Share

Dilema Lila

#Saudara Rasa Orang Lain (5)

Aku tak habis pikir, kenapa Bang Majid bisa-bisanya berkata seperti itu dengan Kak Virda. Padahal jelas-jelas aku sudah mengajak Bang Majid dan juga Virra untuk buka bersama. Tapi mereka yang selalu saja beralasan. Dan kenapa kini seolah-olah jadi aku yang disalahkan? Ya Allah, kenapa jadi begini?

🌹🌹🌹

Aku termenung memikirkan ucapan Kak Virda di W******p tadi. Aku juga belum membalas pesannya lagi.

Terkadang aku berfikir, kenapa di dunia ini, hanya harta dan kedudukan yang menjadi tolok ukur pada diri seseorang.

Kenapa sesama saudara bisa saling merendahkan dan menjatuhkan hanya karena rezeki mereka yang berbeda.

Tak pernahkah mereka berfikir sedikit saja perihal rezeki yang sebenarnya adalah mutlak hak Allah. 

Karena memang hanya Allah lah yang berhak memberikan harta dan kedudukan yang mungkin saja pada orang yang tepat, yang bisa menjaga amanah yang telah dititipkannya. Dan aku berpikir, mungkin saja memang akan belum layak untuk dititipkan harta oleh Allah, dan Allah mengajariku untuk lebih memantaskan diri. Agar nanti saat aku diamanahi olehNYA, aku bisa mengelolanya dengan baik. Dan tak ada rasa sombong atau riya sedikitpun di dalam hati ini.

Tapi, memang kebanyakan orang yang sudah diamanahkan oleh Allah, jarang sekali yang menggunakan hartanya dengan benar. Mereka malah seolah lupa, bahwa di dalam harta mereka masih ada hak-hak orang lain yang harus ditunaikan. Salah satunya yaitu bersedekah dan juga berzakat.

🌹🌹🌹

"Dek, kamu kenapa ngelamun gitu?" Suara Bang Arham membuyarkan lamunanku yang sejak tadi. Mata Bang Arham dan juga Emak kompak memandangiku. Aku pun jadi salah tingkah. Hati ini juga sudah terasa semakin sesak.

"Gapapa kok, Bang. Ini, aku abis baca pesan dari Kak Virda." Kuserahkan ponselku pada Bang Arham, agar dia bisa membacanya secara langsung. Tanpa harus kuceritakan lagi di depan Emak. Karena tak enak saja rasanya. Kesini malah menambahkan beban Emak dengan ceritaku.

"Terus, kenapa nggak dibalas lagi pesannya?" Tanya Bang Arham, sambil menyerahkan ponselku kembali. Aku diam tak menjawab. Karena memang bingung mau membalas pesan Kak Virda dengan kata-kata apa.

"Kalau ada masalah itu, lebih baik diselesaikan dengan kepala dingin, Nak. Jangan berlarut-larut, tidak baik. Karena masalah kecil bisa menjadi masalah besar. Lalu bisa menimbulkan prasangka-prasangka buruk, yang berujung pada kekotoran hati." Seolah tahu isi hatiku, kini Emak ikut angkat bicara tanpa diminta terlebih dulu.

"Aku bingung, Mak." Dan kini buliran bening, sebagai perwakilan atas sesaknya dada ini, meluncur deras membasahi kedua pipi.

"Bingung kenapa, Nak? Coba kamu cerita? Siapa tahu Emak bisa kasih solusi untuk kalian berdua," jawab Emak sambil mengusap-usap punggungku. Rasanya nyaman sekali saat berada di dekat Emak. Seperti berada di dekat Ibuku sendiri.

Ibu … aku rindu. Aku rindu akan belaianmu, aku rindu bersenda gurau denganmu, aku rindu akan nasehat-nasehatmu, dan aku rindu dengan pelukan hangatmu.

Ibu … tak apa bagiku untuk bisa memelukmu lagi walau hanya di dalam mimpi sekalipun. Bertemu denganmu, menceritakan suka dukaku yang kini masih betah menyapa hidupku.

'Kata … mereka, diriku selalu dimanja. 

Kata … mereka, diriku selalu ditimang.

Oh … Bunda, ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku.' 

Kini, aku malah semakin menangis sesenggukan di pelukan Emak, perasaan sesak kian menghimpit dada ini. Aku merasa bahwa di dunia ini aku hanya hidup sendiri. Tanpa kasih sayang tulus dari kedua orang tua. Kasih sayang yang tak pernah memandang apapun. Kasih sayang tanpa syarat. Dan kini mereka berdua sudah tenang di alam sana dan berbahagia selamanya.

"Yang sabar ya, Nak? Selalu berdoa sama Allah, agar hidup kalian selalu diberikan keberkahan dan kebaikan yang selalu menyertai hidup kalian. Dan selalu kuat untuk menghadapi ujian dalam hidup yang penuh dengan lika-likunya," ucap Emak lagi. Dan ucapan Emak sukses semakin membuat air mataku semakin deras mengalir.

🌹🌹🌹

Setelah hati ini terasa sedikit lega, karena telah menumpahkan sesak di dada melalui air mata. Walau diri ini sebenarnya belum cerita apapun pada Emak, karena sedari tadi hanya tangisan yang keluar dari mulutku.

Aku mengurai pelukan Emak, begitupun dengan Emak, yang setia memeluk menantunya bagaikan anak sendiri dan mau menjadi tempat bersandar bagi menantunya yang kadang merasa tak berdaya ini.

Aku selalu berdoa pada Allah di setiap sujud panjangku, agar suatu saat Allah mau merubah keadaan hidupku agar menjadi lebih baik lagi, tak menyusahkan saudara, dan bisa membahagiakan Emak yang memang sudah kuanggap sebagai pengganti orang tuaku.

Aku ingin sekali bisa membahagiakan Emak, serta bisa membantu orang-orang di sekitarku. Aku berharap bisa menjadi orang yang bermanfaat selama hidupku, bermanfaat bagi semua orang yang membutuhkan bantuan. Sebelum nafas ini berhenti dan kembali padaNYA selamanya.

"Kamu yang sabar ya, Nak. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Ya udah, Emak mau ke kamar dulu sebentar ya? Kalian ngobrol aja dulu," aku mengangguk meng-iyakan ucapan Emak. Lalu Emak beranjak dan segera menuju ke kamarnya.

Rencananya kami akan menginap disini, karena memang hari juga sudah malam. Dan aku baru tersadar, entah sejak kapan anak-anak sudah tertidur di atas kasur busa yang terletak di depan televisi.

Kemudian aku mengalihkan pandangan ke arah Bang Arham, ternyata dia juga sedang sibuk menghapus air matanya.

Apa sedari tadi Suamiku ini ikut menangis juga? Apa dia juga tau dengan perasaan hatiku saat ini?

🌹🌹🌹

"Bang, kamu kenapa? Kok ikut sedih sih?" Tanyaku, memecahkan keheningan malam ini.

"Besok sepulangnya dari sini, aku mau cari kerja, Dek. Biar hidup kita berubah keadaannya. Benar kata Kakak kamu, kalau aku harus mencari pekerjaan yang memiliki gaji, agar hidup kamu bisa terjamin." Tutur Bang Arham panjang lebar.

"Kan sekarang lagi bulan puasa, Bang. Kalau memang Abang mau mencari pekerjaan, saranku nanti saja sesudah lebaran. Karena mungkin jarang sekali perusahaan yang mau menerima saat mendekati lebaran seperti ini," jawabku memberikan saran. Bang Arham diam, nampak sedang berfikir.

Tak lama, ponselku bergetar lagi, kali ini tanda panggilan masuk. Dan setelah aku lihat ternyata panggilan masuk dari Kak Virda.

Ada apa sebenarnya Kak Virda menelpon malam-malam seperti ini? Apa karena pesannya yang belum kubalas?

"Hallo, Assalamualaikum Kak? Kenapa Kak?" Ucapku saat mengangkat telepon.

[Wa'alaikumsalam, Dek. Kamu belum tidur? Kok pesen Kakak nggak dibalas tadi?] 

"Iya maaf, Kak. Belum kak. Oh iya terima kasih sarannya, Kak. Bang Arham akan mencari pekerjaan baru kok, nanti setelah lebaran," jawabku lagi.

[Yaudah, Alhamdulillah kalau gitu, Dek. Oh iya kakak cuma mau bilangin. Bisa nggak besok kamu ke rumahnya Majid, katanya si Faraz lagi sakit, mereka repot sekali karena lagi banyak orderan catering. Jadi Kakak minta kamu kesana ya? Untuk bantu jagain si Faraz dan juga Fariz. Kamu mau kan?] Aku berfikir sejenak, kenapa Bang Majid menyuruh Kak Virda untuk meneleponku dan meminta tolong untuk menemani Faraz yang sedang sakit.

Kenapa bukan Bang Majid sendiri yang menghubungiku? Seketika aku jadi dilema sendiri. Kalau aku menolak, takut Kak Virda malah berpikiran macam-macam. Tapi, kalau aku meng-iyakan, aku juga takut kalau kesana tanpa Bang Majid sendiri yang menyuruhnya.

[Hallo, La, Lila. Kamu masih disana kan? Kok diem aja?] Suara Kak Virda membuyarkan lamunanku.

"I-iya Kak. Maaf Kak, tadi aku tinggal sebentar teleponnya, karena Emak memanggil," jawabku beralasan.

[Oh, kamu di rumah Emaknya Arham? Saran Kakak jangan sering-sering kesana, duit kalian bakal dimintain terus sama Emaknya Arham dan gak akan pernah terkumpul kalau gitu. Apalagi pekerjaan Arham yang cuma tukang ojek, sangat jauh dari kata cukup. Ya udah, jangan lupa besok ke rumah majid ya? Jagain Faraz, biar Arimbi sm Majid bisa fokus ngurus cateringnya, Kakak tutup dulu ya teleponnya? Assalamualaikum,]

"Wa'alaikumsalam, Kak." Jawabku dan segera menutup telepon dari Kak Virda.

Sekarang aku bingung sendiri, kenapa Bang Majid atau Kak Arimbi meminta tolong padaku tapi tidak menelepon langsung? Kenapa juga Kak Virda seolah memaksaku untuk menjaga Faraz, dan seolah tak mempedulikan kedua anakku yaitu Amalia dan juga Raffa. Serta tak menanyakan sama sekali tentang daganganku. 

Bukannya aku nggak mau untuk menjaga Faraz, tapi kalau aku tak berjualan, pemasukan pun otomatis menjadi berkurang. Karena hanya mengandalkan pemasukan dari Bang Arham saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status