Meera meletakkan ponselnya di atas kasur setelah menerima panggilan aneh dari nomor tak dikenal. Dia mendesah pelan, kesal karena tak tahu siapa yang menelepon. Tepat pada saat itu, terdengar ketukan pintu, diikuti oleh kemunculan kakaknya yang tiba-tiba.
“Ada apa?” tanyanya, berjalan mendekati Mateo. "Kau terlihat kesal," Mateo menyimpulkan dari ekspresi wajah sang adik. Meera melipat tangan di dada, menahan rasa frustrasi yang masih membayang. "Nomor asing meneleponku. Ketika kuangkat, tak ada suara. Lalu, panggilannya tiba-tiba terputus." "Aku memberi nomormu pada seorang pelanggan wanita. Mungkin dialah orang yang meneleponmu," jawab Mateo. Mengingat percakapan mereka sebelumnya, Meera langsung menyadari siapa yang mungkin meneleponnya. "Kenapa Kakak tak bilang padaku? Aku sampai penasaran setengah mati." Mateo menghela napas panjang. Itu adalah sesuatu yang ingin dia sampaikan sejak tadi, tapi pembicaraan mereka terputus ketika Meera pergi. "Sebaiknya kau beristirahat. Besok kita akan sibuk melayani pelanggan. Malam tahun baru selalu ramai, banyak orang keluar untuk makan." "Padahal hanya satu menu, tapi bisa sangat sibuk?" Meskipun mengeluh, Meera akhirnya mengangguk. "Baiklah. Kakak juga harus istirahat." Mateo menutup pintu kamar Meera, lalu berjalan menuruni tangga. Dia menuju dapur kembali, mempersiapkan bahan-bahan untuk esok hari. Selama beberapa waktu, dia mencuci bahan, menyiapkan bumbu, dan membersihkan bagian-bagian dapur yang menurutnya perlu diperhatikan. Jam sudah menunjukkan lewat pukul sepuluh malam, tapi Mateo belum merasa mengantuk. Dia menarik salah satu kursi pelanggan dan duduk di sana. Satu batang rokok dikeluarkannya dari saku, dinyalakan, lalu diisapnya perlahan. Dalam keheningan malam, pikirannya melayang pada kenangan tentang mendiang ibu mereka. Penyesalan kembali menghantui, membawa bayang-bayang masa lalu yang suram. Dulu, rasa sakit dan derita seolah mencekik setiap detik, tapi waktu telah menelan sebagian dari beban itu. Kini, satu-satunya alasan Mateo terus bertahan adalah Meera. Adiknya masih harus hidup dan menemukan kebahagiaannya. Mateo tetap duduk diam di meja pelanggan, merenung, sampai asbak di depannya penuh dengan puntung rokok. Tersadar dari lamunannya, dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu lebih. Meskipun masih belum mengantuk, dia memutuskan untuk beristirahat. *** Keesokan harinya, malam mulai menjelang, sesuai perkiraan Mateo, pelanggan datang silih berganti. Bukan hanya Meera yang tak sempat beristirahat, sang koki pun. Jumlah pelanggan jauh lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Mungkin restoran kecil ini mulai dikenal, meskipun pertumbuhannya lambat. Meera memperhatikan sekeliling, menyaksikan para pelanggan sibuk menyantap makanan sambil tertawa dan bercengkerama. Di luar, antrean semakin panjang, dan tak ada meja yang kosong. Mereka harus segera menemukan solusi untuk masalah ini. “Kami ingin membayar!” Teriakan seorang pelanggan menarik perhatian Meera. Meera segera bergegas ke meja kasir dan menyelesaikan urusan pembayaran. Namun, belum sempat dia beranjak, suara pelanggan lain memanggil. "Tambahkan nasi untuk kami!" teriak seorang pelanggan sambil mengangkat tangan. Meera, yang masih sibuk di kasir, segera memberikan uang kembalian dan bergegas ke belakang untuk mengambil nasi. Namun, ketika sampai di dapur, dia tersadar bahwa nasi sudah habis. Sementara itu, Mateo tetap tekun memasak, tak terganggu oleh kebisingan di luar. “Kakak, bagaimana kalau kita tutup saja restoran ini?” usul Meera dengan nada frustrasi. Mateo menatapnya heran. "Apa maksudmu? Jangan bicara sembarangan di saat seperti ini. Lebih baik kau melayani pelanggan di luar." "Di luar sudah kacau karena banyaknya pelanggan. Kalau Kakak tahu akan seramai ini, kenapa tak merekrut pegawai tambahan?" "Mana nasinya?!" suara pelanggan tadi terdengar lagi, lebih keras. Meera mendengus, lalu mulai mencuci beras untuk dimasak. Sambil bekerja, dia tetap berbicara, "Aku harus menjalani dua peran sekaligus, sebagai pelayan dan kasir. Kita butuh tambahan tenaga agar pekerjaan lebih efisien. Biar aku yang mengurus kasir." "Ini bukan waktu yang tepat untuk merekrut. Kita tak bisa gegabah. Ada persyaratan kerja yang harus mereka penuhi. Lagi pula, siapa yang melamar pekerjaan tepat di malam tahun baru? Sudahlah, kalau pelanggan tak sabar, biarkan mereka pergi." Perkataan Mateo hanya membuat Meera semakin kesal. Baginya, sikap kakaknya yang acuh tak acuh seperti inilah yang membuat usaha mereka sulit berkembang. Meskipun demikian, dia menyelesaikan urusan memasak nasi dengan cepat dan kembali ke kasir. Alih-alih melayani pelanggan, Meera merobek selembar kertas dan menuliskan sesuatu di sana. Dengan hati-hati, dia menempelkan kertas itu di kaca depan restoran. Jika kakaknya tak mau merekrut pegawai, maka dia sendiri yang akan melakukannya! Tiba-tiba, seorang pria bertubuh kekar mendekat. "Hei, Gadis Cilik! Aku sudah bilang mau nasi. Apa kau tak mendengarnya? Atau kau pikir aku hanya pajangan di sini?" "Ma—maaf ...." Meera tergagap, takut dihadapkan dengan pria berpenampilan seperti preman. “Apakah kalian benar-benar berniat berbisnis?” Pria itu menatapnya dengan tampang mengancam. Suasana yang sebelumnya riuh mendadak sunyi, semua perhatian tertuju pada mereka yang berdiri di depan pintu. Hanya suara desis minyak dari dapur yang terdengar, jadi Mateo tak menyadari keributan di luar. "K-kami akan—" "Hei, Pria Buruk Rupa!" Suara dari belakang memecah ketegangan. Mata semua orang tertuju pada dua wanita yang tiba-tiba muncul. Salah satu dari mereka berbicara lagi, "Apa kau punya hobi menindas anak kecil?" “Dua wanita datang untuk ikut campur? Tak takut kalau kami keroyok?” Teman pria itu ikut menantang.Semoga kalian selalu sehat~
Serina mematikan televisi tidak lama setelah siaran wawancara singkat usai. Dia tidak bisa memikirkan cara apa pun untuk mengorek informasi dari Lemuel, bahkan pria itu dapat menjawab semua pertanyaan dengan baik.Stuart juga ada di sana, menyaksikan hal yang sama tadinya. Setelah selesai menonton, dia pun berkata, "Sekarang kau membuat orang-orang bersimpatik padanya. Apa sebelum mewawancarai, kau tidak memikirkan soal dia yang akan menjawab dengan sangat baik?"Ponsel Serina berdering. Dia mengangkat panggilan telepon begitu saja. "Halo?""Halo, Wartawan Serina."Serina seketika menjadi tegang saat mendengar suara di seberang sana. Dia melihat kembali sejumlah nomor tidak tersimpan yang ada dalam layar, tidak menduga kalau dia akan dihubungi oleh Lemuel."Anda pasti terkejut, karena saya menghubungi begitu tiba-tiba.""Ah, ya ... saya tidak pernah menduganya."Serina keluar dari ruangan, meninggalkan raut kebingungan di wajah Stuart. Dia mencari sudut yang aman untuk mereka bicara,
Serina mencebik, tidak suka dengan Stuart yang memberikannya pekerjaan secara tiba-tiba, bahkan dia tidak jadi ditraktir oleh Mateo, karena harus singgah ke Meteor Media untuk menyelesaikan beberapa hal."Aku sedang sibuk menyelesaikan proyek besar dan kau selalu menambah pekerjaanku. Bukankah gajiku yang sekarang tidak akan sepadan dengan kesetiaanku terhadap perusahaan ini?""Sibuk bagaimana? Kau belum memperlihatkan kemajuan apa-apa selama satu minggu ini," ucap Stuart.Serina mengernyitkan alis. "Itu karena kau terus-menerus memberikan pekerjaan yang begitu banyak padaku!""Kau yakin bukan karena Mateo yang harus melindungi sahabatmu? Mungkin kau perlu diingatkan pada tugasmu yang sesungguhnya yaitu mencari informasi mengenai pembunuhan yang melibatkan tuan Conor. Jangan sampai tujuanmu berubah arah menjadi yang lain."Stuart melemparkan dokumen yang dibacanya sejak tadi ke atas meja. "Kita tidak punya waktu untuk bermain-main, Serina," ucapnya, kemudian keluar dari ruangan.Serin
Serina meletakkan kedua belah tangan di pinggang, menatap sepeda motor yang akhirnya menjadi pilihan. Dia sudah menghubungi sang sahabat untuk persoalan biaya dan sekarang sedang menunggu respons Hillary."Kau yakin dengan pilihanmu? Hillary tidak akan senang mendengarnya.""Yang aku perlukan hanyalah sepeda motor, mahal atau tidak bukanlah sesuatu yang harus dipusingkan. Selama mesinnya bisa berfungsi dengan baik, maka itu sudah cukup.""Tapi sekarang bukan mahal atau tidak mahal sebagai pilihanmu, tapi baru dan tidak baru. Bagaimana jika keputusanmu diubah? Kita akan membeli yang baru, bukan yang bekas."Tepat pada kalimat terakhir, Mateo menerima telepon. Dia melihat ke arah Serina yang menatap bingung padanya, lantas dia mengangkat panggilan tersebut."Halo?" Mateo berkata."Kau ingin agar aku berutang budi padamu sampai mati?"Serina mendengar suara sang sahabat dari ponsel Mateo. Dia melipatkan tangan di dada sambil berekspresi tidak peduli, sudah tahu kalau hal seperti ini akan
Dua hari tersisa, Mateo hanya berjaga di sekitar The Pearl Villa. Hillary tidak mengerjakan aktivitas apa pun di luar kediaman selama memulihkan diri, mungkin benar-benar sudah memutuskan hidup dengan baik.Bahkan, akibat kondisinya yang buruk di pertengahan pesta kemarin, Hillary sampai memanggil dokter keluarga ke vila, hal yang sudah lama tidak dilakukan karena sebelumnya dia yang menghampiri sang dokter supaya meresepkan obat untuknya ketika usus buntu meradang.Mateo menoleh ke lantai dua, mendapati Hillary sedang berbicara dengan sang dokter. Saat ini dia mengambil waktu untuk merokok sebentar, tiba-tiba jadi terpikirkan mengenai hal apa yang akan dilakukannya setelah masa kerja menjadi pengawal selama satu minggu usai.Beberapa batang rokok habis bertepatan saat sang dokter muncul di lantai bawah, tampak sudah akan pergi. Mateo menoleh lagi ke arah jendela besar yang diketahuinya merupakan milik kamar Hillary. Wanita itu sedang melihat pula ke arahnya, langsung berpaling dan pe
Perkataan Mateo membuat mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Nick agaknya merasa dipermalukan, citranya telah berubah menjadi orang yang sangat menjengkelkan.Hillary berpikir bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk berurusan dengan Nick. Dia segera menarik Mateo untuk pergi dari sana, selanjutnya sambil terhuyung-huyung berjalan ke sisi dinding.Hillary berusaha tetap berdiri tegak, berhenti sebentar untuk mengambil napas. Beberapa menit berlalu hanyalah waktu tanpa kata."Maaf, karena membawa urusan pribadi Anda ke tengah acara. Saya melihat bahwa Anda merasa tidak nyaman sejak tadi dan membutuhkan cara untuk pergi dari aula.""Kau tahu dari mana kalau Nick mengirimkan buket padaku setiap hari?""Sekretaris Anda berbicara mengenai buket yang dikirim setiap pagi oleh orang yang sama dan katanya Anda sering kali merasa jengkel. Saya melihat siapa pengirimnya untuk berhati-hati dengan orang itu suatu saat nanti. Ternyata pertemuan ditakdirkan begitu cepat. Saya berharap dia tidak
Sampai esok hari, Bellmira tetap mengeluhkan kesalahan sang kakak di matanya. Dia terus membuat pilihan antara Serina atau Hillary. Padahal, Mateo tidak memiliki hubungan istimewa apa-apa terhadap dua wanita itu."Mereka berdua adalah sahabat dekat yang aku dengar dari cerita kak Serina. Kakak seharusnya tidak memecah belah persahabatan mereka dengan mendekati keduanya sekaligus.""Aku tidak melakukan pekerjaan seperti itu. Berhentilah mengatakan yang tidak-tidak sebelum aku terlambat.""Memangnya Kakak akan ke mana?" Bellmira baru sadar akan setelan pakaian formal yang dikenakan kakaknya. "Dari mana Kakak mendapatkan pakaian itu?"Mateo sudah lama sekali tidak menatap dirinya dari atas sampai ke bawah. Ternyata rasanya tetap sama, tidak pernah terbiasa. Dia lebih menyukai baju kaos dengan jaket hoodie ketimbang kemeja dengan jas."Apa aku sudah terlihat rapi?" tanya Mateo.Bellmira menganggukkan kepala. "Pilihan yang sangat bagus. Itu cocok sekali dengan Kakak. Memangnya akan ke mana