Hari ini hari fitting baju.
Kali ini, Bunda yang menemani Tavira dan Darian fitting di butik milik desainer langganan keluarga Haryodipura. Model gaun sudah ditentukan oleh sang desainer. Ia hanya perlu ukuran pasti tubuh Tavira agar gaun itu nampak pas di hari pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi. Efek dari permintaan Tavira agar pernikahan dipercepat, semua persiapan pernikahan pun dikebut. Jadwal yang semula disusun untuk dua hingga tiga bulan ke depan, kini dimampatkan dalam hitungan minggu. Gedung, dekorasi bernuansa mewah, katering, hingga souvenir tamu, semuanya sudah dikonfirmasi pagi tadi, sebelum mereka ke butik ini. Meski awalnya Bunda menjadwalkan waktu yang lebih panjang, namun permintaan Tavira malam itu cukup menyentuh. Dalam hati kecilnya, Bunda memang menginginkan hal yang sama. Agar pernikahan itu dipercepat. Sudah bukan rahasia, Bunda begitu menyukai Tavira sejak lama. Ia selalu ingin memiliki anak perempuan, tapi takdir berkata lain. Ia hanya diberi seorang putra, Darian. Maka kehadiran Tavira, calon menantu yang selama ini ia impikan, seperti menjawab doa lamanya. Bunda bahkan menjemput langsung Tavira ke rumah untuk fitting hari ini, demi bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan calon menantunya. “Badan Nona bagus sekali,” puji sang desainer sambil mengukur pinggang Tavira. “Hampir semua calon pengantin mengidamkan bentuk tubuh seperti ini. Ideal untuk menampilkan lekuk gaun.” “Begitukah?” Tavira tersipu malu. Yang justru tampak paling bangga adalah Bunda. Ia tersenyum lebar, bahkan hidungnya seolah terangkat. Padahal bukan dirinya yang sedang dipuji. “Tentu saja tubuh Tavira bagus. Dia kan model,” timpal Bunda. “Apa pun yang ia kenakan, selalu terlihat pantas.” Obrolan berlanjut dengan saling puji. Tentang tubuh Tavira, profesinya sebagai model, dan bagaimana pakaian selalu tampak cocok di dirinya. Tavira sudah terbiasa dengan pujian seperti itu. Sejak lulus SMA, ia menekuni dunia modeling. Bukan hanya karena wajah cantiknya, tapi juga postur tubuh yang membuat banyak wanita iri. Pakai apa pun di tubuhnya, semuanya terlihat pas dan memukau. Meski biasa mendengar pujian, kali ini Tavira ingin seseorang tertentu ikut mendengar. Yaitu Darian.Ia melirik lelaki itu di seberang ruangan, yang tampak sibuk mengikuti instruksi asisten desainer. Angkat tangan, balik badan, busungkan dada. Hari ini, Darian terlihat sangat penurut.
Darian mengenakan jas pernikahan yang masih perlu banyak penyesuaian. Jepitan-jepitan menjuntai di sana sini, sama seperti gaun Tavira. Sayangnya, Darian tidak melirik ke arah Tavira barang sekali pun. Sementara Tavira, beberapa kali mencuri pandang. Di kaca besar yang menempel di dinding, ia melihat bayangan mereka berdampingan, meski berdiri berjauhan. Tavira tersenyum kecil. Dalam pantulan kaca itu, mereka terlihat cocok. Tinggi yang seimbang, proporsi yang pas, tungkai Darian yang jenjang seolah serasi dengan bahu mungil Tavira. Huft. Mereka tampak serasi, tapi kenapa Darian justru mengajukan pernikahan kontrak? Kenapa bukan pernikahan yang sebenarnya, yang selamanya? Fitting Darian selesai lebih cepat. Ia duduk santai di sofa butik, sementara Tavira masih ada beberapa perbaikan di sana-sini. Kemudian, Tavira menangkap gerakan Darian mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengetik sesuatu, lalu... tersenyum. Hanya sepersekian detik, tapi jelas. Dingin itu mencair. Senyum? Senyum itu bukan untuk Tavira. Dan itu cukup membuat dadanya berdesir tak nyaman. Pesan apa yang bisa membuat Darian tersenyum seperti itu? Jangan-jangan... ada wanita lain? Baru sekarang Tavira sadar, mungkin saja Darian tidak menyukai perjodohan ini karena hatinya sudah dimiliki orang lain. Selama ini ia terlalu sibuk berharap, sampai lupa menimbang kemungkinan bahwa Darian mencintai perempuan lain. Kalau memang ada wanita lain... lalu bagaimana dengan dirinya? Fitting selesai, tapi kekalutan Tavira belum. Ia menghabiskan waktu dengan Bunda, berjalan-jalan seperti yang sudah direncanakan. Namun wajahnya muram, senyumnya lenyap. "Kenapa, Tavira? Kamu gak suka gaunnya, ya?" tanya Bunda, heran. “Oh, enggak, Bunda. Tavira suka, kok!” jawabnya, setengah hati. Mereka berada di dalam mobil pribadi milik Bunda. Darian sudah lebih dulu pergi menggunakan mobil lain, menuju kantornya. Tavira masih mengingat percakapan sebelum mereka berpisah. “Bunda saja yang antar Tavira pulang. Aku ada rapat dengan klien di kantor,” kata Darian dingin. “Kok Bunda, sih. Sekali-sekali kamu yang antar. Dan ngobrol lebih banyak sama calon istrimu,” protes Bunda. “Enggak perlu. Bunda tahu, kan, aku gak suka ngobrol.” Lalu Darian melangkah pergi, wajahnya dingin seperti biasa, diikuti asistennya yang setia. Bunda tampak memahami apa yang mengganggu Tavira. Ia mencoba mencairkan suasana, tapi Tavira tetap terdiam. “Tavira, jangan salah paham sama Darian, ya,” ucap Bunda pelan. “Kelihatannya saja dia dingin. Tapi dia laki-laki paling hangat dan paling pengertian yang pernah Bunda kenal.” Bunda menatap Tavira penuh harap. “Bunda yakin, setelah kalian menikah nanti, kamu bakal lihat sisi hangat Darian yang sebenarnya. Untuk sekarang... sabar dulu, ya.” Tavira ingin percaya. Ia ingin menaruh harapan seperti Bunda. Tapi... mungkinkah ia bisa?“Bunda... apa mungkin Darian punya seseorang yang dia suka, tapi bukan Tavira?”
Pertanyaan itu meluncur tanpa bisa ditahan. Tapi alih-alih mendapat jawaban serius, Bunda justru terkekeh pelan. BERSAMBUNGRumah kecil peninggalan Mama hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, berdenting pelan seolah menegaskan kesepian yang meringkuk di setiap sudut ruangan.Tavira duduk di kursi rotan di ruang tengah, menatap foto Mama yang tergantung di dinding. Senyum teduh Mama membalas tatapannya, tapi justru membuat sesak di dada.Sudah berhari-hari ia merasa begini. Bangun tidur tanpa sapaan Mama, tanpa aroma masakan sederhana yang dulu selalu menyambutnya. Sekarang, yang ada hanya keheningan menusuk dan kenangan yang terus datang tanpa diundang.Tavira menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi mobile banking. Angka di layar membuatnya terdiam. Lima puluh miliar.Nominal yang sangat besar, bahkan terlalu besar untuk perempuan yang dulu hanya terbiasa hidup pas-pasan bersama Mama.Di awal, Tavira menyetujui perjanjian absurd itu dengan Darian, adalah untuk bisa hidup bersama Mama dengan kompensasi yang mereka se
Kafe kecil di sudut Jakarta itu sore ini ramai pengunjung, tapi di sudut paling tenang, sebuah meja bundar dipenuhi wajah-wajah yang sudah sangat akrab bagi Tavira.Ada Eshan dengan kemeja kerjanya yang masih rapi, Dhiya yang tampak berusaha ceria meski matanya sedikit bengkak, Hasana yang duduk dengan sikap anggun, serta Laya yang sedari tadi tak bisa berhenti berkomentar.Tavira duduk di antara mereka, menyandarkan punggung pada kursi kayu, kedua tangannya memeluk gelas kopi dingin yang bahkan belum ia sentuh.Sejak kabar perceraiannya dengan Darian tersebar, ia tak punya pilihan selain menghadapi tatapan penuh tanya dari orang-orang terdekatnya. Dan hari ini, waktunya tiba.“Gila kamu, Tavira,” suara Laya langsung meledak, tak bisa menahan diri.“Aku kira kabar di forum gosip itu bohong. Mana mungkin kalian cerai? Baru juga setahun! Aku masih berharap kalian bakal punya anak terus buat keluarga impian semua orang.”“Laya.” Has
Rumah besar keluarga Haryodipura sore itu dipenuhi cahaya keemasan dari matahari yang perlahan tenggelam. Aroma kopi hangat yang baru diseduh memenuhi ruang tamu, namun suasana hati Bunda sama sekali tidak hangat. Ia duduk di kursi panjang berbalut kain biru muda, wajahnya tegang, bibirnya terkatup rapat.Ayah duduk di sebelahnya, menatap koran yang tak lagi terbaca. Tatapannya beberapa kali berpindah ke jam dinding, lalu ke arah pintu. Darian sudah bilang akan datang, dan mereka tahu ia membawa kabar besar.Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar di halaman. Langkah berat memasuki rumah, dan Darian muncul. Jas hitamnya masih melekat, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tampak letih. Tak ada aura berwibawa yang biasanya menyelimutinya. Yang ada hanya sisa-sisa lelah, kesedihan, dan semacam kekalahan yang jarang terlihat dari sosok Darian Alastra Haryodipura.“Darian,” panggil Bunda, nadanya rendah tapi jelas mengandung kecemasan. “Apa yang kudengar ben
Hari itu, langit Jakarta tampak kelabu. Awan bergelayut rendah, seolah ikut menanggung beban berat yang sedang dipikul oleh dua hati yang pernah disatukan dalam janji rapuh.Di depan gedung pengadilan negeri, deretan mobil mewah dan sederhana bercampur menjadi saksi bisu dari berbagai kisah rumah tangga yang retak.Tavira melangkah dengan mantap. Wajahnya dingin, tatapannya lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh. Rambut hitamnya disanggul sederhana, busana putih gading yang ia kenakan memancarkan kesan berjarak. Bersih, tegas, dan tak tergoyahkan.Di sampingnya, pengacara yang ia sewa berjalan mengikuti, menenteng map berisi dokumen. Semua formal, semua prosedural. Tidak ada lagi nuansa hangat seperti ketika ia dulu menandatangani perjanjian pernikahan di rumah Darian. Kini semuanya hanya hitam di atas putih.Sementara itu, Darian berdiri beberapa langkah di belakang. Jas hitamnya rapi, dasi terikat sempurna, tapi wajahnya pucat. Sorot matanya tak perna
Sejak pagi, Darian duduk di balik meja kerjanya, tapi pikirannya tidak pernah benar-benar berada di ruangan itu. Tumpukan berkas menunggu, layar laptop menyala, pena tergenggam erat di tangan, namun semua itu hanya benda mati yang tak sanggup menarik fokusnya.Yang terus berputar di kepalanya hanyalah wajah Tavira. Wajah perempuan itu ketika menangis di pemakaman, saat berkata ia membenci Darian, saat matanya dipenuhi kekecewaan yang lebih pedih dari apa pun yang pernah Darian rasakan.Ia menyesap kopi dingin yang sudah lama dibiarkan, rasanya pahit menempel di lidah. Tubuhnya ada di kantor, tapi jiwanya tercerabut.Pintu tiba-tiba berderit. Darian mengangkat kepala, dan saat itu jantungnya serasa berhenti.Tavira.Berdiri di ambang pintu dengan rambut tergerai seadanya, mata masih sembab, wajah pucat. Perempuan itu bagai bayangan yang selalu ia rindukan, sekaligus ketakutan terbesarnya.“Tavira…” Darian refleks menyebut namanya. Ada campura
Rumah peninggalan Mama kini terasa asing. Sejak pemakaman selesai, Tavira lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tamu yang sunyi. Foto Mama berdiri tegak di atas meja kecil, dihiasi bunga lili putih yang mulai layu. Senyum lembut dalam foto itu membuat dada Tavira seakan diremas.Ia duduk lama di kursi kayu, memandangi potret itu tanpa berkedip. Ada detik-detik di mana ia berharap semua ini hanya mimpi buruk, dan Mama akan muncul dari dapur sambil membawa teh hangat. Tapi kenyataan menamparnya tiap kali ia sadar, rumah ini benar-benar sepi.Air mata menggenang, namun Tavira buru-buru menghapusnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Tidak boleh lagi terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Mama tidak akan suka melihatnya terpuruk.Tapi ada hal lain yang terus menghantui pikirannya. Perjanjian itu. Pernikahan kontrak yang kini tersisa dua bulan lagi.Selama ini, Tavira membiarkan waktu mengalir, seolah akhir itu masih jauh. Namun setelah Mama tiada, s