengan nasi goreng. Kini keduanya bersiap untuk menyantap sarapan pagi bersama, tetapi tiba-tiba bel rumah berbunyi. Detik itu juga Astri serta Wisnu menghentikan aktivitasnya itu."Sebentar ya, Mas aku lihat dulu," ujar Astri seraya bangkit dari duduknya. Sementara itu Wisnu hanya mengangguk.Cukup lama Astri berada di depan, karena penasaran, akhirnya Wisnu bangkit dan berjalan menuju ruang tamu. Setibanya di ruang tamu, terlihat istrinya tengah berbicara dengan seorang pria. Dengan segera Wisnu menghampiri Astri, rasanya ia tidak rela istrinya itu berbicara dengan pria lain."Ada apa ini?" tanya Wisnu."Eh, Mas. Ini, Mas kemarin aku beli mobil, dan ini baru diantar. Aku sudah bayar DP-nya kemarin, sekarang tinggal dilunasin, Mas." Astri menyerahkan nota pembelian mobil tersebut.Wisnu menerima nota tersebut, detik itu juga matanya melotot saat tahu berapa harga mobil yang baru saja Astri ambil. Wisnu menatap istrinya, lalu kembali melihat nota yang ada di tangannya itu.Tidak terasa bulan demi bulan terus berjalan, dan tahun pun telah berganti. Selama ini rumah tangga Astri dan Steven semakin hari semakin romantis dan juga harmonis. Masalah memang selalu ada, akan tetapi keduanya selalu menghadapinya dengan otak dan kepala yang dingin. Dan sekarang usia Naira menginjak lima tahun, Naira tumbuh menjadi gadis yang cantik seperti ibunya. Kecantikan serta lemah lembutnya menurun dari ibunya, tapi di balik itu, Naira memiliki sifat yang menurun dari ayahnya, yaitu manja, dan gampang ngambek. Tatapan matanya pun sama seperti mata Steven, tapi wajah, hidung serta bibir sama seperti Astri. Hari adalah hari senin, dan seperti biasanya Astri akan memulai kesibukannya usai shalat subuh. "Sayang jam tangan aku di mana!" teriak Steven dari dalam kamar. Pria itu tengah mencari jam tangannya yang selalu ia pakai. "Iya sebentar." Astri ikut berteriak. Saat ini Astri tengah sibuk menyiapkan bekal untuk Naira. Setelah selesai, Astri bergegas naik ke lantai atas di
Hari demi hari telah berganti, minggu demi minggu telah berlalu, bahkan bulan pun terus berjalan. Tidak terasa kini usia kandungan Astri sudah sembilan bulan, mereka tinggal menanti kelahiran malaikat kecil yang telah dinanti-nanti. Yang akan menjadi pelengkap kebahagiaan mereka. Kini Steven sudah standby di rumah, karena mereka tidak tahu kapan Astri akan melahirkan, entah itu siang, pagi ataupun malam. Meski sudah ada perkiraan dari dokter, tetap saja mereka tidak tahu, bisa lebih cepat atau mungkin sebaliknya. Pagi ini Astri tengah duduk di depan televisi, tak lupa di pangkuannya terdapat satu toples cemilan. Wanita berjilbab itu tengah asyik menonton televisi sembari memakan cemilan. Selang berapa menit Steven datang, pria itu menjatuhkan bobotnya di sebelah sang istri. "Sayang lihat tuh, tangan sama kaki, paha, muka udah bulat macam bola saja, tapi ngemil nggak mau berhenti." Steven menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. "Biarin, soalnya enak, Mas," sahut Astri. Tiba-tiba
Seminggu telah berlalu, sejak kejadian di mana Vina datang untuk menuntut balas, sejak saat itu Steven semakin memperketat penjagaan di rumahnya. Ia tidak ingin sampai kejadian buruk menimpa istrinya itu, terlebih saat ini Astri tengah mengandung. "Mas keluar yuk, aku bosen di rumah terus. Hari ini kamu libur kan, Mas?" tanya Astri. Pagi ini mereka tengah duduk santai di ruang tengah. "Memangnya mau pergi ke mana, hem." Steven balik bertanya. "Nyari baju hamil, Mas. Baju yang ada di lemari udah nggak muat," sahut Astri. "Ya udah mandi dulu sana," titah Steven. "Ish aku kan udah mandi," sahut Astri. "Iya mandi kemarin, udah buruan sana," kata Steven. "Mandiin ya," sahut Astri. Seketika ia bangkit dan beranjak dari ruang tengah sebelum suaminya itu benar-benar menyetujui ucapannya itu. Setibanya di kamar, Astri bergegas masuk ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian, Astri keluar dengan memakai handuk kimono. Wanita hamil itu berjalan menuju lemari
Semua rahasia yang Irvan sembunyikan kini telah terbongkar, awalnya Irvan ingin tetap merahasiakan siapa dirinya sebenarnya. Namun ibunya terus mendesak, alhasil saudara kembar Wisnu mau mengaku juga. Ratna sempat syok mendengar hal itu, tetapi ia berusaha untuk menerima kenyataan itu. "Andai saja Wisnu masih ada di sini, mungkin kebahagiaan mama akan lebih lengkap. Tapi Wisnu sudah lebih dulu meninggalkan kita." Ratna mulai terisak, dengan cepat Irvan memenangkannya. Ia tidak ingin ibunya kembar depresi karena kepergian putranya yang selama ini bersamanya. "Sudah, Ma. Wisnu sekarang sudah tenang, walaupun Wisnu tidak bersama kita. Irvan yakin, Wisnu akan bahagia, jika melihat kita juga bahagia." Irvan mendekap erat tubuh ibunya, hal tersebut yang puluhan tahun Irvan rindukan. "Irvan, tolong jaga tinggalkan mama lagi, sudah cukup mama kehilangan Wisnu," pinta Ratna. "Mama tidak perlu khawatir, mulai sekarang Irvan yang akan menjaga, Mama." Irvan semakin mempererat dekapannya itu.
Satu bulan sudah sejak kejadian Astri diculik, sejak saat ini Steven lebih ketat lagi untuk menjaga istrinya itu. Terlebih Astri saat ini tengah mengandung, bahkan Steven rela mengeluarkan uang banyak untuk membayar bodyguard demi melindungi sang istri. Setelah kejadian itu juga, Ferdy membebaskan adiknya itu dari urusan kantor. Ferdy tidak ingin kejadian buruk itu kembali menimpa sang adik. Astri memang sangat beruntung memiliki kakak seperti Ferdy, dan ia juga beruntung memiliki suami seperti Steven. "Mas sarapannya sudah siap," ucap Astri seraya berjalan menghampiri suaminya yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. "Iya sebentar lagi aku turun," sahut Steven. Setelah itu Astri memutuskan untuk turun terlebih dahulu. Selang beberapa menit, Steven turun, pria berkulit putih itu melangkahkan kakinya menghampiri sang istri yang telah menunggunya di meja makan. Melihat suaminya datang, Astri langsung menarik kursi untuk duduk suaminya itu. "Mau sarapan pakai apa, Mas?"
Astri mengerjapkan matanya, perlahan ia membuka matanya, setelah kelopak matanya terbuka sempurna. Astri terkejut saat melihat ke sekelilingnya yang terlihat menyeramkan. "Ya Allah aku ada di mana," gumamnya. Mata Astri terus menyapu setiap sudut ruangan tersebut. Gelap dan juga pengap. "Mas tolong aku," batin Astri. Berharap semoga ada yang segera menolongnya. Tiba-tiba saja pintu terbuka, seorang wanita berjalan masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum, lalu berjalan mendekat. "Siapa kamu, tolong lepaskan aku," ujar Astri yang memohon agar wanita itu mau melepaskan dirinya. Wanita itu menyunggingkan senyumnya. "Jangan harap, sebelum kamu mendapatkan balasan yang setimpal dariku. Gara-gara kamu ayah dari anakku tiada."Astri diam mendengar hal itu. "Maksud kamu apa, aku tidak mengerti.""Apa kamu lupa dengan mantan suamimu yang tiada karena ulahmu itu," ujar wanita tersebut. Detik itu juga Astri diam. Mantan suami itu artinya mas Wisnu. "Maksud kamu, Mas Wisnu," sahut Astri."Dia a