FAZER LOGINKala itu .....
Di sebuah sore yang mendung, Elira menatap ayahnya, Tuan Hananta. Di sebelah kiri tubuhnya ada tas besar yang sedikit usang dan sedikit berdebu berisi semua pakaiannya.
Elira menerima undangan keluarga Hananta untuk kembali ke rumah ini. Rumah keluarga kandungnya yang mewah, setelah belasan tahun hidup di luar. Diasuh oleh keluarga yang seharusnya menjadi keluarga Isyana.
Setelah Elira kembali ke rumah keluarga Hananta, dia pikir Isyana akan kembali ke keluarganya. Rupanya, saudara angkatnya itu tetap tinggal di rumah mewah keluarga Hananta. Dan menikmati semua fasilitas yang ada.
Semua itu tidak masalah bagi Elira. Karena harapannya cukup sederhana, bahwa ia ingin mengenal ayah dan ibunya serta merasakan kasih sayang dari orang tua kandung.
Namun, seiring berjalannya waktu, kasih sayang itu tidak sepenuhnya tercurah untuk Elira. Karena kenyataannya, Isyana masih menjadi putri kecil yang amat mereka sayangi.
“Pa, apa aku boleh tanya?”
“Apa?!” Tanya papanya balik dengan sorot tidak ramah.
“Kenapa kasih sayang yang kalian berikan ke aku dan Isyana itu beda?”
“Itu cuma perasaanmu.”
“Aku akan berusaha menjadi anak yang kalian inginkan. Apapun yang kalian inginkan akan aku lakuin. Tapi jangan beda-bedakan sayang kalian ke aku.”
Hingga pada suatu malam, Elira dipanggil ke ruang kerja ayahnya.
"Elira, apa kamu mau diterima? Ingin merasakan keluarga?"
Mata Elira berbinar, mengira akhirnya ia akan mendapatkan ikatan batin itu. Namun, ayahnya kemudian melanjutkan, nadanya kembali ke mode bisnis yang dingin.
"Sahabat lama ayah, Tuan Sagala, melamar untuk putranya, Zayed. Niat kami adalah untuk menyatukan dua bisnis. Awalnya, dia melamar untuk Isyana," Tuan Hananta menggelengkan kepala. "Tapi Isyana bilang nggak mau. Ayah nggak mau maksa Isyana. Dia bilang Zayed terlalu tua dan nggak menarik."
Tuan Hananta begitu tidak bisa memaksa pada putri angkatnya. Namun lebih tega kepada Elira.
“Ayah nggak bisa nolak lamaran ini, El. Ini bukan hanya bisnis, ini soal kehormatan dan janji pertemanan. Ini adalah kesempatan emas untuk keluarga kita."
Tuan Hananta mencondongkan tubuh ke depan, nadanya kini persuasif, hampir memohon. "Papa dan Mama akan menyayangi kamu sepenuhnya. Dengan syarat kamu harus gantiin Isyana."
Elira terkejut. "Menggantikan?”
Tapi di dalam hati, Elira merasa tidak lebih dari kain lap yang jarang dilirik namun selalu dibutuhkan. Hatinya menangis pilu namun Elira selalu menunjukkan senyum demi kebahagiaan kedua orang tua kandungnya.
Lalu ayahnya kembali bertanya, “Apa kamu udah punya pacar?”
Kepala Elira buru-buru menggeleng.
“Zayed itu laki-laki baik, berpendidikan, cerdas, dan bisa ngasih status yang pantas untuk Putri Hananta, yaitu …. kamu. Kamu akan dipandang tinggi dan berkelas. Siapa yang nggak suka?"
Tuan Hananta menatap Elira intens, menawarkan kesepakatan yang terasa seperti menjual jiwa.
"Dengar janji Papa, El. Terima pinangan Zayed. Lakukan ini untuk Papa, demi bisnis keluarga kita. Kalau kamu bersedia, Papa bersumpah." Tuan Hananta menekankan setiap kata.
"Papa akan ngasih kamu semua hal yang selama ini kamu dambakan. Bukan cuma uang untuk sekolah desain di Paris, tapi kasih sayang utuh sebagai anak kandung yang kamu inginkan. Kamu akan jadi kebanggaan Papa dan Mama, Elira. Akan Papa kasih semua perhatian, waktu, dan pengakuan kalau kamu adalah Putri Hananta yang sejati. Semua hal yang nggak pernah kamu dapatkan akan jadi milikmu. Kamu akan dapatin kembali keluarga ini, utuh."
Air mata Elira menetes. Itu adalah harga yang tidak main-main dengan ia dipaksa menikah dengan lelaki yang tidak pernah ia cintai sebelumnya.
Namun hatinya berbisik jika ia bisa mencintai Respati, bukankah ia juga bisa mencintai Zayed dengan pendekatan bertahap dan pelan-pelan? Sekaligus kesempatan dirinya untuk melupakan cintanya pada Respati.
Semua ini, Elira lakukan demi mendapatkan hati keluarga besarnya. Kesempatan untuk menjadi bagian dari keluarga Hananta, untuk diakui dan dicintai, terlalu besar untuk ditolak, apalagi setelah bertahun-tahun merindukannya.
Elira menarik napas gemetar. "Aku ... aku akan melakukannya, Pa. Aku akan menikah sama Zayed. Kayak yang Papa mau.”
Pada saat itu, Elira menandatangani kontrak emosional. Ia tidak hanya meninggalkan Respati, tetapi ia menjual satu-satunya cinta tulus yang ia miliki demi mendapatkan cinta dan pengakuan dari keluarga kandungnya, yang ternyata berharga sangat mahal.
Dan kini, semua berubah.
Zayed melukai hatinya dan rasanya sudah tidak tahan lagi ingin pergi dari rumah ini.
Elira mengunci pintu kamarnya. Punggungnya bersandar pada dinding yang dingin.
Kata-kata Zayed tentang 'klinik jiwa' dan tatapan ibunya masih terngiang, tetapi yang paling menyakitkan adalah gambaran ciuman Zayed pada Isyana. Ciuman yang tidak pernah ia dapatkan, diberikan di depannya, dengan dalih yang menjijikkan.
Dan lebih tega lagi, tidak ada yang simpati padanya. Ibunya tidak melipur dukanya. Juga tidak memenuhi janjinya untuk menyayanginya dengan tulus seperti janji malam itu.
Dia merasa tidak lebih dari boneka yang diperalat. Padahal, Elira adalah putri kandungnya.
Air mata membasahi wajah Elira. Ia tidak tahan lagi. Ia merasa ditipu, dihina, dan benar-benar sendirian. Satu-satunya orang yang mungkin mengerti betapa palsunya kehidupan yang ia pilih adalah Respati.
Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponsel dan menghubungi Respati.
“Res, aku butuh bicara. Tolong jawab ...” gumamnya dengan telfon menempel di telinga.
Di sebuah kedai kopi langganannya, Respati menghela nafas saat melihat panggilan dari nomer Elira yang sengaja tidak diberi nama. Ia hanya tidak mau menyimpan apapun tentang Elira selain kebencin dan balas dendam.
Belakangan ini, Respati sudah terbiasa dengan pesan-pesan Elira yang berisi keluhan singkat. Tetapi kali ini Elira menelfon.
Setelah mempertimbangkannya beberapa detik, Respati mengangkatnya.
"Apa?" tanyanya dingin, mengangkat panggilan itu.
"Res ... ini aku. Elira." Suara Elira bergetar dengan isakan yang teredam.
"Aku tahu. Kenapa nelfon? Ada masalah sama dekorasi pelaminan megahmu?" Respati melontarkan sindiran yang dimaksudkan untuk menyakiti. Sikap acuhnya adalah benteng yang ia bangun dari rasa sakit tiga tahun lalu.
Terdengar isakan keras dari seberang telepon.
"Zayed ... dia benar-benar keterlaluan, Res," Elira terisak, suaranya pecah. "Dia mencium Isyana di depanku pakai alasan nggak masuk akal. Aku … kayak orang bodoh. Aku nggak tahan lagi. Aku tahu aku salah sudah pergi darimu, tapi aku nggak tahu harus bersandar sama siapa lagi, Res. Hatiku hancur, Res. Aku cuma pengen lupain semuanya."
Respati terdiam. Sindirannya tiba-tiba terasa tumpul dan ada penyesalan. Karena ia bisa merasakan kehancuran total dalam suara Elira.
Ini bukan lagi soal gaun pengantin atau event organizer, tapi ini adalah trauma emosional.
"Dia malah nuduh aku cemburu buta dan butuh bantuan klinik jiwa. Dia pikir aku punya gangguan jiwa. Semua orang membela dia. Aku sendirian, Res. Papa dan Mama nggak pernah ada dipihakku. Aku cuma diperalat."
Respati menghela nafas karena tidak tega. Lalu berkata …
:-0
“Bali, Nona. Tempat yang lebih aman,” jawabnya singkat.Elira terdiam. Ia masuk ke mobil tanpa berkata lagi.Namun begitu pintu tertutup dan mobil mulai melaju, ada tatapan kosong di matanya. Setiap kilometer yang mereka tinggalkan terasa seperti jarak baru antara dirinya dan kebebasan yang hampir bisa ia genggam.Sementara itu, di ruang kerja Respati, jauh di Jakarta, ponselnya kembali bergetar. Pesan masuk singkat dari tim pengawalnya:[Target dalam perjalanan. Aman.]Respati hanya membalas:[Buat seolah ini perjalanan liburan.]Ia tahu, cepat atau lambat, Elira akan membencinya karena semua ini. Tapi untuk sekarang … keselamatan Elira jauh lebih penting daripada penjelasan apa pun.*****Pagi itu, matahari baru saja menembus jendela apartemen Zayed ketika ponselnya berdering pelan. Pesan dari Dika, orang bayaran yang ia tugaskan untuk mencari Elira.Zayed, yang masih duduk di meja makan dengan wajah lelah dan kopi yang sudah dingin, membuka pesan itu dengan mata berat.[Kita kehil
Akhirnya, ia menggeser ikon hijau di layar.“Selamat sore.” Suaranya tenang, rendah, dan tanpa ekspresi.“Selamat sore, Pak Respati. Akhirnya saya bisa berbicara langsung dengan Anda.”Respati tidak menjawab, hanya memberi keheningan yang panjang, membiarkan Tuan Hananta melanjutkan.“Kita belum pernah bertemu, tapi saya yakin Anda tahu siapa saya.”“Kurasa cukup banyak orang tahu siapa Anda setelah skandal yang dilakukan putri angkat anda,” balas Respati datar. “Pertanyaannya, mengapa Anda berusaha menghubungi saya?”Nada itu bukan nada ramah. Tidak ada rasa sungkan, seolah ia berbicara dengan rekan bisnis kecil, bukan salah satu tokoh paling berpengaruh di industri kesehatan.“Saya tidak suka berputar-putar,” ucap Tuan Hananta. “Saya hanya ingin tahu apa hubungan Anda dengan putriku, Elira.”Hening kembali menggantung. Respati bersandar perlahan di kursinya, menatap lampu-lampu kota yang mulai menyala.“Menarik,” katanya pelan. “Biasanya orang menanyakan kerja sama bisnis. Anda justr
“Pastikan Elira tetap aman dan …. bahagia.”Asistennya menunduk hormat. Ia paham betul arti di balik kata-kata itu. Bahwa kendali tetap di tangan Respati.Begitu pintu tertutup dan Respati kembali sendiri, ia menatap layar tablet itu sekali lagi. Senyum samar tersungging di sudut bibirnya.“Jadi kamu bisa tertawa lagi tanpa aku, Elira? Baiklah. Nikmati sementara masih bisa.”Ia lalu mematikan tablet itu dan beralih menekuri laptopnya.****Elira baru saja menutup pintu rumah dan hendak berbaring, tapi ponselnya berdering pelan di meja kecil dekat mesin jahit.Namun saat melihat layar ponselnya, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Nama Respati tertera di sana. Sudah berhari-hari ia tidak mendengar suara laki-laki itu. Sejak malam pemindahannya ke desa ini, semua komunikasi hanya melalui tangan kanan Respati.Dan kini, tiba-tiba, ia menelpon sendiri.Dengan jantung berdegup tidak karuan, Elira akhirnya menggeser ikon hijau.“Halo?” suaranya nyaris berbisik.“Lama juga ya angkat telfonnya?”
[Reno : Tuan, ini foto yang kami temukan. Masih buram, tapi kami yakin 80% itu Nona Elira. Vila tepi pantai di Lombok Utara.]Zayed membuka foto itu, gambar perempuan bergaun putih muda, tengah berjalan di tepi teras dengan laut di belakangnya. Kabur, tapi cukup untuk membuat jantungnya berhenti berdetak sesaat.“Elira,” suaranya lirih, hampir tidak terdengar.Ia menatap layar lama sekali, matanya memantulkan cahaya ponsel yang bergetar di genggamannya. Isyana bergerak sedikit di sebelahnya, bergumam kecil, lalu memeluk lengan Zayed dalam tidurnya. Namun pria itu bahkan tidak menoleh.Ia hanya duduk diam, menggenggam ponsel erat-erat. Tatapannya dingin, ada sesuatu yang berputar di pikirannya, antara rasa bersalah, rindu, dan tekad.‘Aku akan menemukanku lagi, Elira. Apa pun caranya.’*****Angin pagi dari pegunungan kecil di belakang desa membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga.Rumah baru Elira berdiri di tepi jalan paving, dikelilingi pagar bambu dan pohon pisang di belakangny
“Oh, sekarang aku yang disalahin lagi? Setelah aku berhasil ngerayu Papa buat bantu bisnis keluargamu, apa ini imbalannya, Kak?!”Zayed merasa tertampar lalu Isyana menambahkan.“Kamu pikir aku nggak stres, Kak? Aku kehilangan reputasi, teman-temanku menjauh, semua orang ngata-ngatain aku perebut tunangan orang! Itu semua aku alihin sama belanja online dan ngelakuin semua semauku!”“Kalau cuma apartemen ktor, kamu bisa panggil tukang bersih-bersih kan bisa. Nggak perlu nyentil aku kayak gini seolah-olah aku ini nggak berguna buat kamu!”Zayed terdiam. Tapi wajahnya menunjukkan kejengkelan dan malu yang tak bisa disembunyikan.Ia menatap sekitar apartemen, lalu menatap Isyana, sosok perempuan yang dulu ia pikir akan membuat hidupnya lebih berwarna, kini justru seperti menambah beban pikirannya.“Aku cuma capek, Isya,” katanya pelan tapi tegas.“Kalau kamu capek, aku juga capek terus disalahin!”Zayed berdiri lalu menuju balkon. Dari sana ia bisa melihat gemerlap lampu kota Jakarta yang
Elira terdiam. Amarahnya runtuh perlahan, berganti dengan gelombang takut dan bingung.“Apa ... apa maksudmu, Res?”“Maksudku sederhana,” jawab Respati dingin. “Aku nggak akan mengulang perintah dua kali. Kemasi barangmu, ikut orangku, dan jangan tanya apa-apa lagi. Kalau kamu mau hidup tenang, lakukan sekarang.”“Kamu cuma nakut-nakuti aku kan, Res?”“Aku serius. Aku berusaha menyelamatkan kamu, meskipun kamu sendiri nggak sadar ada bahaya yang mendekat.”Lalu sambungan telfon terputus begitu saja. Tanpa salam, tanpa kesempatan bagi Elira untuk bertanya lebih detail lagi.Elira memandangi layar ponselnya yang gelap dengan sejuta kebingungan. Dia tidak berani menghubungi Respati kembali.Tangan kanan Respati masih berdiri di depan pintu, lalu berucap.“Kita benar-benar harus pergi sekarang, Nona,” katanya lembut tapi pasti.Elira menarik nafas panjang lalu mengangguk.“Iya.”Malam itu langit Lombok seperti menelan cahaya. Angin laut berembus kencang, membuat daun-daun kelapa di sekitar







