Mereka menanyakan Elira ingin warna apa untuk pelaminan hingga konsep dekorasi pesta.
Dengan air mata menetes, satu demi satu pesan itu ia buka, lalu dihapus tanpa balasan. Hatinya hanya menahan sesak.
Sampai akhirnya, jemarinya berhenti pada nomor pencetak undangan. Bertanya model undangan seperti apa yang Elira inginkan.
Ia hendak menghapus pesan itu begitu saja seperti pesan dari wedding organizer. Tapi ia berubah pikiran, kemudian mengetik sebuah pesan pendek yang sarat akan hatinya yang berkecamuk.
[Saya ingin membatalkan seluruh pesanan undangan. Mohon maaf.]
Pesan terkirim dan hati Elira terasa makin pedih dan hancur.
Tapi ia tahu ini lebih baik dari pada bertahan dalam hubungan yang tidak bisa dipertahankan.
Kemudian Elira merebahkan tubuhnya sambil memandang langit-langit kamar. Membiarkan air mata meleleh dari sudut matanya.
Dalam keheningan kamar, pikirannya melayang jauh pada Zayed, Isyana, keluarga Hananta, dan Respati.
Respati, pria sederhana yang tidak haus akan sorot kamera meski ia seorang pewaris jaringan hotel berbintang.
Ada penyesalan yang tak mungkin bisa Elira tebus. Masa lalu itu tidak bisa diulang bahkan dia tidak yakin bisa membuat Respati berubah lembut seperti sedia kala.
“Ini salahku. Maafin aku, Res. Tapi … tolong aku,” ucapnya pilu.
Respati yang dulu sering menatapnya dengan senyum hangat, hanya karena Elira mau mendengarkan, memberi saran, dan duduk di sampingnya tanpa menuntut apa pun.
Respati yang diam-diam mencintainya, karena Elira bisa membuat hari-harinya menjadi lebih ringan di sela luka hatinya pada sang ayah dan istri barunya. Perceraian orang tuanya membuatnya terpukul.
Tapi saat Respati memujanya dalam kelembutan, Elira justru berakhir meninggalkannya tanpa kata.
Meninggalkan seseorang yang tulus demi sebuah ‘janji megah’ dari keluarga Hananta.
Wajahnya pucat dengan mata sembab. Elira mencoba tidur tapi ketika ponselnya bergetar dari nomor tanpa nama, dadanya serasa berhenti berdetak.
Respati.
[Aku udah tahu semua identitas lengkap Zayed Sagala. Termasuk apa yang bikin kamu mutusin lari dari pernikahan.]
Elira tertegun dengan tangan gemetar.
[Aku nggak mau membahas itu, Res.]
Balasan dari Respti datang begitu cepat.
[Bukan cuma sama siapa Zayed berhubungan saat ini, tapi ada rahasia lain yang kamu nggak tahu, El.]
Kepala Elira sangat pening dan tidak mau membahas apapun tentang Zayed.
Lalu Respati kembali mengirim pesan.
[Kalau kamu udah siap, aku bakal kasih tahu semuanya.]
****
Hari demi hari Elira seperti memainkan sandiwara panjang yang melelahkan. Terlebih saat ibunya mendapat telefon dari pihak wedding organizer.
“Elira! Kalau dihubungi pihak EO tuh dijawab! Kamu kayak nggak serius ngurus pernikahanmu sama Zayed! Padahal keluarganya udah kayak saudara sendiri buat Mama dan Papa!”
“Kemarin … pesannya tertumpuk sama pesan lain, Ma.” Kilahnya.
“Nggak usah banyak alasan! Sekarang ayo kita urus semuanya!”
Kepala Elira mengangguk tanpa banyak bicara meski hatinya terpaksa.
Lalu mereka menghadiri rapat dekorasi bersama event organizer. Elira terlihat pasif dan selalu berkata jika menyerahkan semuanya demi yang terbaik.
Berapa banyak tamu yang datang dan ikut mencicipi contoh kue pernikahan. Semua hal itu Elira lakukan dengan senyum tipis bahagia penuh kepalsuan.
Setelah urusan itu selesai, Elira berada di dalam mobil dengan ibunya seperti bersama orang lain. Tanpa percakapan hangat sedikit pun.
Ketika sampai di rumah, mata Elira menyipit ketika melihat mobil Zayed ada di halaman rumah. Seingat Elira, tunangannya itu tidak berkata jika akan datang ke rumah.
Begitu membuka pintu rumah, Isyana tidak henti-hentinya membuat luka itu semakin nyata bagi Elira.
Isyana duduk di sebelah Zayed sambil menuangkan teh. Tawa mereka terdengar renyah entah sehabis membicarakan apa.
“Zay, jangan lupa makan, biar asam lambungmu nggak kambuh,” ucap Isyana lembut sambil menyodorkan secangkir teh.
Zayed tersenyum. “Makasih, Isya. Aku memang butuh diingatkan. Suka kelupaan.”
Kemudian ibunya yang masih berdiri di sampingnya, ikut berkata, “Lihat Isyana, sopan dan perhatian. Kamu bisa belajar sedikit lebih hangat dari adik angkatmu itu. Biar Zayed lebih nyaman sama kamu dari pada sama adikmu.”
Elira merasa ibunya sama sekali tidak membantu. “Iya, Ma.”
“Tapi sebenarnya dari awal kan Zayed itu mau dijodohin sama Isyana. Ah … udah lah, cuma masa lalu.”
Kemudian Elira berdehem. Membuat Isyana dan Zayed terkejut lalu saling menjauh. Namun itu semua terlambat, Elira sudah melihatnya.
Zayed meletakkan secangkir teh itu kemudian menghampiri Elira.
“Hai, Sayang.”
“Kenapa kamu nggak bilang kalau mau kemari, Zay?” suara Elira terdengar tegas, namun ada getar yang sulit ia sembunyikan.
Zayed menoleh, sedikit kebingungan. “Aku … cuma mampir sebentar. Nggak ada maksud apa-apa.”
Mata Elira menyipit. Ia beralih menatap Isyana. Dia menduga jika Isyana berkata pada Zayed jika sedang di rumah sendirian lalu menyuruh Zayed datang.
Mendadak emosinya tidak bisa dibendung lalu Elira bertanya dengan suaranya lantang sambil menatap Isyana.
“Kamu sebenarnya suka sama Zayed, kan?”
Pertanyaan itu membuat ruangan mendadak hening. Wajah Isyana langsung memucat, lalu ia menunduk.
“Kak El … kenapa nuduh aku kayak gitu? Aku … aku cuma adik angkat yang punya gangguan mental. Kenapa aku terus kamu sudutkan? Apa salahku ke kamu, Kak El? Apa kamu mau aku pergi?” suaranya bergetar.
“Kalau kamu mau aku pergi, aku akan pergi, Kak El. Aku tahu, aku bukan putri kandung keluarga Hananta.” Lalu tangisnya pecah.
Kemudian Zayed mencegah Isyana pergi. Dia berusaha menenangkan tangis Isyana yang terdengar pilu.
“Isya, jangan sedih begini. Elira cuma salah paham. Maafin dia.”
“Dari awal kedatangannya, Kak El emang nggak pernah suka sama aku, Zay. Dia nganggap aku saingannya. Padahal aku … aku cuma anak pungut.”
Zayed merengkuhnya dalam pelukan dan terus berusaha menenangkannya. Itu semua terekam jelas dalam otak Elira.
Hingga pada akhirnya, Isyana mendadak merasa sesak nafas dan membuat Zayed kebingungan. Karena tidak ada cara lain, Zayed kemudian memberinya nafas buatan.
Di depan Elira, Zayed mencium Isyana dengan dalih memberi nafas buatan.
Ciuman yang tidak pernah Elira dapatkan barang sekalipun dari Zayed. Tapi kini, ia memberikannya pada Isyana.
“Lebih baik?” Tanya Zayed.
Kemudian Isyana mengangguk dan kembali menangis sambil memeluk Zayed.
Elira hanya bisa diam terpaku bahkan mematung seperti balok es.
Tangisan itu akhirnya terdengar hingga ke ibunya. Sang ibu buru-buru menghampiri lalu Zayed menjelaskan semuanya. Terdengar berat sebelah dan hanya menguntungkan Isyana.
Ia menatap Elira tajam. “Elira! Isyana itu adikmu! Bukan sainganmu! Kamu selalu melukai perasaannya!”
Zayed ikut angkat bicara dengan wajah tegang. “Elira, aku minta kamu belajar meredam kecemburuanmu. Kalau begini terus, aku khawatir kamu butuh bantuan klinik jiwa. Ini nggak sehat, El.”
Ucapan itu menghantam Elira seperti palu berat. Hatinya hancur saat merasa semua orang bersekongkol menjatuhkannya. Tanpa berkata lagi, ia berbalik, melangkah cepat menuju kamarnya.
Di dalam kamar, Elira mengunci pintu, punggungnya bersandar pada dinding dengan air mata kembali merembes. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel.
Dengan pandangan kabur karena air mata, jemarinya yang bergetar berhasil mencari nomer Respati.
Dengan suara parau, Elira berucap, “Res, aku butuh bicara. Tolong jawab …”
Mereka menanyakan Elira ingin warna apa untuk pelaminan hingga konsep dekorasi pesta.Dengan air mata menetes, satu demi satu pesan itu ia buka, lalu dihapus tanpa balasan. Hatinya hanya menahan sesak.Sampai akhirnya, jemarinya berhenti pada nomor pencetak undangan. Bertanya model undangan seperti apa yang Elira inginkan.Ia hendak menghapus pesan itu begitu saja seperti pesan dari wedding organizer. Tapi ia berubah pikiran, kemudian mengetik sebuah pesan pendek yang sarat akan hatinya yang berkecamuk.[Saya ingin membatalkan seluruh pesanan undangan. Mohon maaf.]Pesan terkirim dan hati Elira terasa makin pedih dan hancur.Tapi ia tahu ini lebih baik dari pada bertahan dalam hubungan yang tidak bisa dipertahankan.Kemudian Elira merebahkan tubuhnya sambil memandang langit-langit kamar. Membiarkan air mata meleleh dari sudut matanya.Dalam keheningan kamar, pikirannya melayang jauh pada Zayed, Isyana, keluarga Hananta, dan Respati.Respati, pria sederhana yang tidak haus akan sorot
[Maaf, aku ada urusan mendadak. Tolong, antar Isyana pulang, Zay. Kalau Mama dan Papa marah, bilang aja aku yang nyuruh kamu nganter dia pulang.]Elira tidak peduli andai dihujat kembali oleh kedua orang tuanya demi Isyana. Lagi pula ia tidak pernah dianggap ada.Elira kemudian menepikan harga dirinya. Dia terus menghubungi nomer tanpa nama milik Respati Kanagara. Sudah puluhan kali panggilan ia layangkan dengan harapan Respati mengangkatnya.Karena hanya Respati yang bisa menolongnya. Meski ia banyak melukai lelaki itu di masa lalu. Dan akhirnya, panggilan itu terhubung setelah tujuh puluh sembilan kali.“Siapa ini?” Tanyanya dengan suara rendah.Elira gugup. “Aku … Elira.”Hening sejenak.“Oh … Elira Hananta?” Respati menyindir.Elira menghela nafas panjang.“Namaku Elira Putri. Bukan Elira Hananta.”Agar Respati tahu jika ia memiliki masalah dengan keluarga Hananta.“Ada angin apa tiba-tiba kamu nelfon aku, El? Aku pikir ini mimpi.”Menepikan rasa malunya, Elira membuka suara.“Aku
"Buang aja," ucapnya dengan menunduk.Menyembunyikan matanya yang bengkak setelah menangis semalam.Pikiran Elira kembali ke moment saat Zayed memberinya gaun yang indah, tapi tidak pernah bertanya ukuran badannya. Dia memberi Elira jam tangan dari emas tapi tidak pernah bertanya apakah Elira menyukainya atau tidak.Sebenarnya hubungan mereka kering namun Elira selalu menafikkan. Pada kenyataannya, Zayed selalu punya kehangatan untuk Isyana.Padahal Elira yang selama dua tahun ini berada di sisinya hingga rela dibentuk ulang oleh keluarga Hananta agar pantas menjadi calon nyonya Sagala.Zayed bisa memarahi Elira jika nada bicara dan cara duduknya kurang tepat. Bahkan karena secuil kerutan di bajunya terkadang bisa menjadi masalah.Tapi pada Isyana, segalanya dimaafkan dengan sejuta alasan yang pada akhirnya membuat Elira sadar. Bahwa selama ini dia terlalu lama membohongi hatinya dan menganggap sikap Zayed memang seperti itu.“Gimana, Pa? Apa Isyana udah bisa dihubungi?” Tanya Nyonya
"Maaf, Zay. Aku nggak mau dimarahin Kak El gara-gara dansa sama kamu." Tolak Isyana dengan memandang Elira. Kemudian Zayed menghampiri Elira dan berkata, "Hanya satu tarian, El. Lagi pula Isyana itu adikmu dan pasienku. Buang cemburu butamu itu!" Tidak mau berdebat, kemudian kepala Elira mengangguk dengan terpaksa. Hatinya berubah panas ketika melihat gerakan mereka selaras. Tatapan Zayed hangat dan penuh perhatian. Bagi Elira, pesta ulang tahun Zayed adalah kuburan diam-diam bagi hubungan mereka.Setelah mereka selesai berdansa, Elira melangkah cepat. Gaunnya menyapu lantai marmer saat menghampiri Zayed yang tersenyum pada Isyana.“Bisa bicara sebentar?” Tanyanya dengan ekspresi menahan kesal.Zayed menoleh tanpa terkejut. “Nanti aja. Aku ---”“Sekarang!”Kemudian Zayed mengikuti Elira dengan langkah lebar. Mereka menuju taman belakang, jauh dari sorotan lampu pesta.“Apa kamu sadar apa yang kamu lakuin malam ini, Zay?” Elira berusaha tenang dan menahan suara yang bergetar.“El, i
Berawal dari dikenalkan lalu menjadi tunangan.Lelaki tampan sekaligus psikiater itu, Zayed Sagala, akan menjadi suami Elira Hananta dua bulan lagi.Tapi akhir-akhir ini, obrolan Zayed terasa berbeda.“Isyana gadis yang rapuh, El. Dia butuh pendengar sejak kamu masuk dalam keluarga Hananta.”Suasana berubah tidak menyenangkan. Elira mencengkeram ponselnya dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih.Lagi-lagi saudara angkatnya itu kembali mencari perhatian Zayed dengan mengatakan dirinya mengidap gangguan mental semi berat.Bahkan minggu lalu, Elira dan Zayed sempat bertengkar hebat karena hal serupa."Tapi kenapa kamu nggak bilang kalau ke Jepang, Zay? Kamu nggak nganggap aku lagi?"Beberapa hari yang lalu, Zayed memang pergi Jepang untuk mengikuti sebuah seminar kesehatan mental."Seminarnya mendadak banget, El. Makanya aku nggak bilang karena kamu pasti melarang. Lagipula, aku ke Jepang kan supaya bisa memberikan perawatan terbaik buat saudara kamu.""Tapi kan—""El, udahlah. Buan