Beranda / Romansa / Saudara Angkatku, Rivalku / Batas Kesabaranku Runtuh

Share

Batas Kesabaranku Runtuh

Penulis: DAUN MUDA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 22:31:32

"Temui aku. Sekarang. Di tempat kita biasa ketemu dulu. Jangan beritahu siapa pun. Aku tunggu satu jam dari sekarang,” ucap Respati tegas, lalu mematikan sambungan telepon.

Dia tidak memberi Elira pilihan sama sekali. Karena Respati hanya memiliki dua pillihan untuk Elira, mau datang menemuinya atau tetap meringkuk sendirian di rumah.

Usai menutup sambungan telfon, Respati memandangi kopinya yang sudah dingin. Sudah lama ia menghadapi hari-hari tanpa Elira. Dan hari ini, dia seakan kembali ditarik ke masa lalu saat keduanya begitu bahagia dalam ikatan cinta yang sederhana.

Respati tidak tahu, apakah dia masih mencintai Elira atau sekedar ingin membalas dendam atas sikap Elira yang meninggalkannya tiga tahun silam.

Namun kepala Respati menggeleng, “Ini bukan untuk balas dendam, tetapi untuk menunjukkan kalau pilihan yang dia buat tiga tahun lalu adalah kebodohan besar.”

Kini, akhirnya Elira kembali.

Respati tahu jika Elira kembali padanya bukan untuk cinta, tapi untuk bertahan hidup dari kemalangan yang ia dapatkan dari keluarga Hananta. Karena sedikit banyak di dalam hati Elira, nama Zayed Sagala pasti telah terpatri, menggantikan dirinya.

Dan Respati cukup tahu diri, tahu posisi, dan tahu bagaimana menghadapi.

“Aku akan menuntunmu, Elira. Sampai kamu tahu betapa bodohnya kamu karena dulu ninggalin aku demi keluarga Hananta dan Zayed Sagala.”

Setelah Elira menyelesaikan panggilan telepon itu, napasnya sedikit tersengal karena menangis lirih.

Hatinya benar-benar sakit karena pengkhianatan Zayed yang dibungkus alibi nafas buatan untuk Isyana. Di dalam hati, ia merutuki pilihannya dan menyesal sepenuhnya.

Tiga tahun ia menghabiskan waktu yang teramat sia-sia untuk lelaki seperti Zayed yang tidak tahu bagaimana menghargai tunangannya.

“Kita belum nikah aja kamu udah berani nyium Isyana di depanku, Zay. Gimana nanti kalau kita udah nikah? Kamu pasti bawa Isyana masuk ke kamarmu dengan alibi pasienmu sakit parah.”

Dengan gerakan cepat, Elira mengganti pakaian, membuat alasan singkat tentang sakit kepala pada pelayan, dan menyelinap keluar dari rumah megah keluarga Hananta. Mobil Zayed masih ada di halaman rumah keluarga Hananta, tapi Elira benar-benar tidak peduli kemudian segera menaiki taksi.

Dalam waktu dua puluh menit, Elira tiba di tujuan. Sebuah kedai kopi sederhana yang terletak di jalanan yang tidak terlalu ramai. Itu adalah tempat mereka dulu biasa menghabiskan waktu. Tanpa ada yang tahu tentang jati diri Respati yang sebenarnya.

Respati sudah ada di sana. Ia duduk di kursi kayu, di sudut yang berdekatan dengan pintu, punggungnya bersandar santai. Ia menatap keluar jendela dengan jari mengamit sebatang nikotin.

Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Respati selama tiga tahun tak pernah berkomunikasi. Wajah dan penampilan Respati tidak banyak berubah. Justru dia terlihat lebih dewasa.

Elira mendekat, langkahnya sedikit ragu.

"Res ..." lirih Elira.

Respati tidak beranjak. Ia hanya menghela napas, gestur itu dipenuhi kelelahan yang nyata, lalu menunjuk kursi di depannya.

"Duduk. Aku nggak punya banyak waktu lihat orang yang patah hati karena tunangannya."

Elira duduk. Kata-kata Respati yang dingin itu sangat melukai, tetapi rasa sakit dari pengkhianatan Zayed jauh lebih besar.

Dan Elira menerima keketusan Respati karena saat ini, hanya Respati saja yang bisa membantunya.

"Aku ... " Air mata langsung meluncur membasahi pipinya. "Aku udah nggak kuat lagi, Res."

Respati mengambil cangkir kopi di depannya, menyesapnya perlahan. Ia membiarkan Elira menangis, tanpa mengulurkan tangan, tanpa menawarkan tisu.

"Aku pengen keluar dari rumah itu tapi … " Elira teringat jika ia pergi sekarang, maka dirinya tidak memiliki kesempatan untuk mempermalukan Zayed.

Karena bagaimanapun, Elira juga ingin membalas dendam. Tapi jika sudah begini, apakah dia bisa bersabar?

"Tiga tahun aku memenuhi janji Papa, berusaha keras mencintai Zayed, biar jadi 'Putri Hananta' yang sempurna. Tapi aku merasa cuma dianggap kayak boneka dan Zayed … dia benar-benar kurang ajar!" luap Elira, tangisnya semakin histeris.

Respati tetap diam. Ia hanya mendengarkan. Tatapannya lurus ke mata Elira, tetapi pandangannya kosong, seperti ia sedang mendengarkan laporan yang tidak ia pedulikan.

"Kenapa dia ngelakuin ini ke aku? Kenapa semua orang membela dia? Kenapa Papa dan Mama nggak tepat janji?" Elira menarik napas dalam-dalam, lalu melontarkan keputusasaan terbesarnya. "Aku udah nggak tahan lagi, Res. Persetan sama Zayed.”

“Tolong bawa aku lari, Res. Aku mau pergi dari rumah itu. Aku mau batalin semuanya!"

Baru kali ini Respati bereaksi. Ia meletakkan cangkirnya dengan suara pelan, tetapi gerakannya tajam.

"Lari?" Respati akhirnya berbicara, suaranya rendah dan sedatar es. "Kamu selalu milih lari, El. Tiga tahun lalu, kamu lari dari hidup sederhana dan tulus bersamaku, demi jaminan kasih sayang Papamu yang mahal. Sekarang kamu lari karena janji itu palsu dan Zayed mengkhianatimu."

Ia tidak menunjukkan simpati. Ia hanya menunjukkan bahwa ia melihat kegagalan Elira.

"Kamu ingin aku bilang 'Ayo, tinggalin semuanya, aku akan menyelamatkanmu'?" Respati menggeleng tipis dan tersenyum miring. "Aku bukan lagi pria yang kamu tinggalin, Elira. Aku di sini cuma dengerin, biar emosimu keluar, karena aku tahu kamu nggak punya tempat lain."

Elira terdiam, rasa sakit karena kedinginan Respati sama perihnya dengan penghinaan Zayed.

“Janjiku untuk bantu kamu balas dendam dan keluar dari rumah keluarga Hananta akan kutepati. Tapi itu nanti, sesuai rencana yang pernah kamu omongin.”

“Dan ingat, setelah aku bantu kamu keluar dari rumah itu, ada harga yang mesti kamu bayar,” Respati mengangkat jarinya yang menunjukkan angka dua, “Satu, sebagai bayaran mengeluarkanmu dari rumah itu dan pernikahan kalian. Dua, luka di hatiku saat kamu ninggalin aku tiga tahun silam. Aku mau kamu membayarnya.”

Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hanya ada suara isak tangis Elira yang mulai mereda. Respati menatap jam tangannya, lalu kembali menatap Elira, kini dengan nada yang lebih memerintah, bukan lagi dingin.

"Udah malam," ucap Respati.

Ia bangkit berdiri. "Tujuanmu datang udah tercapai. Emosimu udah keluar. Sekarang, pulang."

Elira terkejut. "Pulang? Aku nggak mau kembali ke sana!"

"Kamu harus pulang," potong Respati tegas. "Kamu pikir kamu bisa ngilang gitu aja tanpa konsekuensi? Papamu, si Hananta itu, dan Zayed adalah orang yang licik. Kalau kamu pulang larut, atau ngilang tanpa alasan, mereka punya celah. Mereka bisa nuduh kamu lari dan gila, kayak yang Zayed omongin."

Respati menatap Elira, kini ada sedikit peringatan di matanya.

"Jangan biarin mereka menang, El. Kamu udah basah, jadi sekarang bertahanlah. Bertahanlah di dalam sangkar megahmu untuk beberapa minggu lagi. Berpura-puralah kalau kamu masih mencintai Zayed dan status yang kamu pilih."

Tanpa menunggu balasan Elira, Respati berjalan keluar dari kedai kopi itu. Meninggalkan Elira sendirian dalam bingung. Namun peringatan Respati membuatnya sedikit menemukan arah.

Arah yang ditunjukkan oleh pria yang paling Elira lukai.

Setelah Elira tiba di rumah, mobil Zayed sudah tidak ada. Pun tidak ada pesan darinya sama sekali. Dan Elira tidak peduli lagi.

Jam di tangan menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas malam. Ia berusaha membuat langkah kakinya seringan mungkin. Kata-kata Respati tentang harus pulang agar tidak dicurigai masih berdengung.

Baru saja ia melepas sepatu, ibunya muncul dari ruang keluarga, hanya menatap sekilas ke arahnya.

"Dari mana kamu jam segini?" tanya sang Ibu, tanpa menghentikan langkah kakinya menuju tangga. Nadanya datar dan acuh, sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran seorang ibu yang anaknya pulang larut.

"Aku ... tadi ketemu teman lama, Ma. Ada urusan mendadak," jawab Elira pelan.

"Urusan mendadak sampai lupa waktu? Kamu harusnya fokus ngurus persiapan pernikahan, bukannya keluyuran. Ingat, kamu Putri Hananta. Bersikaplah dewasa."

Tanpa menunggu balasan Elira, ibunya sudah berlalu menaiki tangga. Sikap dingin itu terasa seperti tamparan kedua.

Lalu Elira berjalan menuju kamarnya. Namun, di lorong, Isyana tiba-tiba keluar dari kamarnya, mengenakan piyama sutra yang rapi. Isyana terkejut melihat Elira, tetapi kemudian dengan cepat memasang ekspresi datar.

"Oh, Kak Elira. Udah pulang?" sapa Isyana, suaranya terdengar manis, tetapi ada nada sinis yang tajam.

Melihat bibir Isyana yang tipis, bibir yang baru saja dicium oleh tunangannya, membuat batas kesabaran Elira runtuh.

Elira melangkah maju. Matanya menyala karena amarah. "Aku muak lihat sandiwara murahanmu yang kamu mainin sama tunanganku!"

Wajah Isyana langsung berubah dan tersenyum sinis.

"Kenapa? Cemburu?" balas Isyana, suaranya mengejek. "Aku kan cuma butuh napas buatan dari Kak Zayed. Kamu aja yang terlalu berlebihan, Kak El. Kayaknya benar kata Kak Zayed, kalau Kak El butuh bantuan psikolog."

Ucapan itu membakar amarah Elira lalu ia mencengkeram kerah leher piyama Isyana dan berkata .....

DAUN MUDA

:-0

| 1
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Alasan Untuk Kembali

    Tiga tahun telah berlalu sejak Elira pergi. Respati, kini menjadi CEO Kanagara Group yang baru, memimpin perusahaan properti dan jaringan hotel mewah Ayahnya.Ia telah memindahkan seluruh kantornya kembali ke Jakarta, fokus mengelola aset besar yang tersebar di berbagai kota.Respati tidak pernah mendekati perempuan lain.Ia bekerja tanpa henti, membiarkan liontin cincin Elira tersembunyi di balik dasinya, menjadi satu-satunya ikatan yang tersisa dari pernikahan mereka.Ia telah mengutus Dion untuk secara diam-diam mencari tahu tentang perkembangan karir Elira, ingin memastikan bahwa Elira baik-baik saja dan aman, tetapi ia tidak pernah mencoba menghubunginya.Hatinya dipenuhi harapan yang mustahil bahwa suatu hari nanti, takdir akan membawa Elira kembali kepadanya.Pada awal tahun keempat, salah satu hotel termewah milik Kanagara Group di Jakarta Pusat terpilih menjadi venue utama untuk acara tahunan Grand Wedding Showcase—peragaan busana pengantin paling bergengsi.Respati secara pri

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Cinta Yang Terlambat

    “Halo, Res. Kamu jadi pulang cepat?” tanya Ibunya.Berusaha keras tidak terdengar panik.“Aku lagi ngejar deadline, Bu. Kenapa? Apa Elira di rumah?”“Dia di rumah. Lagi sibuk sama benang-benangnya. Oh ya, Ibu pengen sesuatu, Res.”“Pengen apa, Bu?” Respati mendesah, jelas merasa terganggu tetapi tidak bisa menolak permintaan Ibunya.“Ibu pengen Martabak Pak Kumis yang di Jalan Bima itu, lho. Yang paling terkenal di Jogja, yang antreannya panjangnya setengah kilometer.”Respati terdiam.Ia tahu betul lokasi yang dimaksud Ibunya. Itu adalah salah satu martabak paling legendaris dan lokasinya cukup jauh dari rumah mereka, membutuhkan waktu minimal 45 menit perjalanan pergi dan pulang di jam sibuk ini.“Bu, itu jauh banget! Yang lain aja lah,” protes Respati.“Ibu maunya yang itu. Kalau kamu sayang Ibu, tolong belikan.” Ibunya menggunakan senjata pamungkas.Rasa bersalah.Respati menghela napas kasar. Tetapi permintaan Ibunya, meskipun aneh, tidak bisa ditolaknya. Lagipula, ia yakin Elira

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Penjara Dingin

    Pagi menjelang, cahaya samar-samar mulai menyelinap masuk melalui celah gorden kamar Respati.Keheningan yang dingin tidak lagi ada.Respati memeluk Elira erat. Ia merasa lega dan cemas pada saat yang bersamaan. Ia telah melakukan tindakan yang sangat egois, tetapi ia merasa utuh kembali, seolah ia telah menemukan harta yang ia buang sendiri.Elira terbangun lebih dulu. Ia merasakan lengan Respati melingkari pinggangnya dengan kuat, seolah takut Elira akan menghilang jika pelukannya mengendur sedikit saja. Tubuh mereka bertautan, sisa-sisa keintiman malam itu masih terasa.Elira mencoba bergerak, berniat melepaskan diri dan kembali ke kamarnya.Seketika, pelukan Respati mengerat.“Jangan bergerak,” bisik Respati, suaranya dalam dan serak khas bangun tidur.“Aku harus kembali ke kamarku,” jawab Elira pelan, nadanya datar dan tanpa emosi.Ia tidak mau mengakui keintiman ini.“Nggak,” Respati menekan kata itu. Ia membuka matanya, menatap Elira dengan tatapan posesif yang dingin. “Kamu ngg

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Kamu Milikku!!!

    Pukul dua dini hari. Keheningan total menyelimuti rumah itu.Respati terbangun dengan rasa haus yang luar biasa. Ia menyalakan lampu kecil di kamarnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Ibunya dan tatapan tenang Elira di Malioboro. Ia memutuskan untuk mandi agar pikirannya jernih.Respati keluar dari kamarnya, hanya mengenakan celana pendek. Langkah kakinya pelan menuju kamar mandi.Tepat pada saat yang sama, pintu kamar Elira terbuka pelan. Elira keluar. Ia juga haus. Di bawah cahaya remang-remang, terlihat jelas mata Elira sedikit sembab, bekas sisa tangis yang ia tahan setelah kembali dari Malioboro.Ia bergerak perlahan menuju dapur, tidak menyadari Respati ada di lorong.Kemudian mereka berpapasan tepat di depan kamar Respati.Elira tersentak kaget. Ia melihat Respati yang berdiri di sana, bertelanjang dada.Elira dengan cepat mengendalikan diri, wajahnya kembali datar, dan ia berusaha untuk melewatinya begitu saja, tidak peduli dengan kehadiran suaminya.“Permisi,” gumam Elira

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Suami Tidak Tahu Diri

    Elira mempertahankan senyum tenangnya, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya, namun cukup untuk membuat Respati dan Risa merasa canggung.Ia mengabaikan tatapan panik Respati dan menoleh ke arah Risa.“Halo, Risa. Ternyata kita bertemu lagi, ya,” sapa Elira ramah, seolah mereka hanyalah dua orang kenalan biasa. “Senang melihat kalian berdua menikmati festival ini. Kalian tampak … sangat cocok sebagai rekan kerja.”Risa terlihat sangat tidak nyaman.“Eh, iya. Kami hanya … hanya research kostum untuk event mendatang, kok.”Respati, yang masih tergagap dan bingung harus berkata apa setelah berbohong kepada Ibunya, hanya bisa diam menatap Elira. Tatapan Elira begitu tenang, begitu tidak menuduh, sehingga justru membuat Respati semakin merasa bersalah.Elira kembali menatap Respati.“Festivalnya pasti akan berlanjut sampai malam. Silakan kalian berdua lanjutkan melihat peragaan busana atau bunga-bunga ini. Tadi Ibuku bilang dia kelelahan. Aku harus segera mengantarnya pulang.”Elir

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Kalian Terlihat Akrab

    “El, kamu menang,” seru mertuanya nyaris berteriak. “Kamu juara pertama! Juara Pertama Kontes Desain Pakaian Daerah!”Elira membeku sejenak. Kemudian, rasa gembira yang luar biasa meluap. Ia bangkit dan memeluk mertuanya erat-erat, air mata kebahagiaan akhirnya tumpah setelah sekian lama ia hanya menangis dalam diam.“Aku menang, Bu! Aku berhasil!” Elira tertawa dan menangis bersamaan. Ia merasa diakui, bukan sebagai istri pelarian, tetapi sebagai seorang desainer berbakat.“Ibu tahu kamu berbakat, El!”Kemenangan ini adalah penawar untuk semua rasa sakit dan pengabaian yang ia rasakan. Elira merasa bahwa kini ia benar-benar siap untuk menghadapi perpisahan dengan Respati, karena ia punya masa depan yang bisa ia genggam dengan tangannya sendiri.Namun, di tengah luapan kebahagiaan itu, ia teringat satu hal.Respati.“Bu, Respati nggak boleh tahu aku melanggar aturannya,” kata Elira, kembali pada kewaspadaan.Mertuanya mengangguk cepat.“Jangan khawatir, El. Kita akan atur semuanya. Sek

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status