LOGIN"Maaf, Zay. Aku nggak mau dimarahin Kak El gara-gara dansa sama kamu." Tolak Isyana dengan memandang Elira.
Kemudian Zayed menghampiri Elira dan berkata, "Hanya satu tarian, El. Lagi pula Isyana itu adikmu dan pasienku. Buang cemburu butamu itu!"
Tidak mau berdebat, kemudian kepala Elira mengangguk dengan terpaksa.
Hatinya berubah panas ketika melihat gerakan mereka selaras. Tatapan Zayed hangat dan penuh perhatian. Bagi Elira, pesta ulang tahun Zayed adalah kuburan diam-diam bagi hubungan mereka.
Setelah mereka selesai berdansa, Elira melangkah cepat. Gaunnya menyapu lantai marmer saat menghampiri Zayed yang tersenyum pada Isyana.
“Bisa bicara sebentar?” Tanyanya dengan ekspresi menahan kesal.
Zayed menoleh tanpa terkejut. “Nanti aja. Aku ---”
“Sekarang!”
Kemudian Zayed mengikuti Elira dengan langkah lebar. Mereka menuju taman belakang, jauh dari sorotan lampu pesta.
“Apa kamu sadar apa yang kamu lakuin malam ini, Zay?” Elira berusaha tenang dan menahan suara yang bergetar.
“El, itu cuma ---”
“Di depan semua orang. Di ulang tahunmu. Kamu biarin perempuan lain, yang bukan tunanganmu, justru berdansa sama kamu!”
Zayed menghela nafas. “Kamu terlalu pecemburu, El. Kamu ngira semua orang pengen ngerebut aku dari kamu! Ini bukan cinta lagi! Tapi rasa amanmu yang terganggu!”
Elira tertawa pahit. “Apa katamu?! Kamu pikir aku gila?!”
Zayed mendekat. Tatapannya kini berubah tajam.
“Elira, kalau kamu terus kayak gini, aku bakal nyuruh kamu menjalani evaluasi psikologis! Kamu lagi tenggelam dalam kecemburuan yang destruktif! Ini bahaya buat kamu dan orang lain!”
Elira terdiam. Bibirnya tidak bergerak, tapi matanya perlahan berkaca-kaca. Bagaimana bisa Zayed menuduhnya seperti itu.
“Kamu tahu keluargaku punya klinik pemulihan di Bandung. Di sana, banyak perempuan dengan tekanan emosional kayak kamu bisa sembuh.”
Lalu Zayed pergi meninggalkan Elira begitu saja.
Itu adalah ucapan paling sakit yang Elira terima. Dia sudah tidak kuat lagi meneruskan hubungannya dengan Zayed.
Tanpa basa basi, Elira melepas cincin pertunangan dari jari manisnya. Emas putih dengan berlian bundar yang dulu diberikan Zayed. Kini tak lebih dari sekedar barang yang membuatnya teringat akan luka masa lalu.
"Aku mau kita selesai, Zay."
Dua puluh lima tahun yang lalu, suster rumah sakit salah memberikan gelang pada Elira dan Isyana. Sejak saat itu, Elira diasuh oleh sepasang suami istri dengan banyak anak dan hidup dalam kesederhanaan. Sedang Isyana dirawat layaknya putri mahkota keluarga Hananta.
Seiring berjalannya waktu, dua tahun yang lalu, keluarga Hananta menemukan fakta mengejutkan jika Isyana bukan putri mereka.
Namun saat Dion dan Yovana Hananta, bertemu dengan Elira, putri kandung mereka yang tertukar selama dua puluh lima tahun lalu, tidak ada wajah antusias. Tangan mereka tetap mendekap erat Isyana karena ikatan itu tidak bisa dilupakan begitu saja sekalipun Isyana bukan putri kandung mereka.
Sebagai bentuk tanggung jawab, mereka menyuruh Elira tinggal di rumah megah keluarga Hananta. Namun jarang mengajaknya berbicara karena Isyana selalu menunjukkan air mata kepedihannya lebih dulu.
Satu hari ketika keluarga Sagala berniat menjodohkan Zayed Sagala dengan Isyana, dengan lantang Isyana menolak. Ia mengira Zayed adalah pria tua yang tidak laku menikah. Akhirnya, Elira yang disodorkan untuk menggantikan Isyana.
Perkenalan mereka cukup positif dan Elira mulai jatuh cinta. Namun lima bulan yang lalu saat Isyana melihat pertunangan Elira dengan Zayed, dia menyesali keputusanya.
Zayed terlalu tampan untuk ia lewatkan.
Sejak itulah dia berusaha melakukan segala cara untuk mendapatkan perhatian Zayed. Bahkan mengaku memiliki gangguan depresi karena kehadiran Elira di keluarga Hananta yang membuat posisinya tergeser. Ia menjual kesedihannya pada siapapun.
Elira berusaha membela diri namun berakhir kalah.
Saat pesta ulang tahun Zayed belum usai, Elira memilih pulang tanpa berpamitan. Setibanya di kamar, ia meletakkan cincin pertunangannya secara sembarang di atas meja rias.
“Aku nggak sakit, Zay. Tapi aku disakiti. Olehmu.”
Tidak berapa lama kemudian, keluarga Hananta baru pulang dari pesta ulang tahun Zayed. Tampak Isyana dengan mata basah dan garis bibir melengkung ke bawah. Pundaknya di dekap sayang oleh ibu kandung Elira.
“El, kenapa kamu tega bikin Isyana nangis? Dia cuma dansa sama calon kakak iparnya, apa itu salah?”
“Ma, aku ---”
“Sudah! Penjelasanmu nggak penting! Pikir aja sendiri resepsi pernikahanmu sama Zayed!”
Ayah, ibu, dan kakak kandung Elira melewatinya begitu saja. Dan itu cukup membuat Elira tahu bahwa ia sebenarnya tidak memiliki tempat di hati mereka sekalipun memiliki pertalian darah.
Tidak kuat lagi, kemudian Elira mengirim pesan singkat kepada nomor tanpa nama.
Seseorang yang telah lama hilang dari hidupnya, yang dulu pernah memperingatkannya. Agar berhati-hati pada keluarga Hananta atau terperdaya pada pesona Zayed Sagala.
[Aku pengen pergi dari rumah keluarga Hananta. Aku butuh bantuanmu. Apa bisa kita ketemu?]
Namun sayang, nomer tanpa nama itu tidak membalas pesannya. Elira kembali tenggelam dalam kesedihannya. Dia tidak tahu pada siapa harus meminta bantuan untuk pergi.
Ketika Elira sudah merasa tidak perlu melanjutkan hubungan dengan Zayed, bahkan jarang membalas pesannya, lelaki itu mendadak menghubungi.
"El, bisa ke apartemenku bentar? Aku belum makan. Mau keluar tapi nggak tahu mau makan apa."
Elira terdiam sejenak.
"Sayang, kamu kenapa sih jadi cemburuan? Aku serius lagi sibuk kerja buat masa depan kita. Kok kamu malah ngambek mulu."
"Zay, sekali aja kamu ngertiin aku!"
"Oke, fine! Aku minta maaf. Aku bakal perbaiki semuanya. Tapi tolong bawain makan malam ya?"
Elira akhirnya bersedia dan merasa mungkin Zayed ingin memperbaiki keadaan. Mungkin Elira terlalu gegabah memilih mengakhiri rencana pernikahan mereka.
Dengan penuh cinta, Elira membuat steak daging kesukaan Zayed. Ditambah cuaca sedang hujan di luar, makanan itu bisa menjadi penghangat.
Setelah siap dua kotak makan yang lezat, Elira kemudian menuju apartemen Zayed dengan menerjang hujan. Bajunya setengah basah saat keluar dari taksi.
Tapi saat pintu apartemen terbuka, dia membeku.
"Kak El baik banget. Makasih udah kirim makanan."
Isyana mengenakan celana pendek dan baju kebesaran Zayed, langsung meraih kotak makan itu begitu saja. Seolah-olah itu miliknya.
Zayed segera menghampiri dan menjelaskan.
"El, begini ceritanya. Isyana --- "
"Aku tahu, Zay." Sela Elira cepat, "Nggak apa-apa. Dia punya gangguan mental dan kamu adalah psikiaternya. Dia pasienmu, begitu kan?"
"El, ini benar-benar nggak disengaja. Kamu jangan salah ---"
Elira melepas tangan Zayed lalu melangkah mundur. Tapi tiba-tiba saja terdengar suara piring jatuh.
"Kak Zayed! Kakiku kena pecahan piring! Berdarah!" Seru Isyana.
Zayed segera berlalu untuk mengobati Isyana. Membiarkan Elira mematung di depan apartemennya sambil melihat betapa panik Zayed mengobati luka tak seberapa di kaki Isyana.
"El, tolong bantu aku! Isyana terluka! Kamu jangan diem aja!"
Seruannya tidak membuat Elira maju untuk membantu. Dia justru menutup pintu apartemen Zayed kemudian pergi secepat mungkin.
Di dalam taksi, dia menangis dan merutuki kebodohannya. Bahwa dirinya tidak lebih dari sebuah boneka bodoh yang bisa diperdaya sesuka hati Zayed.
Esok harinya, setiap hari senin seperti menjadi rutinitas tanpa komando, toko bunga mengirimkan mawar putih untuk Elira. Itu kebiasaan yang Zayed lakukan saat baru mengenal Elira, untuk menghangatkan hubungan mereka. Tapi dia sendiri tidak pernah membawakannya secara langsung selama menjalin hubungan.
Bunga itu tiba namun Elira berkata pada pelayan rumah agar ...
Tiga tahun telah berlalu sejak Elira pergi. Respati, kini menjadi CEO Kanagara Group yang baru, memimpin perusahaan properti dan jaringan hotel mewah Ayahnya.Ia telah memindahkan seluruh kantornya kembali ke Jakarta, fokus mengelola aset besar yang tersebar di berbagai kota.Respati tidak pernah mendekati perempuan lain.Ia bekerja tanpa henti, membiarkan liontin cincin Elira tersembunyi di balik dasinya, menjadi satu-satunya ikatan yang tersisa dari pernikahan mereka.Ia telah mengutus Dion untuk secara diam-diam mencari tahu tentang perkembangan karir Elira, ingin memastikan bahwa Elira baik-baik saja dan aman, tetapi ia tidak pernah mencoba menghubunginya.Hatinya dipenuhi harapan yang mustahil bahwa suatu hari nanti, takdir akan membawa Elira kembali kepadanya.Pada awal tahun keempat, salah satu hotel termewah milik Kanagara Group di Jakarta Pusat terpilih menjadi venue utama untuk acara tahunan Grand Wedding Showcase—peragaan busana pengantin paling bergengsi.Respati secara pri
“Halo, Res. Kamu jadi pulang cepat?” tanya Ibunya.Berusaha keras tidak terdengar panik.“Aku lagi ngejar deadline, Bu. Kenapa? Apa Elira di rumah?”“Dia di rumah. Lagi sibuk sama benang-benangnya. Oh ya, Ibu pengen sesuatu, Res.”“Pengen apa, Bu?” Respati mendesah, jelas merasa terganggu tetapi tidak bisa menolak permintaan Ibunya.“Ibu pengen Martabak Pak Kumis yang di Jalan Bima itu, lho. Yang paling terkenal di Jogja, yang antreannya panjangnya setengah kilometer.”Respati terdiam.Ia tahu betul lokasi yang dimaksud Ibunya. Itu adalah salah satu martabak paling legendaris dan lokasinya cukup jauh dari rumah mereka, membutuhkan waktu minimal 45 menit perjalanan pergi dan pulang di jam sibuk ini.“Bu, itu jauh banget! Yang lain aja lah,” protes Respati.“Ibu maunya yang itu. Kalau kamu sayang Ibu, tolong belikan.” Ibunya menggunakan senjata pamungkas.Rasa bersalah.Respati menghela napas kasar. Tetapi permintaan Ibunya, meskipun aneh, tidak bisa ditolaknya. Lagipula, ia yakin Elira
Pagi menjelang, cahaya samar-samar mulai menyelinap masuk melalui celah gorden kamar Respati.Keheningan yang dingin tidak lagi ada.Respati memeluk Elira erat. Ia merasa lega dan cemas pada saat yang bersamaan. Ia telah melakukan tindakan yang sangat egois, tetapi ia merasa utuh kembali, seolah ia telah menemukan harta yang ia buang sendiri.Elira terbangun lebih dulu. Ia merasakan lengan Respati melingkari pinggangnya dengan kuat, seolah takut Elira akan menghilang jika pelukannya mengendur sedikit saja. Tubuh mereka bertautan, sisa-sisa keintiman malam itu masih terasa.Elira mencoba bergerak, berniat melepaskan diri dan kembali ke kamarnya.Seketika, pelukan Respati mengerat.“Jangan bergerak,” bisik Respati, suaranya dalam dan serak khas bangun tidur.“Aku harus kembali ke kamarku,” jawab Elira pelan, nadanya datar dan tanpa emosi.Ia tidak mau mengakui keintiman ini.“Nggak,” Respati menekan kata itu. Ia membuka matanya, menatap Elira dengan tatapan posesif yang dingin. “Kamu ngg
Pukul dua dini hari. Keheningan total menyelimuti rumah itu.Respati terbangun dengan rasa haus yang luar biasa. Ia menyalakan lampu kecil di kamarnya. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Ibunya dan tatapan tenang Elira di Malioboro. Ia memutuskan untuk mandi agar pikirannya jernih.Respati keluar dari kamarnya, hanya mengenakan celana pendek. Langkah kakinya pelan menuju kamar mandi.Tepat pada saat yang sama, pintu kamar Elira terbuka pelan. Elira keluar. Ia juga haus. Di bawah cahaya remang-remang, terlihat jelas mata Elira sedikit sembab, bekas sisa tangis yang ia tahan setelah kembali dari Malioboro.Ia bergerak perlahan menuju dapur, tidak menyadari Respati ada di lorong.Kemudian mereka berpapasan tepat di depan kamar Respati.Elira tersentak kaget. Ia melihat Respati yang berdiri di sana, bertelanjang dada.Elira dengan cepat mengendalikan diri, wajahnya kembali datar, dan ia berusaha untuk melewatinya begitu saja, tidak peduli dengan kehadiran suaminya.“Permisi,” gumam Elira
Elira mempertahankan senyum tenangnya, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya, namun cukup untuk membuat Respati dan Risa merasa canggung.Ia mengabaikan tatapan panik Respati dan menoleh ke arah Risa.“Halo, Risa. Ternyata kita bertemu lagi, ya,” sapa Elira ramah, seolah mereka hanyalah dua orang kenalan biasa. “Senang melihat kalian berdua menikmati festival ini. Kalian tampak … sangat cocok sebagai rekan kerja.”Risa terlihat sangat tidak nyaman.“Eh, iya. Kami hanya … hanya research kostum untuk event mendatang, kok.”Respati, yang masih tergagap dan bingung harus berkata apa setelah berbohong kepada Ibunya, hanya bisa diam menatap Elira. Tatapan Elira begitu tenang, begitu tidak menuduh, sehingga justru membuat Respati semakin merasa bersalah.Elira kembali menatap Respati.“Festivalnya pasti akan berlanjut sampai malam. Silakan kalian berdua lanjutkan melihat peragaan busana atau bunga-bunga ini. Tadi Ibuku bilang dia kelelahan. Aku harus segera mengantarnya pulang.”Elir
“El, kamu menang,” seru mertuanya nyaris berteriak. “Kamu juara pertama! Juara Pertama Kontes Desain Pakaian Daerah!”Elira membeku sejenak. Kemudian, rasa gembira yang luar biasa meluap. Ia bangkit dan memeluk mertuanya erat-erat, air mata kebahagiaan akhirnya tumpah setelah sekian lama ia hanya menangis dalam diam.“Aku menang, Bu! Aku berhasil!” Elira tertawa dan menangis bersamaan. Ia merasa diakui, bukan sebagai istri pelarian, tetapi sebagai seorang desainer berbakat.“Ibu tahu kamu berbakat, El!”Kemenangan ini adalah penawar untuk semua rasa sakit dan pengabaian yang ia rasakan. Elira merasa bahwa kini ia benar-benar siap untuk menghadapi perpisahan dengan Respati, karena ia punya masa depan yang bisa ia genggam dengan tangannya sendiri.Namun, di tengah luapan kebahagiaan itu, ia teringat satu hal.Respati.“Bu, Respati nggak boleh tahu aku melanggar aturannya,” kata Elira, kembali pada kewaspadaan.Mertuanya mengangguk cepat.“Jangan khawatir, El. Kita akan atur semuanya. Sek







