Mag-log in“Apa kamu sadar apa yang kamu lakuin malam ini, Zay?” Elira berusaha tenang dan menahan suara yang bergetar. “El, itu cuma ---” “Di depan semua orang. Di ulang tahunmu. Kamu biarin perempuan lain, yang bukan tunanganmu, justru berdansa sama kamu!” Zayed menghela nafas. “Kamu terlalu pecemburu, El. Kamu ngira semua orang pengen ngerebut aku dari kamu! Ini bukan cinta lagi! Tapi rasa amanmu yang terganggu!” Elira tertawa pahit. “Apa katamu?! Kamu pikir aku gila?!”
view moreBerawal dari dikenalkan lalu menjadi tunangan.
Lelaki tampan sekaligus psikiater itu, Zayed Sagala, akan menjadi suami Elira Hananta dua bulan lagi.
Tapi akhir-akhir ini, obrolan Zayed terasa berbeda.
“Isyana gadis yang rapuh, El. Dia butuh pendengar sejak kamu masuk dalam keluarga Hananta.”
Suasana berubah tidak menyenangkan. Elira mencengkeram ponselnya dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Lagi-lagi saudara angkatnya itu kembali mencari perhatian Zayed dengan mengatakan dirinya mengidap gangguan mental semi berat.
Bahkan minggu lalu, Elira dan Zayed sempat bertengkar hebat karena hal serupa.
"Tapi kenapa kamu nggak bilang kalau ke Jepang, Zay? Kamu nggak nganggap aku lagi?"
Beberapa hari yang lalu, Zayed memang pergi Jepang untuk mengikuti sebuah seminar kesehatan mental.
"Seminarnya mendadak banget, El. Makanya aku nggak bilang karena kamu pasti melarang. Lagipula, aku ke Jepang kan supaya bisa memberikan perawatan terbaik buat saudara kamu."
"Tapi kan—"
"El, udahlah. Buang cemburumu yang berlebihan itu. Ini murni masalah profesionalisme. Aku tutup telponnya ya, aku sibuk."
Elira menatap getir pada layar ponselnya yang kini menghitam.
Sejak ia kembali dan diakui sebagai putri kandung keluarga Hananta yang selama ini hilang, posisi Isyana yang dulu begitu menonjol perlahan tergeser. Selama bertahun-tahun, Isyana terbiasa menjadi pusat perhatian, tapi kini semuanya beralih pada Elira.
Hanya saja, Elira merasa kehadirannya tidak diinginkan.
Komunikasinya dengan Zayed juga terasa kaku dan hambar. Semuanya hanya berputar pada Isyana yang butuh perhatian lebih karena penyakit mental yang dideritanya.
Elira menghela napas. Ia lantas keluar dari kamar, dan pergi ke kamar Isyana.
Saudara angkatnya itu duduk di tepi ranjang sambil tersenyum dan jemarinya bergerak lincah di atas layar ponsel. Sekilas, Elira melihat nama Zayed di sana.
“Lagi apa?” tanya Elira datar, berusaha menahan amarah.
Isyana buru-buru menyelipkan ponselnya di bawah bantal. “Nggak … nggak ngapa-ngapain. Cuma balas pesan teman.”
"Pesan dari teman atau Zayed?"
Isyana tergelak, pura-pura menutupi kebenaran. “Ya ampun, Kak El, kok kamu main tuduh sih? Maksudmu aku genit?”
“Aku nggak bilang begitu—”
“Aku ini cuma anak angkat dan posisiku lebih rendah dari kamu. Kamu pikir aku nggak tahu batas?” sela Isyana, membuat Elira membelalak tak percaya.
“Nggak usah pura-pura polos, Isya!”
Mata Isyana langsung berkaca-kaca dan suaranya bergetar. “Kenapa semua orang musuhin aku termasuk kamu, Kak El? Apa karena aku bukan darah daging keluarga Hananta lalu kamu gampang banget nyalahin aku? Aku udah kembalikan apa yang seharusnya jadi milikmu. Apa itu masih kurang?”
Air mata yang jatuh membuat Isyana terlihat begitu rapuh. Seketika, amarah Elira luruh. Ia merasa bersalah karena sudah berprasangka begitu buruk.
Elira lalu pergi dari kamar Isyana dan merutuki dirinya sendiri agar belajar menahan kecemburuan yang belum tentu benar.
Namun, semuanya hanya semakin buruk dari hari ke hari. Sepulangnya dari Jepang, Zayed nyaris tidak pernah ada waktu lagi untuk Elira. Pria itu sibuk dengan berbagai sesi terapi dengan Isyana.
Bahkan, ketika Elira mengalami kecelakaan kecil, Zayed terlihat tidak peduli.
"Kamu di rumah sakit mana? Setelah nemenin Isyana psikoterapi, aku ke sana."
"Tapi aku butuh kamu sekarang, Zay. Aku habis kecelakaan dan aku ini tunanganmu!" ujar Elira, tak dapat menahan rasa sesak di dadanya.
"Elira, aku juga harus profesional ke Isyana! Dia pasienku!" ucap Zayed setengah membentak.
Air mata Elira hampir luruh, “Kenapa setiap aku butuh kamu, jawabannya selalu Isyana? Apa kamu sadar kalau aku merasa nggak dianggap?”
“Jangan egois, Elira! Kamu selalu nuntut perhatian, tapi nggak pernah mau ngerti orang lain. Isyana itu mentalnya tertekan! Tapi dia tetap lembut, nggak nuntut ini-itu. Kamu harusnya belajar dari dia."
Teguran Zayed seperti panah yang menusuk.
Air mata Elira mulai jatuh. “Jadi kamu bandingin aku sama dia?”
Hanya terdengar helaan napas berat dari seberang.
“Kalau kamu butuh pertolongan medis, bilang aja di mana lokasi kecelakaanmu, aku akan kirim tim ambulance. Aku nggak bisa ninggalin Isyana sekarang.”
Kalimat itu membuat dada Elira seolah dihimpit beban berat, seolah semua harapannya runtuh dalam sekejap.
Lalu Zayed memutus sambungan telepon dan Elira menangis seorang diri. Merutuki kebodohan dan cintanya yang terlalu dalam dan membutakan.
Tidak berapa lama kemudian, Elira melihat status terbaru Isyana yang sedang duduk bersisian dengan Zayed di sebuah restoran, wajah mereka terlihat segar setelah berenang. Senyum Zayed begitu tulus, seolah tak ada sedikit pun masalah.
"Sejak kapan psikoterapi modelnya kayak gini?"
Di balik rasa sakit yang seakan mengoyak jantungnya, Elira sadar bahwa perasaannya pada Zayed terlalu dalam dan mengakar. Ia bisa marah, bisa cemburu, bisa tersiksa tapi tak bisa berhenti mencintai lelaki itu.
Dengan tangan gemetar, ia lantas menatap layar ponsel. Nama Zayed masih terpampang di daftar percakapan. Lalu mulai menekan tombol hapus chat, hapus riwayat panggilan. Hingga akhirnya, ia pada satu keputusan terakhir.
Hapus kontak.
Nama Zayed lenyap dari layar. Hanya tersisa ruang kosong dan hatinya yang remuk.
Selama beberapa hari mereka tidak melakukan percakapan apapun, sampai tiba-tiba sederet nomor asing meneleponnya.
Zayed.
"Sayang, kamu kenapa nggak pernah hubungi aku?"
Elira diam-diam mendengus. "Menurutmu?"
Zayed menghela nafas, "Oke, maaf, aku terlalu sibuk kerja. Aku sengaja nggak menghubungi kamu karena aku mau kamu tenang dulu. Kamu baik-baik aja kan?" tanya pria itu. “Maaf atas sikapku tempo hari… aku kelelahan, jadi sikapku sedikit berlebihan. Maaf ya?”
Elira memilih diam, lalu Zayed kembali membuka suara. “Sayang? Kamu nggak lupa kan kalau besok aku ulang tahun?”
Elira tetap diam.
"Kamu pasti lupa karena terlalu banyak cemburu," kata Zayed. “Kamu tetap yang utama buatku, El. Aku nggak pernah bermaksud mengabaikan kamu.”
Perlahan, dinding keras di hati Elira mulai retak. Mungkin… ia memang terlalu cemburu. Kadang ia lupa kalau Zayed punya tanggung jawab profesional.
Untuk kali ini saja, mungkin tidak ada salahnya untuk memberi tunangannya itu kesempatan kan?
“Besok dandan yang cantik ya? Aku tunggu kamu.”
Dan begitu saja, Elira langsung luluh.
Esok harinya, gadis itu datang dengan penampilan yang memukau dan senyum lebar di wajah cantiknya. Terlebih saat Zayed memeluk dan memberinya satu ciuman di pipi.
Semua amarah Elira belakangan ini hilang seketika.
Tapi, ketika Isyana tiba dengan gaun yang lebih baik dari Elira, mata Zayed tidak berkedip sama sekali.
Pria itu menghampiri Isyana dan bertanya, "Mau berdansa denganku?"
“Bali, Nona. Tempat yang lebih aman,” jawabnya singkat.Elira terdiam. Ia masuk ke mobil tanpa berkata lagi.Namun begitu pintu tertutup dan mobil mulai melaju, ada tatapan kosong di matanya. Setiap kilometer yang mereka tinggalkan terasa seperti jarak baru antara dirinya dan kebebasan yang hampir bisa ia genggam.Sementara itu, di ruang kerja Respati, jauh di Jakarta, ponselnya kembali bergetar. Pesan masuk singkat dari tim pengawalnya:[Target dalam perjalanan. Aman.]Respati hanya membalas:[Buat seolah ini perjalanan liburan.]Ia tahu, cepat atau lambat, Elira akan membencinya karena semua ini. Tapi untuk sekarang … keselamatan Elira jauh lebih penting daripada penjelasan apa pun.*****Pagi itu, matahari baru saja menembus jendela apartemen Zayed ketika ponselnya berdering pelan. Pesan dari Dika, orang bayaran yang ia tugaskan untuk mencari Elira.Zayed, yang masih duduk di meja makan dengan wajah lelah dan kopi yang sudah dingin, membuka pesan itu dengan mata berat.[Kita kehil
Akhirnya, ia menggeser ikon hijau di layar.“Selamat sore.” Suaranya tenang, rendah, dan tanpa ekspresi.“Selamat sore, Pak Respati. Akhirnya saya bisa berbicara langsung dengan Anda.”Respati tidak menjawab, hanya memberi keheningan yang panjang, membiarkan Tuan Hananta melanjutkan.“Kita belum pernah bertemu, tapi saya yakin Anda tahu siapa saya.”“Kurasa cukup banyak orang tahu siapa Anda setelah skandal yang dilakukan putri angkat anda,” balas Respati datar. “Pertanyaannya, mengapa Anda berusaha menghubungi saya?”Nada itu bukan nada ramah. Tidak ada rasa sungkan, seolah ia berbicara dengan rekan bisnis kecil, bukan salah satu tokoh paling berpengaruh di industri kesehatan.“Saya tidak suka berputar-putar,” ucap Tuan Hananta. “Saya hanya ingin tahu apa hubungan Anda dengan putriku, Elira.”Hening kembali menggantung. Respati bersandar perlahan di kursinya, menatap lampu-lampu kota yang mulai menyala.“Menarik,” katanya pelan. “Biasanya orang menanyakan kerja sama bisnis. Anda justr
“Pastikan Elira tetap aman dan …. bahagia.”Asistennya menunduk hormat. Ia paham betul arti di balik kata-kata itu. Bahwa kendali tetap di tangan Respati.Begitu pintu tertutup dan Respati kembali sendiri, ia menatap layar tablet itu sekali lagi. Senyum samar tersungging di sudut bibirnya.“Jadi kamu bisa tertawa lagi tanpa aku, Elira? Baiklah. Nikmati sementara masih bisa.”Ia lalu mematikan tablet itu dan beralih menekuri laptopnya.****Elira baru saja menutup pintu rumah dan hendak berbaring, tapi ponselnya berdering pelan di meja kecil dekat mesin jahit.Namun saat melihat layar ponselnya, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Nama Respati tertera di sana. Sudah berhari-hari ia tidak mendengar suara laki-laki itu. Sejak malam pemindahannya ke desa ini, semua komunikasi hanya melalui tangan kanan Respati.Dan kini, tiba-tiba, ia menelpon sendiri.Dengan jantung berdegup tidak karuan, Elira akhirnya menggeser ikon hijau.“Halo?” suaranya nyaris berbisik.“Lama juga ya angkat telfonnya?”
[Reno : Tuan, ini foto yang kami temukan. Masih buram, tapi kami yakin 80% itu Nona Elira. Vila tepi pantai di Lombok Utara.]Zayed membuka foto itu, gambar perempuan bergaun putih muda, tengah berjalan di tepi teras dengan laut di belakangnya. Kabur, tapi cukup untuk membuat jantungnya berhenti berdetak sesaat.“Elira,” suaranya lirih, hampir tidak terdengar.Ia menatap layar lama sekali, matanya memantulkan cahaya ponsel yang bergetar di genggamannya. Isyana bergerak sedikit di sebelahnya, bergumam kecil, lalu memeluk lengan Zayed dalam tidurnya. Namun pria itu bahkan tidak menoleh.Ia hanya duduk diam, menggenggam ponsel erat-erat. Tatapannya dingin, ada sesuatu yang berputar di pikirannya, antara rasa bersalah, rindu, dan tekad.‘Aku akan menemukanku lagi, Elira. Apa pun caranya.’*****Angin pagi dari pegunungan kecil di belakang desa membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga.Rumah baru Elira berdiri di tepi jalan paving, dikelilingi pagar bambu dan pohon pisang di belakangny
“Oh, sekarang aku yang disalahin lagi? Setelah aku berhasil ngerayu Papa buat bantu bisnis keluargamu, apa ini imbalannya, Kak?!”Zayed merasa tertampar lalu Isyana menambahkan.“Kamu pikir aku nggak stres, Kak? Aku kehilangan reputasi, teman-temanku menjauh, semua orang ngata-ngatain aku perebut tunangan orang! Itu semua aku alihin sama belanja online dan ngelakuin semua semauku!”“Kalau cuma apartemen ktor, kamu bisa panggil tukang bersih-bersih kan bisa. Nggak perlu nyentil aku kayak gini seolah-olah aku ini nggak berguna buat kamu!”Zayed terdiam. Tapi wajahnya menunjukkan kejengkelan dan malu yang tak bisa disembunyikan.Ia menatap sekitar apartemen, lalu menatap Isyana, sosok perempuan yang dulu ia pikir akan membuat hidupnya lebih berwarna, kini justru seperti menambah beban pikirannya.“Aku cuma capek, Isya,” katanya pelan tapi tegas.“Kalau kamu capek, aku juga capek terus disalahin!”Zayed berdiri lalu menuju balkon. Dari sana ia bisa melihat gemerlap lampu kota Jakarta yang
Elira terdiam. Amarahnya runtuh perlahan, berganti dengan gelombang takut dan bingung.“Apa ... apa maksudmu, Res?”“Maksudku sederhana,” jawab Respati dingin. “Aku nggak akan mengulang perintah dua kali. Kemasi barangmu, ikut orangku, dan jangan tanya apa-apa lagi. Kalau kamu mau hidup tenang, lakukan sekarang.”“Kamu cuma nakut-nakuti aku kan, Res?”“Aku serius. Aku berusaha menyelamatkan kamu, meskipun kamu sendiri nggak sadar ada bahaya yang mendekat.”Lalu sambungan telfon terputus begitu saja. Tanpa salam, tanpa kesempatan bagi Elira untuk bertanya lebih detail lagi.Elira memandangi layar ponselnya yang gelap dengan sejuta kebingungan. Dia tidak berani menghubungi Respati kembali.Tangan kanan Respati masih berdiri di depan pintu, lalu berucap.“Kita benar-benar harus pergi sekarang, Nona,” katanya lembut tapi pasti.Elira menarik nafas panjang lalu mengangguk.“Iya.”Malam itu langit Lombok seperti menelan cahaya. Angin laut berembus kencang, membuat daun-daun kelapa di sekitar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments