“Bunda, apa mungkin Darian punya seorang wanita yang dia sukai, tapi bukan Tavira?”
Bunda tertawa dengan caranya yang paling menawan. Tavira memandangi Bunda, yang meski lebih tua puluhan tahun, masih tetap memancarkan kecantikan eksotis. Wajahnya segar, jauh dari keriput, seolah tak pernah tergerus waktu. Seperti wanita yang terjebak dalam kutukan awet muda. “Tavira, Tavira... Enggak mungkin Darian seperti itu,” kata Bunda sambil menggeleng-gelengkan kepala, tertawa pelan. “Darian itu, seumur hidupnya nggak pernah berurusan dengan wanita. Lihat saja, hampir semua pegawai di kantornya lelaki. Sekretaris atau asisten pribadinya juga lelaki. Darian kaku sekali dengan wanita. Mana mungkin dia punya pacar?” Tavira merasa bingung. Apa yang harus ia rasakan? Sebuah rasa lega atau malah semakin terpuruk? Bunda seolah menegaskan bahwa tak ada ruang bagi Tavira di hati Darian yang dingin terhadap wanita. Tavira mencebik, berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Tapi Bunda dengan cepat menangkap ekspresi itu. “Eh, tapi bukan berarti Darian nggak punya kesempatan buat menyukaimu. Setelah kalian menikah nanti, Darian pasti akan menyukaimu, kok. Bunda yakin seratus persen,” Bunda menambahkan dengan penuh keyakinan. Bunda mengedipkan sebelah mata, seolah bisa membaca masa depan mereka, memastikan bahwa pernikahan mereka akan membuahkan cinta. Entah dari mana keyakinan itu berasal, tapi Tavira merasa Bunda sudah sangat percaya pada hubungan mereka. Sejak awal pertemuan, Bunda sudah menaruh banyak harapan pada Tavira. Yakin seratus persen bahwa inilah calon menantu yang tepat. Tapi, Tavira tidak bisa mengelak dari kenyataan yang lebih pahit. Bagaimana jika dalam setahun Darian tetap tidak menyukainya? Bagaimana jika mereka berpisah, seperti yang Darian inginkan? Setelah pernikahan kontrak itu selesai, lalu apa? Acara hari itu diakhiri dengan Bunda mengantarkan Tavira pulang ke rumah. Mama sudah menunggu di depan pintu, seakan menyambut putri dan calon besannya. Mereka berpelukan, berbicara sejenak sebelum akhirnya Tavira melangkah pergi. Tavira tahu betul bahwa hubungan antara Mama dan Bunda bukan seperti dua sahabat lama. Itu lebih seperti hubungan antara atasan dan bawahan, yang dipertemukan oleh sebuah janji yang melibatkan anak-anak mereka. Dulu, sebelum Tavira lahir, Papa bekerja untuk keluarga Haryodipura. Namun sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa Papa setelah ia menolong Pak Haryodipura. Kabarnya, untuk membayar hutang budi, Pak Haryodipura menjodohkan anak-anak mereka. Sejak itulah perjodohan Tavira dan Darian mulai terjalin. Tavira tidak pernah benar-benar memikirkan hal itu. Yang ia tahu, tinggal beberapa hari lagi menjelang pernikahan. *** Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Segala persiapan selesai dengan sempurna. Pernikahan itu menjadi pesta paling megah yang pernah Tavira alami. Semuanya tertata dengan begitu sempurna. Kilaunya menggambarkan kekayaan luar biasa keluarga Haryodipura. Bunga-bunga yang merekah di setiap sudut gedung. Kue pernikahan bertumpuk tujuh lapis. Gelas-gelas sampanye tersusun rapi seperti gunung es. Tak kalah mencolok adalah para tamu undangan yang mengenakan pakaian mewah. Berlian dan emas bergelantungan di leher, tangan, dan telinga mereka. Pesta ini benar-benar menjadi ajang pamer kekayaan. Namun, Tavira merasa asing. Kebanyakan tamu diundang dari pihak Darian, dan hanya sedikit dari mereka yang ia kenal. Saat berdiri di podium dengan Darian, ia merasakan dirinya sangat kecil. Pernikahan ini berjalan dengan lancar. Tidak ada masalah saat prosesi ijab kabul. Semua berjalan mulus dalam satu tarikan napas. Tavira tidak meragukan Darian dalam hal itu. Darian sangat bisa diandalkan untuk urusan formalitas semacam ini. Namun, keberhasilan ijab kabul tidak berarti dekatnya hubungan mereka. Tubuh mereka berdampingan, tapi hati mereka terpisah jauh. Setiap senyum yang terpaksa mereka ukir hanya untuk kamera. Hanya itu yang tampak di depan para tamu undangan. Pernikahan ini megah. Gaun dan jas mereka berkilau dan begitu mahal. Namun, hati Tavira terasa kosong. Di tengah keramaian dan kemewahan, ia merasa kesepian. Darian tidak sekali pun menoleh padanya. Sebaliknya dengan Tavira. Dia paling sering memandangi Darian meski dari samping. Harus Tavira akui, Darian memiliki tampang yang sempurna. Setiap lekuknya bagai pahatan indah Sang Pencipta. Wajah ini yang Tavira kagumi sedari dulu. Sosok ini yang dia harapkan menjadi pendamping hidupnya kelak. Kini, di hari bahagia ini. Tavira mengenyahkan sementara bayang-bayang pernikahan yang hanya satu tahun. Biar saja. Satu tahun atau berapa lama pun, akan Tavira gunakan kesempatan itu untuk menatapi Darian lebih lama. Untuk memuaskan egonya sebagai wanita yang bertepuk sebelah tangan. Nanti, jika sudah waktunya tiba, ia akan berhenti. Sosok Darian, cintanya, juga kekagumannya. Akan Tavira pastikan itu juga berhenti di satu tahun. Ya, itulah keputusan yang dia ambil. Tavira sudah sepenuhnya setuju pada pernikahan kontrak ini. Tapi belum apa-apa dadanya sudah merasa sesak. *** Hari yang melelahkan itu akhirnya berakhir. Tidak seperti pasangan pengantin pada umumnya yang langsung menuju tempat singgah bersama, Tavira dan Darian pulang ke rumah masing-masing. Tavira harus pulang dan melanjutkan pengepakan barang-barangnya. Mereka sudah sepakat seminggu yang lalu, bahwa Tavira akan pindah ke rumah Darian setelah pernikahan. Tapi, karena kesibukannya, Tavira belum sempat menyelesaikan pengepakan. Besok Darian akan menjemput Tavira di rumah untuk membawa semua barangnya ke rumah besar miliknya. “Tavira sayang, hidup di sana dengan baik. Jangan sering-sering khawatirkan Mama, ya. Kamu sudah jadi Nyonya Haryodipura mulai hari ini,” kata Mama, menepuk bahu Tavira dengan lembut. Ada air mata di ujung mata Mama, tapi ia menahannya, tak ingin menampilkan kesedihan di hadapan putrinya yang baru menikah. Mereka berpelukan, mungkin pelukan terakhir sebelum Tavira pergi untuk tinggal bersama suaminya. “Nah, pergilah, Sayang,” kata Mama, mengantarkan Tavira sampai di halaman rumah. Darian keluar dari mobil dan membantu membawa koper Tavira. Ia membukakan pintu mobil mewahnya untuk Tavira. Darian membungkuk dan mencium tangan Mama, sebuah sopan santun yang jarang terlihat dari dirinya. “Mama titip Tavira padamu, ya!” ucap Mama, dengan suara serak menahan tangis. Darian mengangguk, dan mereka segera pergi. Tavira melambaikan tangan pada Mama, yang akhirnya tidak bisa menahan tangisannya lagi saat mobil melaju pergi. Deru mesin mobil itu seakan menghapus jejak-jejak kenangan yang akan segera berubah. Di dalam mobil, Tavira menatap spion, melihat bayangan Mama yang semakin jauh. Air matanya menetes, tak terbendung lagi. Tak apa, hanya satu tahun. Tavira hanya akan berpisah dengan Mama satu tahun saja. Setelah itu mereka akan bersama lagi. Sebagai keluarga yang saling menguatkan lagi. Nanti, tak apa tidak ada cinta, yang penting ada Mama. Tavira menyeka air mata di pipi. Mustahil Darian tidak melihat itu. Apalagi isaknya menengahi suara hening dari dalam mobil. Tentu saja, Tavira tidak berharap mendapat penghiburan dari Darian. Ia hanya fokus mengendarai mobil dengan tatapan awas ke depan. Perjalanan masih lumayan lama. Tapi heningnya membuat Tavira mulai tidak nyaman. Tavira bertanya hanya sekadar iseng. Ia tak benar-benar berharap pada percakapan itu. Hanya mencari cara untuk memecah kesunyian yang menggantung di dalam mobil. “Darian, boleh aku nyalakan lagu?” tanyanya pelan, mencoba terdengar santai. Namun yang ia dapat bukan jawaban, melainkan diam yang membuat Tavira menelan ludah. Butuh beberapa detik sampai Darian membalas pertanyaan basa-basi itu. “Jangan bicara saat aku menyetir,” kata Darian. Datar dan dingin. Tavira langsung terdiam. Tak ada lagi yang bisa dikatakan. Dan setelah itu, hening kembali di antara keduanya. Satu tahun. Bisakah ia benar-benar bertahan selama itu? BERSAMBUNGRumah kecil peninggalan Mama hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, berdenting pelan seolah menegaskan kesepian yang meringkuk di setiap sudut ruangan.Tavira duduk di kursi rotan di ruang tengah, menatap foto Mama yang tergantung di dinding. Senyum teduh Mama membalas tatapannya, tapi justru membuat sesak di dada.Sudah berhari-hari ia merasa begini. Bangun tidur tanpa sapaan Mama, tanpa aroma masakan sederhana yang dulu selalu menyambutnya. Sekarang, yang ada hanya keheningan menusuk dan kenangan yang terus datang tanpa diundang.Tavira menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi mobile banking. Angka di layar membuatnya terdiam. Lima puluh miliar.Nominal yang sangat besar, bahkan terlalu besar untuk perempuan yang dulu hanya terbiasa hidup pas-pasan bersama Mama.Di awal, Tavira menyetujui perjanjian absurd itu dengan Darian, adalah untuk bisa hidup bersama Mama dengan kompensasi yang mereka se
Kafe kecil di sudut Jakarta itu sore ini ramai pengunjung, tapi di sudut paling tenang, sebuah meja bundar dipenuhi wajah-wajah yang sudah sangat akrab bagi Tavira.Ada Eshan dengan kemeja kerjanya yang masih rapi, Dhiya yang tampak berusaha ceria meski matanya sedikit bengkak, Hasana yang duduk dengan sikap anggun, serta Laya yang sedari tadi tak bisa berhenti berkomentar.Tavira duduk di antara mereka, menyandarkan punggung pada kursi kayu, kedua tangannya memeluk gelas kopi dingin yang bahkan belum ia sentuh.Sejak kabar perceraiannya dengan Darian tersebar, ia tak punya pilihan selain menghadapi tatapan penuh tanya dari orang-orang terdekatnya. Dan hari ini, waktunya tiba.“Gila kamu, Tavira,” suara Laya langsung meledak, tak bisa menahan diri.“Aku kira kabar di forum gosip itu bohong. Mana mungkin kalian cerai? Baru juga setahun! Aku masih berharap kalian bakal punya anak terus buat keluarga impian semua orang.”“Laya.” Has
Rumah besar keluarga Haryodipura sore itu dipenuhi cahaya keemasan dari matahari yang perlahan tenggelam. Aroma kopi hangat yang baru diseduh memenuhi ruang tamu, namun suasana hati Bunda sama sekali tidak hangat. Ia duduk di kursi panjang berbalut kain biru muda, wajahnya tegang, bibirnya terkatup rapat.Ayah duduk di sebelahnya, menatap koran yang tak lagi terbaca. Tatapannya beberapa kali berpindah ke jam dinding, lalu ke arah pintu. Darian sudah bilang akan datang, dan mereka tahu ia membawa kabar besar.Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar di halaman. Langkah berat memasuki rumah, dan Darian muncul. Jas hitamnya masih melekat, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tampak letih. Tak ada aura berwibawa yang biasanya menyelimutinya. Yang ada hanya sisa-sisa lelah, kesedihan, dan semacam kekalahan yang jarang terlihat dari sosok Darian Alastra Haryodipura.“Darian,” panggil Bunda, nadanya rendah tapi jelas mengandung kecemasan. “Apa yang kudengar ben
Hari itu, langit Jakarta tampak kelabu. Awan bergelayut rendah, seolah ikut menanggung beban berat yang sedang dipikul oleh dua hati yang pernah disatukan dalam janji rapuh.Di depan gedung pengadilan negeri, deretan mobil mewah dan sederhana bercampur menjadi saksi bisu dari berbagai kisah rumah tangga yang retak.Tavira melangkah dengan mantap. Wajahnya dingin, tatapannya lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh. Rambut hitamnya disanggul sederhana, busana putih gading yang ia kenakan memancarkan kesan berjarak. Bersih, tegas, dan tak tergoyahkan.Di sampingnya, pengacara yang ia sewa berjalan mengikuti, menenteng map berisi dokumen. Semua formal, semua prosedural. Tidak ada lagi nuansa hangat seperti ketika ia dulu menandatangani perjanjian pernikahan di rumah Darian. Kini semuanya hanya hitam di atas putih.Sementara itu, Darian berdiri beberapa langkah di belakang. Jas hitamnya rapi, dasi terikat sempurna, tapi wajahnya pucat. Sorot matanya tak perna
Sejak pagi, Darian duduk di balik meja kerjanya, tapi pikirannya tidak pernah benar-benar berada di ruangan itu. Tumpukan berkas menunggu, layar laptop menyala, pena tergenggam erat di tangan, namun semua itu hanya benda mati yang tak sanggup menarik fokusnya.Yang terus berputar di kepalanya hanyalah wajah Tavira. Wajah perempuan itu ketika menangis di pemakaman, saat berkata ia membenci Darian, saat matanya dipenuhi kekecewaan yang lebih pedih dari apa pun yang pernah Darian rasakan.Ia menyesap kopi dingin yang sudah lama dibiarkan, rasanya pahit menempel di lidah. Tubuhnya ada di kantor, tapi jiwanya tercerabut.Pintu tiba-tiba berderit. Darian mengangkat kepala, dan saat itu jantungnya serasa berhenti.Tavira.Berdiri di ambang pintu dengan rambut tergerai seadanya, mata masih sembab, wajah pucat. Perempuan itu bagai bayangan yang selalu ia rindukan, sekaligus ketakutan terbesarnya.“Tavira…” Darian refleks menyebut namanya. Ada campura
Rumah peninggalan Mama kini terasa asing. Sejak pemakaman selesai, Tavira lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tamu yang sunyi. Foto Mama berdiri tegak di atas meja kecil, dihiasi bunga lili putih yang mulai layu. Senyum lembut dalam foto itu membuat dada Tavira seakan diremas.Ia duduk lama di kursi kayu, memandangi potret itu tanpa berkedip. Ada detik-detik di mana ia berharap semua ini hanya mimpi buruk, dan Mama akan muncul dari dapur sambil membawa teh hangat. Tapi kenyataan menamparnya tiap kali ia sadar, rumah ini benar-benar sepi.Air mata menggenang, namun Tavira buru-buru menghapusnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Tidak boleh lagi terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Mama tidak akan suka melihatnya terpuruk.Tapi ada hal lain yang terus menghantui pikirannya. Perjanjian itu. Pernikahan kontrak yang kini tersisa dua bulan lagi.Selama ini, Tavira membiarkan waktu mengalir, seolah akhir itu masih jauh. Namun setelah Mama tiada, s