"Buang aja," ucapnya dengan menunduk.
Menyembunyikan matanya yang bengkak setelah menangis semalam.
Pikiran Elira kembali ke moment saat Zayed memberinya gaun yang indah, tapi tidak pernah bertanya ukuran badannya. Dia memberi Elira jam tangan dari emas tapi tidak pernah bertanya apakah Elira menyukainya atau tidak.
Sebenarnya hubungan mereka kering namun Elira selalu menafikkan. Pada kenyataannya, Zayed selalu punya kehangatan untuk Isyana.
Padahal Elira yang selama dua tahun ini berada di sisinya hingga rela dibentuk ulang oleh keluarga Hananta agar pantas menjadi calon nyonya Sagala.
Zayed bisa memarahi Elira jika nada bicara dan cara duduknya kurang tepat. Bahkan karena secuil kerutan di bajunya terkadang bisa menjadi masalah.
Tapi pada Isyana, segalanya dimaafkan dengan sejuta alasan yang pada akhirnya membuat Elira sadar. Bahwa selama ini dia terlalu lama membohongi hatinya dan menganggap sikap Zayed memang seperti itu.
“Gimana, Pa? Apa Isyana udah bisa dihubungi?” Tanya Nyonya Yovana risau.
Elira baru turun beberapa anak tangga saat mendengar pertanyaan ibu kandungnya itu. Ibu kandung yang terasa seperti ibu angkat.
Ayahnya, Tuan Dion Hananta, terus menekan layar ponsel lalu menggeleng dengan wajah sama risaunya.
“Belum, Ma.”
Bahkan kantung mata ibunya terlihat menggelap dan rambutnya hanya diikat asal karena memikirkan Isyana yang bukan darah dagingnya sendiri.
Andai Elira mau membuka segalanya, dia pasti akan mengatakan dimana keberadaan Isyana saat ini.
“Astaga … kemana perginya putriku itu?” Air mata hampir jatuh dari kelopak mata indah Nyonya Yovana. “Apa kita lapor polisi aja, Pa?”
“Kalau kayak gini, lebih ba--- ”
Pintu ruang tamu dibuka oleh asisten rumah tangga dan menampilkan Isyana yang baru pulang. Rambutnya masih setengah basah, mengenakan hoodie milik Zayed yang kebesaran, namun ia tampak nyaman di dalamnya.
Dan Zayed berada di sampingnya.
Kedua orang tua mereka berlari menghampiri. Lalu Elira melanjutkan langkah menuruni anak tangga.
Rambut setengah basah Isyana di pagi hari adalah momen yang cukup mengiris hati Elira meski ia belum tahu pastinya.
“Sayang! Kamu dari mana? Kenapa semalaman nggak pulang?” Lalu tangan ibu mereka menangkup wajah Isyana dan menemukan ada plester di dahi putri kesayangannya itu. “Ini kenapa?!”
Lalu mata ibu mereka berlari ke arah Zayed, “Kenapa kamu bisa sama Isyana, Zay? Lalu kenapa ada luka di dahi Isyana?”
Isyana menunduk, pura-pura sedih. “Maaf, Ma. Aku takut pulang. Kemarin … aku habis kecelakaan. Luka-lukaku belum sembuh, Kak Zayed yang nolongin aku.”
“Apa? Kecelakaan dimana? Harusnya kamu nelfon Mama, sayang. Bukan malah nginap di tempat Zayed!”
Ketika Nyonya Yovana akan membawa pergi Isyana untuk diobati, Zayed membuka suara.
“Tante Yovana, jangan salah paham. Semua ini … dengan izin Elira,” ucapnya tanpa menatap Elira. “Tadi malam dia juga bawain kami makan malam.”
Elira menatap Zayed dengan hati hancur berkeping ketika semua kepala menoleh kepadanya.
“Elira, kenapa kamu ngizinin adikmu tidur di rumah laki-laki yang mau menikah sama kamu?” Tanya ayahnya.
Elira ingin menjelaskan. Tapi ayahnya memotong dengan cepat.
“Udah!” potong Tuan Dion Hananta. “Kamu tahu pernikahan ini penting bagi keluarga kita. Harusnya kamu ajak Isyana pulang! Apa ini bentuk keseriusanmu ke Zayed?”
Isyana menunduk, menggigit bibirnya. Seolah menahan tangis. Tapi dari sisi lain, Elira bisa melihat sudut bibir Isyana sedikit melengkung ke atas.
Ia merasa tidak ada gunanya membela diri di tengah orang-orang yang tidak menyanyangi dan menerimanya.
“Ayah nggak nyangka! Kenapa kamu tega nyerahin kehormatan adikmu ke tunanganmu sendiri?!” suara Tuan Hananta menggema.
Elira menoleh sekali ke arah Zayed, satu-satunya orang yang mengetahui kebenarannya namun memilih diam. Harga dirinya benar-benar telah remuk.
Isyana memeluk ibu mereka dengan mata berkaca-kaca, seolah gadis polos yang tak tahu apa-apa. Dan untuk pertama kalinya Elira tahu jika sifat Zayed sangat beracun. Mengakhiri pernikahan mereka adalah jalan terbaik. Pun pergi dari kehidupan kedua orang tua kandungnya.
Dia tidak mendapat cinta dari orang tuanya, hanya sekedar disuruh pulang demi sebuah tanggung jawab.
“Maaf, itu salahku. Aku pikir ... itu yang terbaik, karena aku percaya sama mereka berdua.”
Zayed mendongak pelan, menatap Elira dengan ekspresi tak terbaca. Bahwa Elira memilih menyetujui dustanya, memilih menanggung malu demi meredam badai.
Tanpa berpamitan, Elira segera berangkat bekerja. Di tengah perjalanan, ia mengusap air matanya berulang kali bahkan hampir menabrak kendaraan lain karena kesedihan itu merenggut konsentrasinya.
Lalu pesan dari Zayed masuk.
[El, maksudku tadi nggak kayak gitu. Kamu nggak perlu nyalahin dirimu sendiri.]
Elira tertawa pedih dan membalasnya.
[Bukankah akan lebih baik kalau aku yang disalahin?]
Keesokan harinya, Zayed tiba-tiba datang ke rumah dengan sebuah kotak beludru. Elira lebih banyak menunduk untuk menyembunyikan matanya yang bengkak karena terlalu banyak menangis.
“Ini untukmu. Maaf, aku akhir-akhir ini terlalu sibuk, El.”
Ternyata satu set perhiasan zamrud berkilau. Mewah dan indah tapi terasa dingin di tangannya.
Isyana yang kebetulan lewat, langsung mendekat.
“Astaga ... ini cantik banget! Kak, boleh aku coba?” tanyanya dengan mata berbinar.
Elira menyerahkan kalung itu tanpa ragu. Membuat Zayed menatap Elira keheranan.
“Kamu nggak suka?”
Ia menatap Zayed tanpa senyum. Hanya merasa lelah dengan hubungan mereka.
“Lebih cocok dipakai Isyana. Kebetulan, aku bukan penyuka perhiasan. Itu pun kalau kamu tahu apa yang jauh lebih kusukai, Zay.”
"El, ini --- "
Ia kemudian meninggalkan ruangan, Zayed hanya diam terpaku, dan Isyana sibuk mengagumi dirinya sendiri di depan cermin.
Dua hari kemudian, mendung menggantung rendah di atas langit Jakarta. Elira memutuskan untuk mengambil izin satu hari untuk menenangkan dirinya sendiri.
“El, kamu nggak kerja?” Tanya ibunya.
Elira menggeleng pelan. “Kenapa, Ma?”
"Temani Isyana ke tempat terapinya ya? Kasihan dia, masih syok karena kecelakaan tempo hari."
Ia pikir, ini hanya akan menjadi hal biasa. Duduk sebentar, menunggu Isyana menyelesaikan sesi, lalu pulang. Tempat terapi itu luas, artistik, dengan studio melukis dan ruang gerak.
Saat Elira dan Isyana tiba, Zayed sudah ada di sana. Lengkap dengan kemeja putih yang digulung hingga siku dan clipboard di tangan. Ia menyambut Isyana dengan senyum lembut.
Isyana menyapa penuh semangat dan langsung memegang lengan Zayed. Mereka berbincang ringan, akrab, dan seakan dunia luar telah lenyap. Elira berdiri beberapa langkah dari mereka, merasa seperti penonton di balik layar kaca.
Seorang dokter muda yang melintas kemudian bertanya ramah.
“Pasien anda, Dokter Zayed?”
Zayed menoleh sambil mengusap rambut Isyana.
“Ya. Isyana pasien istimewa saya. Dan ini kakaknya.”
Kakaknya.
Zayed tidak memperkenalkan sebagai tunangan. Sebuah kalimat sederhana, tapi terasa seperti palu godam di dada Elira.
Saat sesi dimulai, Isyana menari dalam terapi gerak. Ia tertawa ringan setiap Zayed ikut membetulkan posturnya. Dan Elira hanya duduk di kursi sudut ruangan, seperti furnitur yang terlupakan.
Saat Isyana pura-pura tergelincir ketika menari, Zayed sigap menangkapnya. Saat digendong menuju kursi, Isyana tampak tenang dengan tangan melingkar erat di leher Zayed.
“Kamu baik-baik aja?”
“Sakit, Kak,” katanya manja.
Dan Elira tahu, ini bukan terapi penyembuhan gangguan mental Isyana. Tapi ini pamer. Pamer siapa yang kini lebih dipedulikan.
Tanpa banyak kata, Elira bangkit lalu melangkah keluar dari studio terapi dengan tenang. Tidak berkata apa-apa atau menoleh ke belakang. Ia hanya tahu … kalau ia bertahan satu menit lebih lama, pikirannya bisa hancur.
Dengan jari gemetar tapi hati bulat, ia mengetik sebuah pesan untuk Zayed.
Mereka menanyakan Elira ingin warna apa untuk pelaminan hingga konsep dekorasi pesta.Dengan air mata menetes, satu demi satu pesan itu ia buka, lalu dihapus tanpa balasan. Hatinya hanya menahan sesak.Sampai akhirnya, jemarinya berhenti pada nomor pencetak undangan. Bertanya model undangan seperti apa yang Elira inginkan.Ia hendak menghapus pesan itu begitu saja seperti pesan dari wedding organizer. Tapi ia berubah pikiran, kemudian mengetik sebuah pesan pendek yang sarat akan hatinya yang berkecamuk.[Saya ingin membatalkan seluruh pesanan undangan. Mohon maaf.]Pesan terkirim dan hati Elira terasa makin pedih dan hancur.Tapi ia tahu ini lebih baik dari pada bertahan dalam hubungan yang tidak bisa dipertahankan.Kemudian Elira merebahkan tubuhnya sambil memandang langit-langit kamar. Membiarkan air mata meleleh dari sudut matanya.Dalam keheningan kamar, pikirannya melayang jauh pada Zayed, Isyana, keluarga Hananta, dan Respati.Respati, pria sederhana yang tidak haus akan sorot
[Maaf, aku ada urusan mendadak. Tolong, antar Isyana pulang, Zay. Kalau Mama dan Papa marah, bilang aja aku yang nyuruh kamu nganter dia pulang.]Elira tidak peduli andai dihujat kembali oleh kedua orang tuanya demi Isyana. Lagi pula ia tidak pernah dianggap ada.Elira kemudian menepikan harga dirinya. Dia terus menghubungi nomer tanpa nama milik Respati Kanagara. Sudah puluhan kali panggilan ia layangkan dengan harapan Respati mengangkatnya.Karena hanya Respati yang bisa menolongnya. Meski ia banyak melukai lelaki itu di masa lalu. Dan akhirnya, panggilan itu terhubung setelah tujuh puluh sembilan kali.“Siapa ini?” Tanyanya dengan suara rendah.Elira gugup. “Aku … Elira.”Hening sejenak.“Oh … Elira Hananta?” Respati menyindir.Elira menghela nafas panjang.“Namaku Elira Putri. Bukan Elira Hananta.”Agar Respati tahu jika ia memiliki masalah dengan keluarga Hananta.“Ada angin apa tiba-tiba kamu nelfon aku, El? Aku pikir ini mimpi.”Menepikan rasa malunya, Elira membuka suara.“Aku
"Buang aja," ucapnya dengan menunduk.Menyembunyikan matanya yang bengkak setelah menangis semalam.Pikiran Elira kembali ke moment saat Zayed memberinya gaun yang indah, tapi tidak pernah bertanya ukuran badannya. Dia memberi Elira jam tangan dari emas tapi tidak pernah bertanya apakah Elira menyukainya atau tidak.Sebenarnya hubungan mereka kering namun Elira selalu menafikkan. Pada kenyataannya, Zayed selalu punya kehangatan untuk Isyana.Padahal Elira yang selama dua tahun ini berada di sisinya hingga rela dibentuk ulang oleh keluarga Hananta agar pantas menjadi calon nyonya Sagala.Zayed bisa memarahi Elira jika nada bicara dan cara duduknya kurang tepat. Bahkan karena secuil kerutan di bajunya terkadang bisa menjadi masalah.Tapi pada Isyana, segalanya dimaafkan dengan sejuta alasan yang pada akhirnya membuat Elira sadar. Bahwa selama ini dia terlalu lama membohongi hatinya dan menganggap sikap Zayed memang seperti itu.“Gimana, Pa? Apa Isyana udah bisa dihubungi?” Tanya Nyonya
"Maaf, Zay. Aku nggak mau dimarahin Kak El gara-gara dansa sama kamu." Tolak Isyana dengan memandang Elira. Kemudian Zayed menghampiri Elira dan berkata, "Hanya satu tarian, El. Lagi pula Isyana itu adikmu dan pasienku. Buang cemburu butamu itu!" Tidak mau berdebat, kemudian kepala Elira mengangguk dengan terpaksa. Hatinya berubah panas ketika melihat gerakan mereka selaras. Tatapan Zayed hangat dan penuh perhatian. Bagi Elira, pesta ulang tahun Zayed adalah kuburan diam-diam bagi hubungan mereka.Setelah mereka selesai berdansa, Elira melangkah cepat. Gaunnya menyapu lantai marmer saat menghampiri Zayed yang tersenyum pada Isyana.“Bisa bicara sebentar?” Tanyanya dengan ekspresi menahan kesal.Zayed menoleh tanpa terkejut. “Nanti aja. Aku ---”“Sekarang!”Kemudian Zayed mengikuti Elira dengan langkah lebar. Mereka menuju taman belakang, jauh dari sorotan lampu pesta.“Apa kamu sadar apa yang kamu lakuin malam ini, Zay?” Elira berusaha tenang dan menahan suara yang bergetar.“El, i
Berawal dari dikenalkan lalu menjadi tunangan.Lelaki tampan sekaligus psikiater itu, Zayed Sagala, akan menjadi suami Elira Hananta dua bulan lagi.Tapi akhir-akhir ini, obrolan Zayed terasa berbeda.“Isyana gadis yang rapuh, El. Dia butuh pendengar sejak kamu masuk dalam keluarga Hananta.”Suasana berubah tidak menyenangkan. Elira mencengkeram ponselnya dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih.Lagi-lagi saudara angkatnya itu kembali mencari perhatian Zayed dengan mengatakan dirinya mengidap gangguan mental semi berat.Bahkan minggu lalu, Elira dan Zayed sempat bertengkar hebat karena hal serupa."Tapi kenapa kamu nggak bilang kalau ke Jepang, Zay? Kamu nggak nganggap aku lagi?"Beberapa hari yang lalu, Zayed memang pergi Jepang untuk mengikuti sebuah seminar kesehatan mental."Seminarnya mendadak banget, El. Makanya aku nggak bilang karena kamu pasti melarang. Lagipula, aku ke Jepang kan supaya bisa memberikan perawatan terbaik buat saudara kamu.""Tapi kan—""El, udahlah. Buan