"Itu sudah yang ketiga belas," ucap Juan tidak sabaran.
Ia menghentikan gerakan Alyasha yang hendak menuang isi dari botol whiskey ke gelasnya lagi. Alyasha sudah tampak setengah sadar, masih juga berusaha meneis tangan Juan. Wajahnya memerah di bawah remang lampu bar.
"Juan, berikan padaku!" Alyasha merebut botol whiskey itu dari tangan Juan, dan dengan penuh kemenangan menuangkan ke gelasnya. Ia menghabiskan isinya dengan sekali teguk.
"Kamu akan mabuk."
"Tentu saja," sahut Alyasha santai. Ia melambaikan tangannya ke sekeliling ruangan. "Bukankah setiap orang datang ke sini memang untuk mabuk? Untuk melupakan sejenak masalah mereka?"
Juan merengut tidak setuju. "Bagaimana kamu akan pulang nanti?"
Alyasha tampak berpikir sejenak, kemudian terkikik. "Mm. Benar juga."
"Apa maksudmu dengan 'benar juga'?!"
"Aku tidak pulang."
"Hah?"
"Aku tidak pulang! Kau ini budek, ya!"
"Alyasha, kamu harus pulang." Juan mengambil gelas dari tangan Alyasha, dan menarik pergelangan tangannya. "Ayo."
Alyasha menempelkan punggungnya di sandaran kursi, menolak untuk bangun, dan merajuk seperti anak kecil. "Tidak mau. Aku tidak mau pulang."
Juan memijat kening, pusing. Susah sekali menghadapi Alyasha yang sedang mabuk. Walaupun sebelum ini Juan memang tidak pernah mendapati Alyasha mabuk. Alyasha menolak mengatakan apa yang sedang menjadi masalahnya, dan Juan tidak tahu harus apa untuk membantunya. Bahkan, ketika Alyasha meneleponnya tempo hari, menangis, dan meminta bantuan, ia tidak menceritakan apapun pada Juan.
"Queenie," ucap Juan pelan sembari memegang kedua tangan Alyasha, hanya agar ia tidak meminum minuman beralkohol itu lagi. "Aku tidak akan menanyakan apa yang menjadi permasalahanmu. Tetapi, kamu sungguh harus pulang."
Alyasha tidak menjawab. Hanya memajukan bibir bawahnya.
"Suami dan keluargamu akan khawatir."
Mendengar ini, bibir Alyasha bergetar pelan. Air menggenang di pelupuk matanya. Tahu-tahu ia sudah terisak dengan air mata yang berlelehan di pipi.
"Mas Arya sudah nggak mencintaiku lagi," isaknya. "Aku nggak mau pulang lagi."
Juan kelabakan. "Shh, shh... oke. Jangan menangis. Aku tidak akan memaksamu untuk pulang lagi, oke? Jangan menangis."
Dengan kaku ia mengusap bahu Alyasha, berusaha menenangkannya. Juan memutar otak. Kalau Alyasha tidak mau pulang, ia harus tidur di mana malam ini?
Ia menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain. "Akan kuantar kamu ke hotel, oke?"
Juan mencari mata Alyasha, meminta persetujuannya. Sambil masih sesenggukan, Alyasha mengangguk kecil.
***
"Oke," ujar Juan sambil berdiri begitu memastikan Alyaha sudah duduk dengan nyaman di ranjang kamar hotel. "Aku berada di kamar sebelah jika kamu butuh sesuatu. Kamu bisa menelepon, atau mengetuk langsung pintu kamarku, oke?"
Juan beranjak untuk pergi. Ia menghela napas melihat Alyasha menatapnya dengan mata sembab.
"Istirahatlah. Jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal lain."
"Juan," panggil Alyasha sambil memegang tangan Juan yang hendak pergi.
"Yeah, Queenie?"
"Jangan pergi," ucap wanita itu dengan pandangan memohon.
Juan menelan ludah.
Sejujurnya, Juan telah menaruh hati pada Alyasha sejak dulu sekali ketuka mereka baru meniti karier di bidang modelling bersama-sama. Namun, Alyasha hanya menganggap Juan sebagai sahabat. Dan Juan harus menghargai itu. Namun perasaan cintanya kepada Alyasha tidak pernah pudar.
Ketika Alyasha menjalin kasih dengan Aryadi, Juan harus menelan kepahitan akan perasaannya yang tidak akan pernah terbalaskan. Dan ketika Alyasha memutuskan untuk menikah, Juan tidak mampu menghadiri pernikahannya dan memilih untuk pergi tanpa memberi kabar.
Ia pergi bukan hanya karena ayahnya yang sedang sakit. Namun juga karena hatinya yang telah patah karena cintanya yang tidak akan pernah terbalaskan.
Melihat Alyasha yang setengah mabuk, dan menatapnya dengan pandangan memohon seperti ini, Juan sungguh merasa kendali dirinya di ambang batas. Ia tidak ingin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, namun, perasaan cintanya pada Alyasha sangat besar dan itu tidak pernah berubah.
Juan berlutut di depan Alyasha yang sedang duduk di tepi ranjang Seperti ini, ia tinggi mereka sejajar, dan ia bisa menatap langsung pada mata Alyasha.
"Kamu sedang mabuk," ujarnya. "Alya, kamu tahu aku mencintaimu, dan hal itu tidak pernah berubah."
Bibir Alyasha bergetar. Ya, ia tahu Juan mencintainya lebih dari cinta seorang sahabat. Alyasha tahu bahwa ia telah egois karena menginginkan Juan untuk tetap berada di sisinya meski ia tahu perasaan sang sahabat. Namun, luka di hatinya terhadap pengkhianatan Mas Arya terlalu besar.
Untuk sebentar saja, Alyasha ingin melupakan rasa sakitnya. Ia ingin merasa dicintai.
"Aku tahu," bisik Alyasha. "Aku tahu. Maafkan aku. Tapi... tapi, Mas Arya, dia...."
Alyasha tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Isakan kecil kembali lolos dari bibirnya, dan air mata mengalir lagi di pipinya. Sungguh menyakitkan. Mas Arya yang mengkhianatinya di depan matanya sendiri terus terulang di benak Alyasha.
"Queenie," Juan meremas tangan Alyasha. Hatinya sakit melihat orang yang ia cintai tampak terluka seperti ini. "Jika kamu mau menceritakannya, kamu akan merasa lebih baik. Kamu tahu aku bisa menjad9i pendengar yang baik."
Pertahanan Alyasha runtuh. Ia memeluk Juan dan menangis tersedu-sedu. Ia menceritakan apa yang telah ia lihat di kantor Mas Arya dan menumpahkan semua rasa sakitnya.
Juan begitu marah. Ia marah pada Aryadi yang berani menyakiti Alyasha sampai seperti ini. Ia marah namun juga terluka.
"Jika itu aku," bisik Juan sambil memeluk Alyasha.
"Aku tidak akan pernah menyakitimu. Aku akan mencintaimu dengan segenap hati. Alyasha, orang seperti Aryadi tidak pantas mendapatkanmu."
Juan menangkup kedua pipi Alyasha di telapak tangannya. Ia mengusap air mata di pipi Alyasha dengan ibu jari.
"Alyasha, aku mencintaimu dan masih akan tetap begitu untuk selamanya."
Alyasha memejamkan mata ketika Juan mengikis jarak di antara mereka. Bibir Juan menekan bibirnya, dan Alyasha menyerahkan diri untuk dicintai.
Setelah berlarut-larut dalam lukanya karena dikhianati, Alyasha merasa seolah-olah dirinya tidak berharga lagi bagi Mas Arya. Alyasha ingin merasa dicintai. Ingin merasakan seseorang yang menginginkan dirinya. Maka ia membalas ciuman Juan dengan
Mereka tenggelam dalam mengecap rasa masing-masing. Alyasha membiarkan dirinya tenggelam dalam ciumana meski air masih terus mengalir dari sudut matanya. Meski jauh di dalam hati ia tahu bahwa ini salah.
Juan memegang kedua lengan Alyasha dengan tangan sedikit bergetar karena berusaha menahan gairahnya sendiri. Napasnya sedikit memburu. Ada bagian dalam dirinya yang merasa bahagia karena akhirnya bisa merengkuh orang yang ia cintai di dalam pelukannya. Hatinya berdebar.
Namun, Juan tahu ia tidak bisa melakukan hal yang lebh dari ini. Ia tidak ingin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Sebesar apapun ia menginginkan Alyasha, rasa cintanya untuk tidak menyakiti Alyasha jauh lebih besar.
Maka, ia berusaha menahan diri dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Sekalipun adrenalin dan insting dalam di bawah kulitnya menggila untuk mengklaim wanita ini sebagai miliknya.
"Alya, baby, kita tidak bisa," ujar Juan dengan suara serak karena menahan gairahnya sendiri. "Aku tidak mau memanfaatkan keadaanmu yang seperti ini."
Alyasha menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Juan juga tidak menginginkannya. Alyasha merasa malu dan tidak berharga.
Alyasha menunduk dan meremas tepian dress biru yang ia kenakan.
"Tidak apa-apa. Kalau kamu tidak ingin...." Alyasha berusaha menelan keinginannya untuk menangis.
Juan mengeratkan pelukannya. "Apa maksudmu aku tidak ingin? Tentu saja aku menginginkanmu. Sangat. Alya, kamu nggak tahu seberapa besar aku ingin memilikimu."
"Tapi aku tidak ingin kamu menyesal kemudian," lanjut Juan.
Alyasha membalas pelukannya beberapa saat kemudian. Suaranya lembut ketika ia berbisik di telinga Juan.
"Aku tidak akan menyesal. Please. Juan, untuk malam ini, tolong buat aku lupa. Buat aku lupa akan rasa sakit ini."
Alyasha memasang wajah memelas. Pipi dan sudut-sudut matanya memerah bekas menangis. Bibirnya juga memerah dan sedikit bengkak karena ciuman mereka.
Juan merasa darahnya berdesir di sepanjang tulang punggung. Ia menangkup kedua pipi Alyasha dengan hati-hati. Menelan ludah, ia bertanya dengan suara yang lebih dalam dari biasa,
"Kamu yakin?"
Alyasha membalasnya dengan menyatukan kembali bibir mereka. Seluruh dinding yang dibangun Juan untuk mempertahankan diri di sekitar Alyasha selama bertahun-tahun runtuh tanpa sisa.
Ia membaringkan Alyasha dengan lembut di atas ranjang. Menjelajah tiap senti kulit dengan kelembutan. Ia memperlakukan Alyasha dengan hati-hati. Seakan Alyasha adalah porselain mahal yang mudah pecah.
Alyasha tidak keberatan. Ia ingin melupakan semua masalah dan kekalutan yang ia rasakan dalam hatinya. Maka, ia membiarkan Juan membuka dirinya. Mambiarkan lelaki itu merengkuh dan menenggelamkan diri dalam gairah persatuan tubuh mereka.
Mereka menghabiskan sisa malam dengan saling menyamankan diri dalam kehangatan yang ditawarkan tubuh satu sama lain.
Apa yang kau inginkan, Annanda.Jika pertanyaan itu diucapkan padanya ketika ia masih kecil, Annanda akan memiliki banyak sekali jawaban. Banyak sekali hal di yang ia inginkan di dunia ini.Namun Annada yang sekarang bukan lagi anak kecil naif yang masih menatap dunia di sekitarnya dengan mata berbinar-binar penuh harap dan kebahagiaan. Banyak sekali hal yang telah disaksikan oleh kedua pasang mata itu, dan hal-hal tersebut telah membuat Annada berubah jauh dari ia yang dulu.Annanda menatap anak lelaki yang berdiri demikian dekat darinya. Wajah mereka demikian dekat hingga ia bisa mencium aroma mint napas Arga. Sepasang mata kelam yang tajam itu tampak seperti danau gelap tanpa dasar. Annanda ingin tenggelam di dalamnya, namun juga takut.Apa yang ia inginkan?Tidak ada banyak hal di dunia ini yang masih bisa ia sebut sebagai miliknya. Annanda yang sekarang tidak memiliki keberanian untuk untuk mengakui apakah ia diijinkan untuk meng-klaim sesuatu yang berharga seperti Arga sebagai m
Annanda menciumnya.Ulangi.Annanda menciumnya.Roger that!Arga sampai sama sekali tidak bergerak saking kagetnya ia. Ia hanya berdiri mematung di sana seperti orang bodoh, dengan bibir sedikit membuka karena syok. Jangan salah paham. Ini tentu saja bukan kali pertama ia ciuman, oke?! Walaupun bersetubuh lebih sering ia lakukan daripada berciuman, tetap saja ia bukannya orang yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal ini!Reaksinya yang hanya terpaku diam semata-mata dikarenakan syok! Sama sekali bukan karena ia tidak tahu harus melakukan apa dengan tangan, bibir, dan anggota tubuhnya yang lain. Otaknya benar-benar blank. Seperti kartu memori yang tidak sengaja ter-format dan kini kosong melompong. Ia tidak bisa memikirkan apapun selain tubuh Annanda yang lebih pendek darinya berjinjit untuk meraih Arga yang tidak kepikiran untuk menunduk. Harumnya yang manis dan terkecap sampai ke belakang tenggorokan Arga. Hangat bibirnya...Annanda mengeluarkan suara pelan yang teredam
Hari sudah sore. Matahari sudah sangat condong di ufuk barat, hampir sepenuhnya tenggelam. Waktu berlalu dengan cepat ketika kau mendongkol sepanjang hari.Arga bermaksud untuk pulang. Sungguh. Ia bahkan telah mengambil jalan memutar untuk keluar lewat gerbang belakang karena Mahesa memberitahu bahwa Anna menunggunya di gerbang depan. Ia tidak ingin melihat wajah anak itu untuk sementara ini.Ia tidak ingin...."...."Anna mendongak ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya. Mata cokelat hangat itu bertemu dengan obsidian gelap milik Arga. Anak lelaki itu menahan keinginannya untuk segera berpaling dan lari. Atau berjalan mendekat untuk menghampiri gadis itu. Tidak, tidak. Coret kalimat yang terakhir. Arga tidak ingin menghampiri Annanda. Sama sekali tidak.Sepertinya ada sesuatu yang tercermin dalam ekspresi Arga, karena setelah beberapa saat berdiri diam dan memandangnya tanpa ekspresi, Annanda akhirnya memalingkan pandangan sedikit, sebelum membuka mulut untuk bicara.
Ren sesungguhnya tidak benar-benar serius ketika ia menawarkan diri untuk berbicara pada Annanda.Annanda, meski ia adalah seorang gadis dan tubuhnya jauh lebih kerempeng daripada Ren, tetap saja menakutkan bagi anak laki-laki tersebut mengingat Ren pernah melihat sendiri bagaimana ia menyeret seorang kakak kelas dengan begitu brutalnya hingga hair extention kakak kelas tersebut lepas semua.Annanda sangat ganas. Muka juteknya sama sekali tidak menolong kesan pertama yang Ren miliki tentangnya.Namun Ren sudah terlanjur berkata pada Mahesa bahwa ia akan menemui Annanda. Ia tidak suka berbohong pada orang lain, terlebih pada sahabatnya sendiri.Maka, ketika Bastian dan Mahesa membereskan bola-bola basket yang mereka gunakan untuk latihan sebelumnya, Ren menyandang tas punggung di sebelah bahunya dan melangkah menuju gerbang depan sekolah.Ren melihat seseorang sedang berdiri di depan gerbang, memunggunginya. Namun orang tersebut jelas bukan Annanda.Dilihat sekilas pun, walau Ren hany
Saran Niko untuk meminta maaf berputar-putar di benak Annanda seperti lebah yang mendengung mengganggu.Haruskah ia melakukannya? Namun, Annanda tidak pernah memilikiskillyang baik dalam membangun komunikasi dengan orang lain. Ia tidak tahu bagaimana harus mendekati Arga yang terlihat sekali sedang menghindarinya dan masih kesal padanya.Lama-lama, Annanda jadi pusing sendiri. Hatinya terus menerus mendesaknya untuk mendekat dan menyapa, namun, kata-kata tidak mau keluar dari bibirnya.Alhasil, beberapa kali berpapasan dengan Arga, ia selalu terdiam dan membeku di tempat sembari memaku pandangan pada sang pemuda namun ia tidak mengatakan apapun.Arga hanya menatapnya sekilas sembari mengangkat sebelah alis. Meliha
"Jadi?"Niko mengangkat kepalanya sedikit. Ia baru sadar Annanda menuntunnya ke sebuah ruangan yang jauh dari keramaian. Tidak ada siapapun di sini. Hanya meja dan kursi yang ditumpuk-tumpuk dan kardus-kardus yang entah berisi apa. Sepertinya ini ruang kelas lama yang dialihfungsikan sebagai gudang.Annanda menunggu jawaban dengan tangan disilangkan di depan dada. Ekspresinya sedatar permukaan meja, namun, Niko hampir bisa melihat api tak kasat mata berkobar di belakang tubuhnya.Niko menelan ludah sembari berpikir alangkah beruntungnya ia karena belum juga dihajar hingga detik itu."Anna," ucap Niko. "Mau jadi pacarku, nggak?"Ia mungkin akan dihajar di detik selanjutnya.