Pemilik kedai kecil itu bernama Mateo, sedang bersiap membersihkan meja setelah seorang pelanggan wanita pergi. Alisnya langsung berkerut melihat isi mangkuk yang tak tersentuh, bertentangan dengan ungkapan puas yang diucapkan pelanggan tadi.
Suara mesin mobil yang mendekat membuat Mateo menoleh. Di balik jendela mobil yang baru saja melintas itu, dia melihat wanita yang sebelumnya memberikan pujian palsu. Kedatangan wanita itu yang terasa mencurigakan membuat Mateo meningkatkan kewaspadaannya. Perhatian Mateo beralih saat melihat adiknya—Meera. Dia segera keluar untuk membantu sang adik yang berjalan sambil mengangkut beberapa kantong plastik besar. "Kenapa belanja sebanyak ini? Sudah kukatakan untuk membeli bahan seperlunya saja. Kenapa kau tak pernah mendengarkanku?" kata Mateo, suaranya sarat dengan kekesalan. "Tadinya aku berpikir begitu, tapi melihat diskon akhir tahun, aku jadi belanja lebih banyak. Kita bisa menyimpannya di dalam kulkas," ucap Meera, lalu menunjuk kantong plastik di tangan kakaknya. "Lihat! Aku mendapatkan sawi dengan harga murah. Lima ribu untuk tiga ikat sawi," tambahnya. Mateo melirik isi kantong plastik dan melihat tiga ikat sawi segar yang dikatakan. Meskipun seharusnya dia senang dengan harga murah dan kualitas bagus, kekhawatiran tentang pengeluaran berlebih masih membayanginya. "Kita hanya tinggal berdua di rumah. Enam helai sawi saja sudah cukup untuk satu hari. Sayur hanya bisa disimpan di kulkas selama tiga hari. Lebih dari itu, tak baik untuk dikonsumsi. Lagi pula, kau jarang makan sayur. Hanya aku yang paling sering menghabiskannya," kata Mateo, masih dengan nada tegas. "Kalau begitu, sajikan saja sawi ini untuk pelanggan. Kakak bisa mencampurkannya ke dalam menu makanan. Banyak orang suka mencampurkan sayur ke dalam mi. Pasti akan terasa sangat enak," balas Meera dengan senyum penuh keyakinan. Mateo tak bisa berkata-kata lagi. Dia sangat mengenal karakter adiknya. Jika topik tentang sawi ini dilanjutkan, takkan ada habisnya. Meera selalu memiliki jawaban yang membuatnya tak pernah putus asa. Akhirnya, Mateo hanya bisa menyimpan sawi dan belanjaan lainnya ke dalam kulkas. Saat itu, dia teringat akan kejadian tadi, ketika seorang pelanggan wanita meminta nomor ponselnya. "Meera," panggilnya pada sang adik yang kini berselonjor di kursi panjang sambil memainkan ponsel. "Tadi ada seorang pelanggan yang datang. Wanita itu ingin memesan layanan pesan antar, dan aku bilang kalau kita tak menyediakan layanan seperti itu." Meera langsung bangkit dan menghampiri kakaknya. "Lalu, apakah Kakak menolaknya? Bukan hanya sekali Kakak melakukan hal itu. Padahal, kita bisa mengembangkan usaha ini menjadi lebih baik dengan menerima tawaran mereka." "Aku tak menolaknya," jawab Mateo. Meera tampak sangat bersemangat dan tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Benarkah?! Apa kita benar-benar bisa melakukan layanan pesan antar?" "Kita tetap tak bisa melakukannya. Mereka yang akan menjemput makanannya sendiri saat sudah siap," jawab Mateo. Meera mencebik. "Pantas saja Kakak masih lajang sampai sekarang. Hal kecil seperti ini saja tak tahu. Mana ada pelanggan yang mau menyulitkan diri sendiri? Mereka harus dilayani seperti raja, bukan dibiarkan berusaha sendiri." Dengan wajah kesal, Meera pun pergi menuju kamarnya. Mateo hanya bisa terbengong melihat sikap adiknya. Padahal, dia belum sempat masuk ke inti permasalahan, alasan mengapa dia menyinggung soal pelanggan wanita tadi. *** Suara flush dari kamar mandi terdengar jelas. Tak lama kemudian, Serina keluar dengan tampang lega setelah menyelesaikan urusannya. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Hillary, yang mengenakan piama dan tengah terbujur di kasur. Besok adalah hari besar bagi Hillary karena dia akan bertemu dengan idolanya. Jadi, mereka memutuskan untuk merawat diri terlebih dahulu. Serina sebenarnya tak berniat ikut dalam sesi perawatan ini, tapi Hillary memaksanya untuk menemani. Mau tak mau, dia pun ikut. Mereka bahkan sempat mengunjungi spa setelah makan siang. "Kau harus menuruti perkataanku besok. Aku yang akan memberitahukan padamu kapan kau bisa berinteraksi dengan Shohei. Jangan sekali-kali berbuat hal aneh karena aku bisa terkena masalah jika proyek ini gagal. Apa kau mengerti?" tegas Serina. "Kau tak perlu khawatir. Aku wanita yang tahu aturan," ucap Hillary sambil menepuk-nepuk pelan wajahnya yang ditempeli masker. Serina memasang masker wajahnya dan merebahkan diri di sisi tempat tidur yang kosong. Bukannya segera beristirahat, dia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas dan jemarinya mulai mencari nomor pemilik rumah makan. "Haruskah aku menghubunginya malam ini?" tanya Serina, mencari pendapat Hillary. Hillary yang tadinya tenang tiba-tiba memelotot. "Kau sudah dewasa, seharusnya memutuskan hal sepele seperti ini bukan masalah besar. Tinggal hubungi saja jika kau ingin," ucapnya dengan nada sedikit mendesak. "Dan apa bagusnya dia? Lebih tampan lagi dari Shohei-ku." "Aku rasa dia cukup tampan." Hillary terbahak. "Siapa yang kau bicarakan? Apakah kau sedang bicara tentang pemilik rumah makan? Jangan bercanda! Cinta memang buta. Kau hanya belum menyadarinya karena sekarang sedang buta. Nanti, setelah sadar, kau akan tahu bahwa apa yang kau lakukan sekarang sama sekali tak bermanfaat." Serina semakin bingung dengan arah pembicaraan mereka. Dia hanya mengemukakan pendapat jujurnya tentang apa yang terlihat. Kenapa tiba-tiba pembicaraannya mengarah pada cinta? Apakah Hillary menganggap bahwa aku ingin memiliki nomor telepon pemilik rumah makan sebagai cara untuk mendekati seorang pria? batinnya bertanya. Hillary sudah jelas salah paham dengan situasi. Dia tak mencoba mendekati pemilik rumah makan karena alasan romantis. Namun, mendengar komentar tadi membuatnya sedikit marah, meskipun komentar itu sebenarnya tak ditujukan padanya. "Perkataanmu sungguh kejam," desisnya dengan nada kecewa. "Dia mungkin tak seburuk itu." Kali ini Hillary hanya tersenyum sinis, berusaha menjaga masker kecantikannya tetap terjaga. "Aku tak mengatakan bahwa dia orang yang buruk. Hanya saja, kau bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada dia. Kau terlalu istimewa untuk hidup bersamanya. Dia yang seharusnya bersyukur karena memiliki seseorang sepertimu." Serina mengerlingkan mata, semakin yakin bahwa perbincangan mereka sebaiknya diakhiri. Dia merasa salah telah terpancing emosi oleh kesalahpahaman itu sendiri. "Berhenti bicara. Aku akan menghubunginya," putusnya tegas. Hillary tak menunjukkan minat dan memilih untuk kembali dalam ketenangan, sementara Serina bangkit dan menyingkirkan lembaran tipis yang menempel di wajahnya. Tanpa ragu, dia segera menghubungi pemilik rumah makan. Beberapa kali dengungan terdengar sebelum seseorang akhirnya menyahuti panggilan, "Halo, siapa ini?" Suara itu terdengar berbeda dari yang seharusnya mereka kenal. Bukan hanya Serina yang terkejut, Hillary yang tadinya tak tertarik langsung duduk tegak ketika mendengar suara orang yang menjawab telepon. Meskipun tak begitu jelas, mereka masih bisa menebak bahwa Serina sedang berbicara dengan seorang wanita. "Dia sudah punya kekasih!" seru Hillary dengan suara rendah.Dukunganmu sangat berarti untuk menyemangati para penulis~
Serina mematikan televisi tidak lama setelah siaran wawancara singkat usai. Dia tidak bisa memikirkan cara apa pun untuk mengorek informasi dari Lemuel, bahkan pria itu dapat menjawab semua pertanyaan dengan baik.Stuart juga ada di sana, menyaksikan hal yang sama tadinya. Setelah selesai menonton, dia pun berkata, "Sekarang kau membuat orang-orang bersimpatik padanya. Apa sebelum mewawancarai, kau tidak memikirkan soal dia yang akan menjawab dengan sangat baik?"Ponsel Serina berdering. Dia mengangkat panggilan telepon begitu saja. "Halo?""Halo, Wartawan Serina."Serina seketika menjadi tegang saat mendengar suara di seberang sana. Dia melihat kembali sejumlah nomor tidak tersimpan yang ada dalam layar, tidak menduga kalau dia akan dihubungi oleh Lemuel."Anda pasti terkejut, karena saya menghubungi begitu tiba-tiba.""Ah, ya ... saya tidak pernah menduganya."Serina keluar dari ruangan, meninggalkan raut kebingungan di wajah Stuart. Dia mencari sudut yang aman untuk mereka bicara,
Serina mencebik, tidak suka dengan Stuart yang memberikannya pekerjaan secara tiba-tiba, bahkan dia tidak jadi ditraktir oleh Mateo, karena harus singgah ke Meteor Media untuk menyelesaikan beberapa hal."Aku sedang sibuk menyelesaikan proyek besar dan kau selalu menambah pekerjaanku. Bukankah gajiku yang sekarang tidak akan sepadan dengan kesetiaanku terhadap perusahaan ini?""Sibuk bagaimana? Kau belum memperlihatkan kemajuan apa-apa selama satu minggu ini," ucap Stuart.Serina mengernyitkan alis. "Itu karena kau terus-menerus memberikan pekerjaan yang begitu banyak padaku!""Kau yakin bukan karena Mateo yang harus melindungi sahabatmu? Mungkin kau perlu diingatkan pada tugasmu yang sesungguhnya yaitu mencari informasi mengenai pembunuhan yang melibatkan tuan Conor. Jangan sampai tujuanmu berubah arah menjadi yang lain."Stuart melemparkan dokumen yang dibacanya sejak tadi ke atas meja. "Kita tidak punya waktu untuk bermain-main, Serina," ucapnya, kemudian keluar dari ruangan.Serin
Serina meletakkan kedua belah tangan di pinggang, menatap sepeda motor yang akhirnya menjadi pilihan. Dia sudah menghubungi sang sahabat untuk persoalan biaya dan sekarang sedang menunggu respons Hillary."Kau yakin dengan pilihanmu? Hillary tidak akan senang mendengarnya.""Yang aku perlukan hanyalah sepeda motor, mahal atau tidak bukanlah sesuatu yang harus dipusingkan. Selama mesinnya bisa berfungsi dengan baik, maka itu sudah cukup.""Tapi sekarang bukan mahal atau tidak mahal sebagai pilihanmu, tapi baru dan tidak baru. Bagaimana jika keputusanmu diubah? Kita akan membeli yang baru, bukan yang bekas."Tepat pada kalimat terakhir, Mateo menerima telepon. Dia melihat ke arah Serina yang menatap bingung padanya, lantas dia mengangkat panggilan tersebut."Halo?" Mateo berkata."Kau ingin agar aku berutang budi padamu sampai mati?"Serina mendengar suara sang sahabat dari ponsel Mateo. Dia melipatkan tangan di dada sambil berekspresi tidak peduli, sudah tahu kalau hal seperti ini akan
Dua hari tersisa, Mateo hanya berjaga di sekitar The Pearl Villa. Hillary tidak mengerjakan aktivitas apa pun di luar kediaman selama memulihkan diri, mungkin benar-benar sudah memutuskan hidup dengan baik.Bahkan, akibat kondisinya yang buruk di pertengahan pesta kemarin, Hillary sampai memanggil dokter keluarga ke vila, hal yang sudah lama tidak dilakukan karena sebelumnya dia yang menghampiri sang dokter supaya meresepkan obat untuknya ketika usus buntu meradang.Mateo menoleh ke lantai dua, mendapati Hillary sedang berbicara dengan sang dokter. Saat ini dia mengambil waktu untuk merokok sebentar, tiba-tiba jadi terpikirkan mengenai hal apa yang akan dilakukannya setelah masa kerja menjadi pengawal selama satu minggu usai.Beberapa batang rokok habis bertepatan saat sang dokter muncul di lantai bawah, tampak sudah akan pergi. Mateo menoleh lagi ke arah jendela besar yang diketahuinya merupakan milik kamar Hillary. Wanita itu sedang melihat pula ke arahnya, langsung berpaling dan pe
Perkataan Mateo membuat mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Nick agaknya merasa dipermalukan, citranya telah berubah menjadi orang yang sangat menjengkelkan.Hillary berpikir bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk berurusan dengan Nick. Dia segera menarik Mateo untuk pergi dari sana, selanjutnya sambil terhuyung-huyung berjalan ke sisi dinding.Hillary berusaha tetap berdiri tegak, berhenti sebentar untuk mengambil napas. Beberapa menit berlalu hanyalah waktu tanpa kata."Maaf, karena membawa urusan pribadi Anda ke tengah acara. Saya melihat bahwa Anda merasa tidak nyaman sejak tadi dan membutuhkan cara untuk pergi dari aula.""Kau tahu dari mana kalau Nick mengirimkan buket padaku setiap hari?""Sekretaris Anda berbicara mengenai buket yang dikirim setiap pagi oleh orang yang sama dan katanya Anda sering kali merasa jengkel. Saya melihat siapa pengirimnya untuk berhati-hati dengan orang itu suatu saat nanti. Ternyata pertemuan ditakdirkan begitu cepat. Saya berharap dia tidak
Sampai esok hari, Bellmira tetap mengeluhkan kesalahan sang kakak di matanya. Dia terus membuat pilihan antara Serina atau Hillary. Padahal, Mateo tidak memiliki hubungan istimewa apa-apa terhadap dua wanita itu."Mereka berdua adalah sahabat dekat yang aku dengar dari cerita kak Serina. Kakak seharusnya tidak memecah belah persahabatan mereka dengan mendekati keduanya sekaligus.""Aku tidak melakukan pekerjaan seperti itu. Berhentilah mengatakan yang tidak-tidak sebelum aku terlambat.""Memangnya Kakak akan ke mana?" Bellmira baru sadar akan setelan pakaian formal yang dikenakan kakaknya. "Dari mana Kakak mendapatkan pakaian itu?"Mateo sudah lama sekali tidak menatap dirinya dari atas sampai ke bawah. Ternyata rasanya tetap sama, tidak pernah terbiasa. Dia lebih menyukai baju kaos dengan jaket hoodie ketimbang kemeja dengan jas."Apa aku sudah terlihat rapi?" tanya Mateo.Bellmira menganggukkan kepala. "Pilihan yang sangat bagus. Itu cocok sekali dengan Kakak. Memangnya akan ke mana
Hillary dapat merasakan kepedihan dari setiap perkataan yang didengar. Dia saja sangat sedih mengantarkan kepergian sang ayah, lebih menyakitkan lagi jika tidak ikut mengantarkan, karena itu adalah kali terakhir dari pertemuan. "Waktu yang baik untuk berjemur yaitu antara jam sembilan sampai sepuluh pagi. Saat itu gelombang sinar ultraviolet dari matahari sudah menjadi gelombang pendek yang aman untuk kulit. Sekarang sudah lewat dari waktu yang disarankan. Sebaiknya Anda duduk di golf cart agar tetap terlindungi," ucap Mateo, kemudian berlalu pergi. Hillary bergegas menaiki mobil golf kembali dan mengejar Mateo dengan itu. "Bukan hanya aku yang memiliki kulit. Kau tidak ingin naik juga agar kita bisa cepat sampai?" "Saya baru selesai berolahraga dan sangat berkeringat. Anda akan tidak nyaman nantinya. Lagi pula, berjalan adalah aktivitas yang sangat sehat. Saya menyarankan agar Anda sesekali berjalan ketimbang menyetir mobil." "Kau sedang mengkritik gaya hidupku?" "Saya hanya meny
Hillary bangun dalam keadaan penuh kebingungan, seperti yang dia temukan ada sesuatu yang menempeli dahi. Ditambah wadah air yang terdapat di atas nakas membuat dia berpikir kalau hal buruk mungkin telah terjadi tanpa diketahuinya. Dia beranjak keluar kamar, turun ke lantai bawah dan langsung terkejut ketika menemukan sang paman. Pria yang berada di usia 40-an itu kini sedang mempersiapkan makanan di dapur. Mungkin tidak banyak yang tahu kalau di balik kesibukan sebagai pebisnis, pamannya pandai memasak. "Bagaimana Paman tidak hidup sendiri kalau hal seperti memasak saja bisa ditangani dengan baik." Haidar menolehkan kepala, dia tertawa kecil. "Itu adalah gayamu, pertama memujiku, lalu memintaku untuk menikah. Duduklah dan habiskan makananmu." "Niatku tertebak." Hillary menarik kursi, duduk di sana dan berkata, "Kapan Paman tiba?" "Tadi malam. Sesaat berada di bandara,
Saat membuka pintu kabin, Mateo mendapati Hillary tengah tertidur pulas. Dia juga tidak ada niat membangunkan, jadi dia memutuskan untuk mengendarai mobil saja menuju The Pearl Villa.Sampai di sana pun Hillary tampak tidak terusik, bahkan ketika Mateo mencoba untuk membangunkan. Mau tidak mau Mateo harus membopong Hillary ke kamar, ditemani seorang pelayan wanita sebagai penunjuk jalan.Mateo membaringkan Hillary di tempat tidur, pelayan yang mengantarkan langsung membantu melepaskan sepatu pemilik rumah sebelum menyelimuti dengan baik. Mateo sendiri tahu kalau sudah saatnya dia pulang."Ayah ...."Suara itu berhasil menghentikan niat, Mateo dan sang pelayan memandang wanita yang tampak gelisah dalam tidur. Mateo tidak beranjak sampai pelayan tersebut mendekati Hillary dan mengatakan kalau sang majikan bukan hanya sekadar memanggil sang ayah."Suhunya sangat panas. Nona sepertinya terkena demam."Mateo ingat kalau mereka tadi berusaha mencari tempat berteduh.