Home / Romansa / Saudara Angkatku, Rivalku / Ingin Mencakar Tunanganku

Share

Ingin Mencakar Tunanganku

Author: DAUN MUDA
last update Last Updated: 2025-08-07 11:34:49

"Buang aja," ucapnya dengan menunduk.

Menyembunyikan matanya yang bengkak setelah menangis semalam.

Pikiran Elira kembali ke moment saat Zayed memberinya gaun yang indah, tapi tidak pernah bertanya ukuran badannya. Dia memberi Elira jam tangan dari emas tapi tidak pernah bertanya apakah Elira menyukainya atau tidak.

Sebenarnya hubungan mereka kering namun Elira selalu menafikkan. Pada kenyataannya, Zayed selalu punya kehangatan untuk Isyana.

Padahal Elira yang selama dua tahun ini berada di sisinya hingga rela dibentuk ulang oleh keluarga Hananta agar pantas menjadi calon nyonya Sagala.

Zayed bisa memarahi Elira jika nada bicara dan cara duduknya kurang tepat. Bahkan karena secuil kerutan di bajunya terkadang bisa menjadi masalah.

Tapi pada Isyana, segalanya dimaafkan dengan sejuta alasan yang pada akhirnya membuat Elira sadar. Bahwa selama ini dia terlalu lama membohongi hatinya dan menganggap sikap Zayed memang seperti itu.

“Gimana, Pa? Apa Isyana udah bisa dihubungi?” Tanya Nyonya Yovana risau.

Elira baru turun beberapa anak tangga saat mendengar pertanyaan ibu kandungnya itu. Ibu kandung yang terasa seperti ibu angkat.

Ayahnya, Tuan Dion Hananta, terus menekan layar ponsel lalu menggeleng dengan wajah sama risaunya.

“Belum, Ma.”

Bahkan kantung mata ibunya terlihat menggelap dan rambutnya hanya diikat asal karena memikirkan Isyana yang bukan darah dagingnya sendiri.

Andai Elira mau membuka segalanya, dia pasti akan mengatakan dimana keberadaan Isyana saat ini.

“Astaga … kemana perginya putriku itu?” Air mata hampir jatuh dari kelopak mata indah Nyonya Yovana. “Apa kita lapor polisi aja, Pa?”

“Kalau kayak gini, lebih ba--- ”

Pintu ruang tamu dibuka oleh asisten rumah tangga dan menampilkan Isyana yang baru pulang. Rambutnya masih setengah basah, mengenakan hoodie milik Zayed yang kebesaran, namun ia tampak nyaman di dalamnya.

Dan Zayed berada di sampingnya.

Kedua orang tua mereka berlari menghampiri. Lalu Elira melanjutkan langkah menuruni anak tangga.

Rambut setengah basah Isyana di pagi hari adalah momen yang cukup mengiris hati Elira meski ia belum tahu pastinya.  

“Sayang! Kamu dari mana? Kenapa semalaman nggak pulang?” Lalu tangan ibu mereka menangkup wajah Isyana dan menemukan ada plester di dahi putri kesayangannya itu. “Ini kenapa?!”

Lalu mata ibu mereka berlari ke arah Zayed, “Kenapa kamu bisa sama Isyana, Zay? Lalu kenapa ada luka di dahi Isyana?”

Isyana menunduk, pura-pura sedih. “Maaf, Ma. Aku takut pulang. Kemarin … aku habis kecelakaan. Luka-lukaku belum sembuh, Kak Zayed yang nolongin aku.”

“Apa? Kecelakaan dimana? Harusnya kamu nelfon Mama, sayang. Bukan malah nginap di tempat Zayed!”

Ketika Nyonya Yovana akan membawa pergi Isyana untuk diobati, Zayed membuka suara.

“Tante Yovana, jangan salah paham. Semua ini … dengan izin Elira,” ucapnya tanpa menatap Elira. “Tadi malam dia juga bawain kami makan malam.”

Elira menatap Zayed dengan hati hancur berkeping ketika semua kepala menoleh kepadanya.

“Elira, kenapa kamu ngizinin adikmu tidur di rumah laki-laki yang mau menikah sama kamu?” Tanya ayahnya.

Elira ingin menjelaskan. Tapi ayahnya memotong dengan cepat.

“Udah!” potong Tuan Dion Hananta. “Kamu tahu pernikahan ini penting bagi keluarga kita. Harusnya kamu ajak Isyana pulang! Apa ini bentuk keseriusanmu ke Zayed?”

Isyana menunduk, menggigit bibirnya. Seolah menahan tangis. Tapi dari sisi lain, Elira bisa melihat sudut bibir Isyana sedikit melengkung ke atas.

Ia merasa tidak ada gunanya membela diri di tengah orang-orang yang tidak menyanyangi dan menerimanya.

“Ayah nggak nyangka! Kenapa kamu tega nyerahin kehormatan adikmu ke tunanganmu sendiri?!” suara Tuan Hananta menggema.

Elira menoleh sekali ke arah Zayed, satu-satunya orang yang mengetahui kebenarannya namun memilih diam. Harga dirinya benar-benar telah remuk.

Isyana memeluk ibu mereka dengan mata berkaca-kaca, seolah gadis polos yang tak tahu apa-apa. Dan untuk pertama kalinya Elira tahu jika sifat Zayed sangat beracun. Mengakhiri pernikahan mereka adalah jalan terbaik. Pun pergi dari kehidupan kedua orang tua kandungnya.

Dia tidak mendapat cinta dari orang tuanya, hanya sekedar disuruh pulang demi sebuah tanggung jawab.

“Maaf, itu salahku. Aku pikir ... itu yang terbaik, karena aku percaya sama mereka berdua.”

Zayed mendongak pelan, menatap Elira dengan ekspresi tak terbaca. Bahwa Elira memilih menyetujui dustanya, memilih menanggung malu demi meredam badai.

Tanpa berpamitan, Elira segera berangkat bekerja. Di tengah perjalanan, ia mengusap air matanya berulang kali bahkan hampir menabrak kendaraan lain karena kesedihan itu merenggut konsentrasinya.

Lalu pesan dari Zayed masuk.

[El, maksudku tadi nggak kayak gitu. Kamu nggak perlu nyalahin dirimu sendiri.]

Elira tertawa pedih dan membalasnya.

[Bukankah akan lebih baik kalau aku yang disalahin?]

Keesokan harinya, Zayed tiba-tiba datang ke rumah dengan sebuah kotak beludru. Elira lebih banyak menunduk untuk menyembunyikan matanya yang bengkak karena terlalu banyak menangis. 

“Ini untukmu. Maaf, aku akhir-akhir ini terlalu sibuk, El.”

Ternyata satu set perhiasan zamrud berkilau. Mewah dan indah tapi terasa dingin di tangannya.

Isyana yang kebetulan lewat, langsung mendekat.

“Astaga ... ini cantik banget! Kak, boleh aku coba?” tanyanya dengan mata berbinar.

Elira menyerahkan kalung itu tanpa ragu. Membuat Zayed menatap Elira keheranan.

“Kamu nggak suka?”

Ia menatap Zayed tanpa senyum. Hanya merasa lelah dengan hubungan mereka.

“Lebih cocok dipakai Isyana. Kebetulan, aku bukan penyuka perhiasan. Itu pun kalau kamu tahu apa yang jauh lebih kusukai, Zay.”

"El, ini --- "

Ia kemudian meninggalkan ruangan, Zayed hanya diam terpaku, dan Isyana sibuk mengagumi dirinya sendiri di depan cermin.

Dua hari kemudian, mendung menggantung rendah di atas langit Jakarta. Elira memutuskan untuk mengambil izin satu hari untuk menenangkan dirinya sendiri.

“El, kamu nggak kerja?” Tanya ibunya.

Elira menggeleng pelan. “Kenapa, Ma?”

"Temani Isyana ke tempat terapinya ya? Kasihan dia, masih syok karena kecelakaan tempo hari."

Ia pikir, ini hanya akan menjadi hal biasa. Duduk sebentar, menunggu Isyana menyelesaikan sesi, lalu pulang. Tempat terapi itu luas, artistik, dengan studio melukis dan ruang gerak.

Saat Elira dan Isyana tiba, Zayed sudah ada di sana. Lengkap dengan kemeja putih yang digulung hingga siku dan clipboard di tangan. Ia menyambut Isyana dengan senyum lembut.

Isyana menyapa penuh semangat dan langsung memegang lengan Zayed. Mereka berbincang ringan, akrab, dan seakan dunia luar telah lenyap. Elira berdiri beberapa langkah dari mereka, merasa seperti penonton di balik layar kaca.

Seorang dokter muda yang melintas kemudian bertanya ramah.

“Pasien anda, Dokter Zayed?”

Zayed menoleh sambil mengusap rambut Isyana.

“Ya. Isyana pasien istimewa saya. Dan ini kakaknya.”

Kakaknya.

Zayed tidak memperkenalkan sebagai tunangan. Sebuah kalimat sederhana, tapi terasa seperti palu godam di dada Elira.

Saat sesi dimulai, Isyana menari dalam terapi gerak. Ia tertawa ringan setiap Zayed ikut membetulkan posturnya. Dan Elira hanya duduk di kursi sudut ruangan, seperti furnitur yang terlupakan.

Saat Isyana pura-pura tergelincir ketika menari, Zayed sigap menangkapnya. Saat digendong menuju kursi, Isyana tampak tenang dengan tangan melingkar erat di leher Zayed.

“Kamu baik-baik aja?”

“Sakit, Kak,” katanya manja.

Dan Elira tahu, ini bukan terapi penyembuhan gangguan mental Isyana. Tapi ini pamer. Pamer siapa yang kini lebih dipedulikan.

Tanpa banyak kata, Elira bangkit lalu melangkah keluar dari studio terapi dengan tenang. Tidak berkata apa-apa atau menoleh ke belakang. Ia hanya tahu … kalau ia bertahan satu menit lebih lama, pikirannya bisa hancur.

Dengan jari gemetar tapi hati bulat, ia mengetik sebuah pesan untuk Zayed.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Bayangan Perempuan Lain

    “Bali, Nona. Tempat yang lebih aman,” jawabnya singkat.Elira terdiam. Ia masuk ke mobil tanpa berkata lagi.Namun begitu pintu tertutup dan mobil mulai melaju, ada tatapan kosong di matanya. Setiap kilometer yang mereka tinggalkan terasa seperti jarak baru antara dirinya dan kebebasan yang hampir bisa ia genggam.Sementara itu, di ruang kerja Respati, jauh di Jakarta, ponselnya kembali bergetar. Pesan masuk singkat dari tim pengawalnya:[Target dalam perjalanan. Aman.]Respati hanya membalas:[Buat seolah ini perjalanan liburan.]Ia tahu, cepat atau lambat, Elira akan membencinya karena semua ini. Tapi untuk sekarang … keselamatan Elira jauh lebih penting daripada penjelasan apa pun.*****Pagi itu, matahari baru saja menembus jendela apartemen Zayed ketika ponselnya berdering pelan. Pesan dari Dika, orang bayaran yang ia tugaskan untuk mencari Elira.Zayed, yang masih duduk di meja makan dengan wajah lelah dan kopi yang sudah dingin, membuka pesan itu dengan mata berat.[Kita kehil

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Mau Dibawa Kemana?

    Akhirnya, ia menggeser ikon hijau di layar.“Selamat sore.” Suaranya tenang, rendah, dan tanpa ekspresi.“Selamat sore, Pak Respati. Akhirnya saya bisa berbicara langsung dengan Anda.”Respati tidak menjawab, hanya memberi keheningan yang panjang, membiarkan Tuan Hananta melanjutkan.“Kita belum pernah bertemu, tapi saya yakin Anda tahu siapa saya.”“Kurasa cukup banyak orang tahu siapa Anda setelah skandal yang dilakukan putri angkat anda,” balas Respati datar. “Pertanyaannya, mengapa Anda berusaha menghubungi saya?”Nada itu bukan nada ramah. Tidak ada rasa sungkan, seolah ia berbicara dengan rekan bisnis kecil, bukan salah satu tokoh paling berpengaruh di industri kesehatan.“Saya tidak suka berputar-putar,” ucap Tuan Hananta. “Saya hanya ingin tahu apa hubungan Anda dengan putriku, Elira.”Hening kembali menggantung. Respati bersandar perlahan di kursinya, menatap lampu-lampu kota yang mulai menyala.“Menarik,” katanya pelan. “Biasanya orang menanyakan kerja sama bisnis. Anda justr

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Dekat Dengan Seorang Pewaris

    “Pastikan Elira tetap aman dan …. bahagia.”Asistennya menunduk hormat. Ia paham betul arti di balik kata-kata itu. Bahwa kendali tetap di tangan Respati.Begitu pintu tertutup dan Respati kembali sendiri, ia menatap layar tablet itu sekali lagi. Senyum samar tersungging di sudut bibirnya.“Jadi kamu bisa tertawa lagi tanpa aku, Elira? Baiklah. Nikmati sementara masih bisa.”Ia lalu mematikan tablet itu dan beralih menekuri laptopnya.****Elira baru saja menutup pintu rumah dan hendak berbaring, tapi ponselnya berdering pelan di meja kecil dekat mesin jahit.Namun saat melihat layar ponselnya, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Nama Respati tertera di sana. Sudah berhari-hari ia tidak mendengar suara laki-laki itu. Sejak malam pemindahannya ke desa ini, semua komunikasi hanya melalui tangan kanan Respati.Dan kini, tiba-tiba, ia menelpon sendiri.Dengan jantung berdegup tidak karuan, Elira akhirnya menggeser ikon hijau.“Halo?” suaranya nyaris berbisik.“Lama juga ya angkat telfonnya?”

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Mulai Betah

    [Reno : Tuan, ini foto yang kami temukan. Masih buram, tapi kami yakin 80% itu Nona Elira. Vila tepi pantai di Lombok Utara.]Zayed membuka foto itu, gambar perempuan bergaun putih muda, tengah berjalan di tepi teras dengan laut di belakangnya. Kabur, tapi cukup untuk membuat jantungnya berhenti berdetak sesaat.“Elira,” suaranya lirih, hampir tidak terdengar.Ia menatap layar lama sekali, matanya memantulkan cahaya ponsel yang bergetar di genggamannya. Isyana bergerak sedikit di sebelahnya, bergumam kecil, lalu memeluk lengan Zayed dalam tidurnya. Namun pria itu bahkan tidak menoleh.Ia hanya duduk diam, menggenggam ponsel erat-erat. Tatapannya dingin, ada sesuatu yang berputar di pikirannya, antara rasa bersalah, rindu, dan tekad.‘Aku akan menemukanku lagi, Elira. Apa pun caranya.’*****Angin pagi dari pegunungan kecil di belakang desa membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga.Rumah baru Elira berdiri di tepi jalan paving, dikelilingi pagar bambu dan pohon pisang di belakangny

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Aku Akan Menemukanmu

    “Oh, sekarang aku yang disalahin lagi? Setelah aku berhasil ngerayu Papa buat bantu bisnis keluargamu, apa ini imbalannya, Kak?!”Zayed merasa tertampar lalu Isyana menambahkan.“Kamu pikir aku nggak stres, Kak? Aku kehilangan reputasi, teman-temanku menjauh, semua orang ngata-ngatain aku perebut tunangan orang! Itu semua aku alihin sama belanja online dan ngelakuin semua semauku!”“Kalau cuma apartemen ktor, kamu bisa panggil tukang bersih-bersih kan bisa. Nggak perlu nyentil aku kayak gini seolah-olah aku ini nggak berguna buat kamu!”Zayed terdiam. Tapi wajahnya menunjukkan kejengkelan dan malu yang tak bisa disembunyikan.Ia menatap sekitar apartemen, lalu menatap Isyana, sosok perempuan yang dulu ia pikir akan membuat hidupnya lebih berwarna, kini justru seperti menambah beban pikirannya.“Aku cuma capek, Isya,” katanya pelan tapi tegas.“Kalau kamu capek, aku juga capek terus disalahin!”Zayed berdiri lalu menuju balkon. Dari sana ia bisa melihat gemerlap lampu kota Jakarta yang

  • Saudara Angkatku, Rivalku   Bosan Hidup

    Elira terdiam. Amarahnya runtuh perlahan, berganti dengan gelombang takut dan bingung.“Apa ... apa maksudmu, Res?”“Maksudku sederhana,” jawab Respati dingin. “Aku nggak akan mengulang perintah dua kali. Kemasi barangmu, ikut orangku, dan jangan tanya apa-apa lagi. Kalau kamu mau hidup tenang, lakukan sekarang.”“Kamu cuma nakut-nakuti aku kan, Res?”“Aku serius. Aku berusaha menyelamatkan kamu, meskipun kamu sendiri nggak sadar ada bahaya yang mendekat.”Lalu sambungan telfon terputus begitu saja. Tanpa salam, tanpa kesempatan bagi Elira untuk bertanya lebih detail lagi.Elira memandangi layar ponselnya yang gelap dengan sejuta kebingungan. Dia tidak berani menghubungi Respati kembali.Tangan kanan Respati masih berdiri di depan pintu, lalu berucap.“Kita benar-benar harus pergi sekarang, Nona,” katanya lembut tapi pasti.Elira menarik nafas panjang lalu mengangguk.“Iya.”Malam itu langit Lombok seperti menelan cahaya. Angin laut berembus kencang, membuat daun-daun kelapa di sekitar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status