Home / Romansa / Saudara Angkatku, Rivalku / Ciuman Berdalih Nafas Buatan

Share

Ciuman Berdalih Nafas Buatan

Author: DAUN MUDA
last update Last Updated: 2025-08-17 15:16:55

Mereka menanyakan Elira ingin warna apa untuk pelaminan hingga konsep dekorasi pesta.

Dengan air mata menetes, satu demi satu pesan itu ia buka, lalu dihapus tanpa balasan. Hatinya hanya menahan sesak.

Sampai akhirnya, jemarinya berhenti pada nomor pencetak undangan. Bertanya model undangan seperti apa yang Elira inginkan.

Ia hendak menghapus pesan itu begitu saja seperti pesan dari wedding organizer. Tapi ia berubah pikiran, kemudian mengetik sebuah pesan pendek yang sarat akan hatinya yang berkecamuk.

[Saya ingin membatalkan seluruh pesanan undangan. Mohon maaf.]

Pesan terkirim dan hati Elira terasa makin pedih dan hancur.

Tapi ia tahu ini lebih baik dari pada bertahan dalam hubungan yang tidak bisa dipertahankan.

Kemudian Elira merebahkan tubuhnya sambil memandang langit-langit kamar. Membiarkan air mata meleleh dari sudut matanya.

Dalam keheningan kamar, pikirannya melayang jauh  pada Zayed, Isyana, keluarga Hananta, dan Respati.

Respati, pria sederhana yang tidak haus akan sorot kamera meski ia seorang pewaris jaringan hotel berbintang.

Ada penyesalan yang tak mungkin bisa Elira tebus. Masa lalu itu tidak bisa diulang bahkan dia tidak yakin bisa membuat Respati berubah lembut seperti sedia kala.

“Ini salahku. Maafin aku, Res. Tapi … tolong aku,” ucapnya pilu.

Respati yang dulu sering menatapnya dengan senyum hangat, hanya karena Elira mau mendengarkan, memberi saran, dan duduk di sampingnya tanpa menuntut apa pun.

Respati yang diam-diam mencintainya, karena Elira bisa membuat hari-harinya menjadi lebih ringan di sela luka hatinya pada sang ayah dan istri barunya. Perceraian orang tuanya membuatnya terpukul.

Tapi saat Respati memujanya dalam kelembutan, Elira justru berakhir meninggalkannya tanpa kata.

Meninggalkan seseorang yang tulus demi sebuah ‘janji megah’ dari keluarga Hananta.

Wajahnya pucat dengan mata sembab. Elira mencoba tidur tapi ketika ponselnya bergetar dari nomor tanpa nama, dadanya serasa berhenti berdetak.

Respati.

[Aku udah tahu semua identitas lengkap Zayed Sagala. Termasuk apa yang bikin kamu mutusin lari dari pernikahan.]

Elira tertegun dengan tangan gemetar.

[Aku nggak mau membahas itu, Res.]

Balasan dari Respti datang begitu cepat. 

[Bukan cuma sama siapa Zayed berhubungan saat ini, tapi ada rahasia lain yang kamu nggak tahu, El.]

Kepala Elira sangat pening dan tidak mau membahas apapun tentang Zayed.

Lalu Respati kembali mengirim pesan.

[Kalau kamu udah siap, aku bakal kasih tahu semuanya.]

****

Hari demi hari Elira seperti memainkan sandiwara panjang yang melelahkan. Terlebih saat ibunya mendapat telefon dari pihak wedding organizer.

“Elira! Kalau dihubungi pihak EO tuh dijawab! Kamu kayak nggak serius ngurus pernikahanmu sama Zayed! Padahal keluarganya udah kayak saudara sendiri buat Mama dan Papa!”

“Kemarin … pesannya tertumpuk sama pesan lain, Ma.” Kilahnya.

“Nggak usah banyak alasan! Sekarang ayo kita urus semuanya!”

Kepala Elira mengangguk tanpa banyak bicara meski hatinya terpaksa.

Lalu mereka menghadiri rapat dekorasi bersama event organizer. Elira terlihat pasif dan selalu berkata jika menyerahkan semuanya demi yang terbaik.

Berapa banyak tamu yang datang dan ikut mencicipi contoh kue pernikahan. Semua hal itu Elira lakukan dengan senyum tipis bahagia penuh kepalsuan.

Setelah urusan itu selesai, Elira berada di dalam mobil dengan ibunya seperti bersama orang lain. Tanpa percakapan hangat sedikit pun.

Ketika sampai di rumah, mata Elira menyipit ketika melihat mobil Zayed ada di halaman rumah. Seingat Elira, tunangannya itu tidak berkata jika akan datang ke rumah.

Begitu membuka pintu rumah, Isyana tidak henti-hentinya membuat luka itu semakin nyata bagi Elira.

Isyana duduk di sebelah Zayed sambil menuangkan teh. Tawa mereka terdengar renyah entah sehabis membicarakan apa.

“Zay, jangan lupa makan, biar asam lambungmu nggak kambuh,” ucap Isyana lembut sambil menyodorkan secangkir teh.

Zayed tersenyum. “Makasih, Isya. Aku memang butuh diingatkan. Suka kelupaan.”

Kemudian ibunya yang masih berdiri di sampingnya, ikut berkata, “Lihat Isyana, sopan dan perhatian. Kamu bisa belajar sedikit lebih hangat dari adik angkatmu itu. Biar Zayed lebih nyaman sama kamu dari pada sama adikmu.”

Elira merasa ibunya sama sekali tidak membantu. “Iya, Ma.”

“Tapi sebenarnya dari awal kan Zayed itu mau dijodohin sama Isyana. Ah … udah lah, cuma masa lalu.”

Kemudian Elira berdehem. Membuat Isyana dan Zayed terkejut lalu saling menjauh. Namun itu semua terlambat, Elira sudah melihatnya.

Zayed meletakkan secangkir teh itu kemudian menghampiri Elira.

“Hai, Sayang.”

“Kenapa kamu nggak bilang kalau mau kemari, Zay?” suara Elira terdengar tegas, namun ada getar yang sulit ia sembunyikan.

Zayed menoleh, sedikit kebingungan. “Aku … cuma mampir sebentar. Nggak ada maksud apa-apa.”

Mata Elira menyipit. Ia beralih menatap Isyana. Dia menduga jika Isyana berkata pada Zayed jika sedang di rumah sendirian lalu menyuruh Zayed datang.

Mendadak emosinya tidak bisa dibendung lalu Elira bertanya dengan suaranya lantang sambil menatap Isyana.

“Kamu sebenarnya suka sama Zayed, kan?”

Pertanyaan itu membuat ruangan mendadak hening. Wajah Isyana langsung memucat, lalu ia menunduk.

“Kak El … kenapa nuduh aku kayak gitu? Aku … aku cuma adik angkat yang punya gangguan mental. Kenapa aku terus kamu sudutkan? Apa salahku ke kamu, Kak El? Apa kamu mau aku pergi?” suaranya bergetar.

“Kalau kamu mau aku pergi, aku akan pergi, Kak El. Aku tahu, aku bukan putri kandung keluarga Hananta.” Lalu tangisnya pecah.

Kemudian Zayed mencegah Isyana pergi. Dia berusaha menenangkan tangis Isyana yang terdengar pilu.

“Isya, jangan sedih begini. Elira cuma salah paham. Maafin dia.”

“Dari awal kedatangannya, Kak El emang nggak pernah suka sama aku, Zay. Dia nganggap aku saingannya. Padahal aku … aku cuma anak pungut.”

Zayed merengkuhnya dalam pelukan dan terus berusaha menenangkannya. Itu semua terekam jelas dalam otak Elira.

Hingga pada akhirnya, Isyana mendadak merasa sesak nafas dan membuat Zayed kebingungan. Karena tidak ada cara lain, Zayed kemudian memberinya nafas buatan.

Di depan Elira, Zayed mencium Isyana dengan dalih memberi nafas buatan.

Ciuman yang tidak pernah Elira dapatkan barang sekalipun dari Zayed. Tapi kini, ia memberikannya pada Isyana.

“Lebih baik?” Tanya Zayed.

Kemudian Isyana mengangguk dan kembali menangis sambil memeluk Zayed.

Elira hanya bisa diam terpaku bahkan mematung seperti balok es.

Tangisan itu akhirnya terdengar hingga ke ibunya. Sang ibu buru-buru menghampiri lalu Zayed menjelaskan semuanya. Terdengar berat sebelah dan hanya menguntungkan Isyana.

Ia menatap Elira tajam. “Elira! Isyana itu adikmu! Bukan sainganmu! Kamu selalu melukai perasaannya!”

Zayed ikut angkat bicara dengan wajah tegang. “Elira, aku minta kamu belajar meredam kecemburuanmu. Kalau begini terus, aku khawatir kamu butuh bantuan klinik jiwa. Ini nggak sehat, El.”

Ucapan itu menghantam Elira seperti palu berat. Hatinya hancur saat merasa semua orang bersekongkol menjatuhkannya. Tanpa berkata lagi, ia berbalik, melangkah cepat menuju kamarnya.

Di dalam kamar, Elira mengunci pintu, punggungnya bersandar pada dinding dengan air mata kembali merembes. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel.

Dengan pandangan kabur karena air mata, jemarinya yang bergetar berhasil mencari nomer Respati.

Dengan suara parau, Elira berucap, “Res, aku butuh bicara. Tolong jawab …”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Alasan Untuk Kembali

    Tiga tahun telah berlalu sejak Elira pergi. Respati, kini menjadi CEO Kanagara Group yang baru, memimpin perusahaan properti dan jaringan hotel mewah Ayahnya.Ia telah memindahkan seluruh kantornya kembali ke Jakarta, fokus mengelola aset besar yang tersebar di berbagai kota.Respati tidak pernah mendekati perempuan lain.Ia bekerja tanpa henti, membiarkan liontin cincin Elira tersembunyi di balik dasinya, menjadi satu-satunya ikatan yang tersisa dari pernikahan mereka.Ia telah mengutus Dion untuk secara diam-diam mencari tahu tentang perkembangan karir Elira, ingin memastikan bahwa Elira baik-baik saja dan aman, tetapi ia tidak pernah mencoba menghubunginya.Hatinya dipenuhi harapan yang mustahil bahwa suatu hari nanti, takdir akan membawa Elira kembali kepadanya.Pada awal tahun keempat, salah satu hotel termewah milik Kanagara Group di Jakarta Pusat terpilih menjadi venue utama untuk acara tahunan Grand Wedding Showcase—peragaan busana pengantin paling bergengsi.Respati secara pri

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Cinta Yang Terlambat

    “Halo, Res. Kamu jadi pulang cepat?” tanya Ibunya.Berusaha keras tidak terdengar panik.“Aku lagi ngejar deadline, Bu. Kenapa? Apa Elira di rumah?”“Dia di rumah. Lagi sibuk sama benang-benangnya. Oh ya, Ibu pengen sesuatu, Res.”“Pengen apa, Bu?” Respati mendesah, jelas merasa terganggu tetapi tidak bisa menolak permintaan Ibunya.“Ibu pengen Martabak Pak Kumis yang di Jalan Bima itu, lho. Yang paling terkenal di Jogja, yang antreannya panjangnya setengah kilometer.”Respati terdiam.Ia tahu betul lokasi yang dimaksud Ibunya. Itu adalah salah satu martabak paling legendaris dan lokasinya cukup jauh dari rumah mereka, membutuhkan waktu minimal 45 menit perjalanan pergi dan pulang di jam sibuk ini.“Bu, itu jauh banget! Yang lain aja lah,” protes Respati.“Ibu maunya yang itu. Kalau kamu sayang Ibu, tolong belikan.” Ibunya menggunakan senjata pamungkas.Rasa bersalah.Respati menghela napas kasar. Tetapi permintaan Ibunya, meskipun aneh, tidak bisa ditolaknya. Lagipula, ia yakin Elira

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Penjara Dingin

    Pagi menjelang, cahaya samar-samar mulai menyelinap masuk melalui celah gorden kamar Respati.Keheningan yang dingin tidak lagi ada.Respati memeluk Elira erat. Ia merasa lega dan cemas pada saat yang bersamaan. Ia telah melakukan tindakan yang sangat egois, tetapi ia merasa utuh kembali, seolah ia telah menemukan harta yang ia buang sendiri.Elira terbangun lebih dulu. Ia merasakan lengan Respati melingkari pinggangnya dengan kuat, seolah takut Elira akan menghilang jika pelukannya mengendur sedikit saja. Tubuh mereka bertautan, sisa-sisa keintiman malam itu masih terasa.Elira mencoba bergerak, berniat melepaskan diri dan kembali ke kamarnya.Seketika, pelukan Respati mengerat.“Jangan bergerak,” bisik Respati, suaranya dalam dan serak khas bangun tidur.“Aku harus kembali ke kamarku,” jawab Elira pelan, nadanya datar dan tanpa emosi.Ia tidak mau mengakui keintiman ini.“Nggak,” Respati menekan kata itu. Ia membuka matanya, menatap Elira dengan tatapan posesif yang dingin. “Kamu ngg

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Kamu Milikku!!!

    Pukul dua dini hari. Keheningan total menyelimuti rumah itu.Respati terbangun dengan rasa haus yang luar biasa. Ia menyalakan lampu kecil di kamarnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Ibunya dan tatapan tenang Elira di Malioboro. Ia memutuskan untuk mandi agar pikirannya jernih.Respati keluar dari kamarnya, hanya mengenakan celana pendek. Langkah kakinya pelan menuju kamar mandi.Tepat pada saat yang sama, pintu kamar Elira terbuka pelan. Elira keluar. Ia juga haus. Di bawah cahaya remang-remang, terlihat jelas mata Elira sedikit sembab, bekas sisa tangis yang ia tahan setelah kembali dari Malioboro.Ia bergerak perlahan menuju dapur, tidak menyadari Respati ada di lorong.Kemudian mereka berpapasan tepat di depan kamar Respati.Elira tersentak kaget. Ia melihat Respati yang berdiri di sana, bertelanjang dada.Elira dengan cepat mengendalikan diri, wajahnya kembali datar, dan ia berusaha untuk melewatinya begitu saja, tidak peduli dengan kehadiran suaminya.“Permisi,” gumam Elira

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Suami Tidak Tahu Diri

    Elira mempertahankan senyum tenangnya, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya, namun cukup untuk membuat Respati dan Risa merasa canggung.Ia mengabaikan tatapan panik Respati dan menoleh ke arah Risa.“Halo, Risa. Ternyata kita bertemu lagi, ya,” sapa Elira ramah, seolah mereka hanyalah dua orang kenalan biasa. “Senang melihat kalian berdua menikmati festival ini. Kalian tampak … sangat cocok sebagai rekan kerja.”Risa terlihat sangat tidak nyaman.“Eh, iya. Kami hanya … hanya research kostum untuk event mendatang, kok.”Respati, yang masih tergagap dan bingung harus berkata apa setelah berbohong kepada Ibunya, hanya bisa diam menatap Elira. Tatapan Elira begitu tenang, begitu tidak menuduh, sehingga justru membuat Respati semakin merasa bersalah.Elira kembali menatap Respati.“Festivalnya pasti akan berlanjut sampai malam. Silakan kalian berdua lanjutkan melihat peragaan busana atau bunga-bunga ini. Tadi Ibuku bilang dia kelelahan. Aku harus segera mengantarnya pulang.”Elir

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Kalian Terlihat Akrab

    “El, kamu menang,” seru mertuanya nyaris berteriak. “Kamu juara pertama! Juara Pertama Kontes Desain Pakaian Daerah!”Elira membeku sejenak. Kemudian, rasa gembira yang luar biasa meluap. Ia bangkit dan memeluk mertuanya erat-erat, air mata kebahagiaan akhirnya tumpah setelah sekian lama ia hanya menangis dalam diam.“Aku menang, Bu! Aku berhasil!” Elira tertawa dan menangis bersamaan. Ia merasa diakui, bukan sebagai istri pelarian, tetapi sebagai seorang desainer berbakat.“Ibu tahu kamu berbakat, El!”Kemenangan ini adalah penawar untuk semua rasa sakit dan pengabaian yang ia rasakan. Elira merasa bahwa kini ia benar-benar siap untuk menghadapi perpisahan dengan Respati, karena ia punya masa depan yang bisa ia genggam dengan tangannya sendiri.Namun, di tengah luapan kebahagiaan itu, ia teringat satu hal.Respati.“Bu, Respati nggak boleh tahu aku melanggar aturannya,” kata Elira, kembali pada kewaspadaan.Mertuanya mengangguk cepat.“Jangan khawatir, El. Kita akan atur semuanya. Sek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status